Sebuah Renungan Nyepi:
Menapak Dengan Keheningan Yang Utuh
Setapak yang lebih panjang dari jalan menuju surga
Anda mungkin pernah berjalan di pedesaan yang masih asri, masih sederhana dan elok dalam pandangan mata. Anda mungkin pernah berada di antara alam yang masih berdendang dalam kebebasannya, pernahkah Anda berlari kecil di atas rerumputan pematang yang masih segar oleh embun pagi? Sempatkah Anda menghirup hangatnya cahaya pagi yang baru saja menyeruak? Ah…, siang atau pun malam, alam memiliki siklus suara yang silih berganti, membuat keindahan tidak pernah menjemukan…, karena mereka selalu ‘baru’.
Ketika aku mulai menulis ini, ini adalah pertengahan Februari di tahun kesembilan, abad pertama pada milenium ketiga, hmm…, terdengar panjang untuk perjalanan sejarah, namun cukup singkat untuk kehidupan ini. Aku sedang terduduk bersandar di sebuah sudut ruang periksa di salah satu rumah sakit di kotaku saat ini tinggal, terhimpit dan terhalangi oleh sebuah lemari berkas yang tinggi dan memanjang, dengan beberapa pasang pintu geser kaca yang telah kumal oleh debu-debu tua di pinggiran dan sudut-sudutnya, bertumpuk map dan kertas lepas yang terlihat tak kalah tua dari lemari ini sendiri. Sementara aku bisa mendengarkan langkah lalu lalang di sepanjang koridor, serta suara orang-orang yang dapat kubedakan apakah mereka adalah petugas medis ataukah sekadar sanak saudara atau sahabat yang mengunjungi si sakit. Aku telah menyelesaikan beberapa tugas jaga, dan beberapa tindak lanjut yang diperlukan, dan kugunakan waktu luang sekadar untuk menulis satu dua hal. Yah…, inilah rutinitasku seharian, walau belum memasuki dunia kerja yang sesungguhnya. Dan setiap harinya tidak akan jauh berbeda, dalam pengertian hal yang serupa akan berlangsung selalu dan selalu, sehingga sering kali muncul ‘suatu’ kejenuhan yang sulit untuk diungkapkan dalam satu atau dua pemahaman.
Satu sisi di dunia ini ada sesuatu yang tidak menjemukan, namun di sisi lain terdapat yang menghadirkan kejenuhan. Bagi mereka yang telah memahami kealamian sang dua sifat yang berbeda, mungkin tidak akan bertanya banyak akan apa yang kuungkapkan, karena mereka telah melampaui surga walau sedang berendam hangat di neraka, setidaknya itulah yang kurasakan dari ungkapan kalbu mereka. Namun tidak ada salahnya kita berjalan bersama sejenak, bersama untuk melihat, mungkin ada hal-hal yang telah kita lewati. Janganlah bertanya kepadaku ke mana kita akan menuju, karena aku pun tak memiliki jawabannya, langkah ini mungkin akan melewati tempat yang sama, mungkin akan menuju negeri asing, namun janganlah khawatir, karena kekhawatiran tidak akan membuat Anda melangkah, dan jika pun Anda melangkah, kekhawatiran tidak akan pernah membisikkan sisi-sisi indah yang sedang kita lewati.
Aku tengah kembali ke dalam ingatan masa lalu, ketika usiaku berada antara 11-12 tahun. Aku berada di depan bangunan perpustakaan sekolahku, aku melihat diriku sedang berdiri di pinggiran telaga yang kecil, beberapa pancuran selalu mengalirkan airnya ke dalam rumah dari ikan-ikan yang sedang berebut remahan roti yang kulemparkan ke mereka. Kehidupan itu begitu nyata ketika itu, namun ada hal lain yang terlihat begitu alami saat itu, nampak hidup namun tidak. Walau kesan itu hanya sesaat saja dan kemudian berlalu. Pada masa itu, masih umum bagi masyarakat di daerah tempat tinggalku untuk menempatkan beberapa ornamen bernuansa tradisional di sekitar areal tempat tinggal mereka, apakah itu bersifat hiasan, simbolis maupun sakrali. Salah satu yang umum ‘berserakan’ adalah patung/ornamen katak, atau ‘godogan’ dalam bahasa lokalnya. Orang-orang suka menjadikannya guyon karena gemuk, dan kerjaannya hanya makan, tidur dan bernyanyi di kala hujan. Maka orang-orang yang memiliki sifat sejenis sering menjadi olok-olokan dengan dipanggil si godokan oleh kerabat dan teman-temannya. Kita akan simpan sejenak kisah ini, dan kembali ke masa kini.
Ketika kita menemukan sesuatu yang tak menjemukan, apa yang kalian harapkan? Ketika berada dalam keadaan bahagian, senang luar biasa, baik secara alami maupun buatan, mungkin ketika itu kita tak mengharapkan apapun lagi, atau kita mengharapkan sesuatu yang lebih, itu bergantung pada apa yang berlalu di dalam batin ini. Keadaan batin selalu berubah, kenyamanan…, mungkin adalah yang ia inginkan sepanjang waktu, karena ia memiliki kemampuan untuk mengingat, mengenang dan membandingkan, ia mengenali jika ia bisa berada dalam situasi yang lebih nyaman lagi, maka ia pun cenderung berlari ke arah kesenangan yang membuatnya nyaman, ini seperti hal yang sama dengan dua nama yang berbeda. Ia pun dapat menduga, ketika ia akan segera berada dalam posisi yang tidak nyaman, dan ia akan menjauh dari hal-hal yang menjenuhkannya. Ia hendak menghentikan waktu sehingga kenyamanan terus bersamanya, atau menghilangkan waktu sehingga saat-saat menyakitkan dapat hilang dengan sekejap.
Baik secara sadar maupun tidak sadar, kita telah berada dalam kondisi serupa selama ini, kita telah berada dalam keadaan mengejar yang menyenangkan atau membuat nyaman, dan menghindari yang sebaliknya. Kita bahagia ketika kita memperolehnya, dan merasa sakit ketika tidak mendapatkan yang kita inginkan, atau ketakutan ketika ketidakpastian antara keduanya hadir. Banyak orang yang menyadari hal ini secara alami, namun tetap membiarkan dirinya terombang-ambing dalam kealamian yang menghadirkan sukha dan dukha ini. Sahabat, janganlah salah mengira, perjalanan ini bukanlah untuk menunjukkan antara mana yang benar dan mana yang salah, antara mana yang hitam dan mana yang putih, namun sekali lagi untuk memberi kesempatan bagi kita yang berjalan bersama, sehingga mungkin kita dapat melihat apa-apa yang kita lewati bersama dalam perjalanan ini, dan apakah itu hitam dan putih, saatnya kita menjadi dewasa secara batiniah untuk menentukan apa-apa yang kita petik. Dan tidaklah kusampaikan bahwa salah jika seseorang mencari kenyamanan, untuk hidup, makhluk hidup memerlukan perlindungan, dan bentuk sederhana perlindungan itu berupa makanan, pakaian dan tempat bernaung yang banyak dari kita menyebutnya sebagai rumah. Hal-hal itu “memberi” kenyamanan pada kita dalam bentuk perlindungan. Dan salahkah semua itu? Sehingga saya tak hendak mengajak Anda berputar pada setapak yang penuh dengan benar dan salah, baik dan buruk, karena setiap orang memiliki pandangannya sendiri, dan hal itu bukanlah sesuatu yang esensial, walau selayaknya menjadi bagian dari perhatian mendalam untuk dipahami.
Marilah kita berjalan sejenak, kemudian kita berhenti dan menikmati sepotong ubi bakar. Sahabat, bagaimanakah rasa ubi bakar ini ketika perutmu lapar itu mulai terisi? Tunggulah sebentar sebelum dirimu membayangkan pada hal-hal yang lainnya, mungkin jika ada sehamparan menu-menu kegemaranmu yang kelezatannya sudah tidak bisa dibantah oleh lidah manapun, engkau pun kan membuang keraguanmu untuk tidak tak menikmatinya. Mungkin hal ini begitu alamiah, bahwa kita selalu mencari yang lebih baik bagi diri kita. Itu bagian dari fungsi kecerdasan kita, bagian yang membuat kita berhitung. Namun, kemudian…, pencarian ini, baik dengan sengaja atau tanpa sengaja, dapat membawa kita menuju ke sebuah pengejaran dan pada penolakan. Kita mengejar makanan yang lebih enak, pakaian yang lebih nyaman rumah yang lebih indah…, segalanya yang lebih dari sebelumnya. Kita menolak sesuatu yang tidak lebih baik, ketika kita telah menggenggam yang lebih baik. Ya, inilah kealamian kita sebagai manusia.
Sahabat, apakah yang baik dan apakah yang lebih baik? Tidakkah itu sekadar penilaian, sekadar pendapat? Apa pun yang memberikan kesan, pemahaman atau ide atau apapun yang akan kamu suka untuk menyebutnya tentang itu, mungkin kita mendengarnya, membacanya atau melihatnya, dan memberi gambaran pada kita bahwa hal ini baik dan itu mungkin atau pasti lebih baik. Apakah pemahaman akan baik dan buruk ini kemudian menjadi esensial bagi kita?
Katakanlah engkau telah hidup selama ini dengan semua kebaikan yang telah kau pahami dalam arti baik yang benar. Ketika kebaikan atau yang kita anggap baik tersebut singgah ke dalam kehidupan kita, maka kita pun merasa senang bahkan sangat senang…, kita memuji dan memuja kebaikan itu serta menjadikan media-media yang kita anggap sebagai pengantar tibanya si kebaikan sebagai sesuatu yang berharga dan teramat penting, terkadang kita akan membangun banyak hal atau ide lagi, sehingga kita pun menyakralkannya baik secara nyata maupun terselubung halus di dalam batin kita yang paling dalam. Ketika kebaikan itu pergi, kita menjadi sedih, tidak suka, bahkan benci mungkin juga frustrasi, media-media yang menyebabkan kebaikan pergi atau tibanya keburukan akan kita hindari, kita benci atau kita kutuk, kita kucilkan, kita haramkan…, sebut sebanyaknya kata-kata yang menggambarkan perasaanmu akan hal itu.
Dapat engkau memahami, atau mungkin melihat dengan jelas tanpa usaha menutup-nutupi dari hatimu, karena engkau harus berjalan meniti ke dalam dan mengenali bentuk-bentuk nyata media-media ini. Kehidupan seperti perjalanan, kehidupan seperti sungai yang mengalir atau angin yang bertiup, adakah engkau melihat sungai di hadapanmu dan merasakan sentuhan angin yang membelaimu? Atau kita sekadar melenggang dan tak pernah sadar akan hal-hal sederhana ini? Saat ini, manusia yang kuperhatikan di sekitarku sangat gemar melangkah dengan cepat, kita suka akan segala hal yang cepat dan instan, dan kita menilai keefisienan suatu sistem dengan cara-cara serupa. Engkau dan aku dapat berada dalam sebuah bus, mobil atau mengendarai motor di sebuah pagi untuk menuju ke suatu tempat untuk mengerjakan suatu hal. Adakah kita sempat memperhatikan pepohonan atau bangunan yang kita lewati dengan seksama? Adakah kita melihat warna langit di pagi itu dengan sebuah suka cita yang luar biasa? Ataukah kita hanya berkendara dan melewati semua itu dengan segera?
Mengapa manusia terburu, mengapa kita melewatkan begitu banyak hal dalam kehidupan ini? Dapatkah dengan kondisi kita, atau keterkondisian kita saat ini untuk melihat jauh ke dalam batin kita mengenai segala hal antara yang baik dan buruk. Keterkondisian kita yang telah membuat banyak hal terlewati. Jika aku berkata, sembari kita berjalan bahwa kita baru saja melewati sebuah sungai kecil, adakah engkau menyadarinya sahabat? Jika perjalanan dari rumah menuju tempat kerja melewati sebuah sungai kecil, untuk pertama kalinya ketika melewati jalan itu ketika engkau memperhatikan ada sungai itu, maka sungai itu ada, dan hanya ada sungai itu, dapatkah engkau memahami yang kusampaikan? Pergilah ke sebuah tempat baru, pandanglah untuk pertama kalinya, dan maka yang ada hanyalah pandangan itu. Segera atau beberapa kali setelah engkau melewati sungai itu, maka akan engkau mungkin akan berpikir, hmm…, sungai ini biasa saja, atau sungai ini indah dan bersih, atau sungai ini penuh sampah, kotor dan bau. Kemudian engkau akan menyukai sungai itu atau pun menaruh rasa tidak suka pada sungai itu. Jika engkau suka, maka engkau akan melewati tempa itu setiap kali berangkat ke tempat kerja, jika tidak maka engkau akan berusaha mencari jalur yang lain. Ya, inilah bentuk keterkondisian kita, kita mengalami hal ini dengan nyata setiap saatnya, namun adakah kita menyadarinya?
Dapatkah engkau melihat kealamian gerak ini, dapatkah kita melihat gerak alami dari terbentuknya keterkondisian ini? Terbentuknya suka dan tidak suka, untuk hal yang sama pada rasa-rasa yang lainnya. Jika saya dan Anda, bersedia dengan sepenuh hati untuk mengamati gerak ini, tanpa menutup-nutupinya, tanpa membenarkan atau menyalahkannya sebagaimana kita juga telah terkondisi oleh apa yang kita anggap benar dan salah, maka gerak pikiran ini akan menjadi begitu alami untuk teramati.
Jika engkau masih berusaha untuk memahami hal ini, mungkin belum semua beban akan keterkondisian yang terbuang dari pundakmu. Selama kita berusaha mengatakan benar dan salah, baik dan buruk, maka hanya itulah yang terlihat oleh diri ini. Mengapa kita tidak melepaskan sejenak akan semua itu, hanya untuk melihat kehidupan ini apa adanya? Ketika engkau melihat bahwa, menurut A bahwa B adalah yang baik dan C buruk, apa yang terjadi ketika kita melepas pendapat si A dari pundak kita, maka kita akan melihat A, B dan C secara wajarnya tanpa interpretasi apapun. Dan melihat sesuatu secara wajar, secara apa adanya, adalah sebuah kebebasan yang luar biasa, dan dengan kebebasan yang luar biasa inilah saya rasa barulah kita dapat berjalan dengan energi kehidupan yang luar biasa pula, karena energi kita tidak terkunci oleh korupsi keterkondisian. Dan energi ini memberikan suatu daya hidup yang luar biasa untuk melihat kehidupan secara faktual, untuk menyelam ke dalam kehidupan itu sendiri.
Maka ketika kebebasan ini hadir, bukankah mereka yang melewati sungai itu hanya akan melihat sungai itu apa adanya? Adakah perasaan suka dan tidak suka hadir ketika itu, jika ada, mungkin engkau harus bertanya, sudahkah semua beban akan berbagai pandangan dan pemahaman terlepaskan?
Lalu engkau mungkin bertanya seperti sebelum dan sebelumnya, salahkah rasa suka dan tidak suka? Kembali kuingatkan sahabat, perjalanan kita bukan tentang benar dan salah, apa yang engkau dapatkan dengan mempermasalahkan hal-hal itu. Engkau suka pada si A dan ajarannya atau nasihatnya, dan engkau sedemikian percaya karena hal itu begitu meyakinkan. Kau melangkah dalam jalan yang dianggap benar itu, dan kau begitu puas, kemudian ada seorang berkata padamu tentang ajaran si B, jika meyakinkan engkau akan menyukainya jika tidak engkau akan membencinya. Bukan tentang salah, bukan pula tentang benar, namun ke mana benar dan salah, suka dan tak suka ini akan membawa kita? Ia akan menarik kita mengejar yang suka dan berlari atau melawan apa yang tidak kita suka, jika itu kehidupan yang engkau jalani dengan segenap tekadmu maka jalanilah, dan kau sudah tahu lingkaran suka dan tidak suka ini akan selalu berputar dengan pola yang sederhana itu.
Jika aku suka, maka aku akan gembira, jika aku tidak suka aku menjadi jenuh dan menghindar. Hal ini sedemikian alami. Jika kita dapat memperhatikannya, hal-hal inilah yang mengisi kehidupan kita sehari-hari. Kita senang, sedih, marah, menyukai, membenci, mendekati dan menjauhi, semua bergerak dari keterkondisian kita pada sesuatu. Sehingga kini kita dapat melihat, bahwa setiap gerak kita tidaklah bebas selama kita terkondisi, dan gerak kita mengikuti sebuah pola yang rutin, namun kehidupan ini selalu bergerak bebas, kini kita layak bertanya, apakah gerak kita yang terikat ini dapat menyentuh kebebasan yang sesungguhnya?
Mari kita berhenti sejenak sahabatku, lepaskan batinmu dari ide tentang kebebasan yang baru saja kita lewati, sementara jika itu hanya sebatas ide maka hanya akan membebani batinmu. Lihatlah, jika engkau melongok dengan polos ke dalam batinmu, mungkin di sana ada lebih banyak ide lagi, tentang agama, tentang keyakinan, tentang norma dan nilai, tentang surga dan neraka, tentang Tuhan, tentang Mokhsa atau Nibbana. Batinmu mungkin seperti sebuah pasar tradisional dengan begitu banyak yang menjajakan ide-ide tentang banyak hal yang lebih baik dan lebih hebat. Lihatlah ke dalam batin yang penuh sesak ini, jangan tutupi dari pandanganmu. Namun adakah hal-hal yang dijajakan di sana membuatmu menyentuh aktualitas yang sesungguhnya. Katakanlah secara ekstrem, di sana engkau menemukan bahwa Tuhan itu seperti ini dan seperti itu, sehingga untuk ini dan itu engkau harus begini dan begitu. Adakah hal-hal yang engkau dapati itu membuatmu menyadari Tuhan secara aktualitas? Atau hal-hal yang lainnya yang tak akan jauh berbeda. Ketika orang melihat bahwa apa yang ada di dalam batinnya hanyalah sebatas ide, dan ide ini selalu bisa ditambah dan dikurangi, sehingga ia selalu terbatas, ide ini selalu melekat pada sesuatu untuk membuatnya tetap ada, apakah itu keyakinan, atau rasa suka. Maka orang akan sendiri melihat bahwa ide yang ada dalam batin ini selalu terbatas dan tak bebas, begitu menyedihkan dan sia-sia, ia tak mampu berdendang bersama kehidupan yang selalu bergerak, hidup, berubah, aktual, bebas, dan karena keterbatasannya, ia menghadirkan duka dalam kehidupan seseorang. Hal yang sia-sia ini adalah beban, dan jika engkau sungguh melihat beban ini secara nyata, bukan sebatas ide yang turut berkembang bersama perjalanan kita ini, maka secara sendirinya engkau tidak akan membawa beban ini lagi. Secara nyata jika orang melihat betapa sia-sia ide yang berserakan ini di dalam batinnya, maka orang akan membiarkan ide itu lenyap dengan sendirinya, ia tak lagi menahan beban itu, dan dengan melepaskan sang beban, orang dapat melangkah dengan kebebasan, dengan sebuah batin yang bebas, jernih dan polos, karena batin yang murnilah yang mampu melihat kehidupan ini adanya, menyelam hingga ke relung terdalam dengan segenap daya hidupnya.
Jadi, engkau tak perlu menciptakan kebebasan, karena dengan batin yang jernih …, batin yang hening, kebebasan itu hadir dengan sendirinya. Ketika batin ini hening dengan kebebasan yang penuh, yang bermakna terlepas dari segala keterikatan dan korupsi, maka batin ini dapat hidup seutuhnya.
Di sinilah hadir keheningan yang luar biasa, dan keheningan seperti ini memberikan kesempatan pada orang untuk memberikan pengamatan yang luar biasa. Engkau tak perlu mengekang batinmu untuk pergi terlalu jauh karena takut melewati batas dan tak bisa kembali hening, bagaimana bisa mengekang sesuatu yang bebas, ke mana pula ia dapat pergi, karena keheningan dan kebebasan membuatnya menjangkau semuanya, semuanya adalah “rumah” baginya. Engkau tak perlu mengingatkannya agar tidak terbakar emosi, apa yang hendak ia bakar, ia tak memiliki apa pun untuk dibakar, segalanya telah sirna dan hanya menyisakan kekosongan yang padam. Engkau tak perlu mengancamnya agar tidak bersenang-senang dan menjadi terlupa, bagaimana bisa, keheningan yang luar biasa ini telah menimbulkan sebuah keawasan yang luar biasa, sehingga ia bergerak sewajarnya bersama kehidupan tidak kurang tidak lebih, seadanya, apa adanya. Engkau tak perlu melarangnya untuk bekerja, karena gerak dari keheningan tak memiliki motif, corak apa yang dapat ia hasilkan kecuali gerak kehidupan ini sendiri.
Ketika orang menapaki kehidupan dengan keheningan yang utuh, ia telah jauh melewati segala hal tentang suka dan benci, kesenangan dan kesedihan, pengejaran dan pelarian, ia telah melampaui jalan surga dan neraka. Aku dengar banyak orang yang berkata, menuju keheningan lebih jauh dari pada menuju surga. Namun itu pun sebatas ide, dan ide tetaplah ide. Ketika engkau berjalan dengan keheningan yang penuh, adakah aturan yang dapat kau terapkan padanya? Adakah ketentuan, dogma, ritual yang dapat lebih mengagungkannya?
Melangkah dalam keheningan yang utuh, berjalan dengan kebebasan yang penuh, sedemikianlah batin ini dapat hidup dengan sesungguhnya, dan hanya batin yang hidup, dan yang bebas yang dapat mencintai dan mengasihi dengan indah, dengan murni, dan cinta yang murni ini mungkin akan mempertemukanmu dengan suka cita yang sejati, suka cita yang penuh damai.
Nah, sahabat perjalanan kita sampai di sini dahulu, engkau dapat kembali meneruskan perjalananmu, dan aku mungkin akan berhenti sejenak. Saat kuselesaikan tulisan ini, ini telah menjelang akhir bulan kedua di tahun ini, dan kini aku menemukan diriku di sebuah rumah kecil di kota yang berjarak lima jam perjalanan dari tempat awal aku menulis ini. Banyak hal yang terlewati, namun satu hal yang kurasakan selalu ketika melihat dan bergerak, mungkin aku lupa, mungkin aku melewati banyak hal, lebih banyak dari engkau sahabat, ketika sebuah pengamatan hadir, mungkin akan hadir sang kedamaian ketika pengamatan berakhir dalam keheningan.
Aku akan kembali sejenak dalam kisah kecilku dulu, karena aku tumbuh di tempat yang masih alami, maka aku bisa menemukan godogan di persawahan atau sungai-sungai kecil yang membelah persawahan. Kadang aku berjongkok dan memandanginya dalam waktu yang lama, kuperhatikan ia tak bergerak juga, boleh dibilang kami saling adu memelototi walau kurasa ia tak berpikiran sama padaku saat itu. Aku biasanya pergi karena tak tahan diam seperti dia terlalu lama. Terkadang jika aku berjodoh, aku bisa melihat ia yang dari tadi diam, tiba-tiba bergerak, dan melesatkan lidahnya hampir tak terlihat dan kemudian seakan menelan sesuatu, lalu ia pun kembali diam. Rupanya ia tidak tertidur, walau ia terdiam ia begitu awas dan begitu waspada, ia tahu secara alami kapan harus bergerak dan kemudian kembali dalam ketenangannya yang menghanyutkan. Ialah bentuk sepi yang memukau yang masih dapat dijumpai, karena dengan keheningan dan sepi yang begitu maka “aku” pun tak akan pernah bisa menangkapnya, ia begitu waspada.
Tulisan oleh,
I Putu Cahya Legawa
Tulisan sejenis dapat ditemukan di http://haridiva-indonesia.blogspot.com/
Satu pendapat untuk “Nyepi – Menapak Dengan Keheningan Yang Utuh”
Komentar ditutup.