Pendatang ini mengambil korek api dan berusaha menyalakan lampu tersebut, namun tidak berhasil. Ia memberitahu sang guru bahwa telah dihabiskannya sekotak korek api, tetapi ia belum juga berhasil menyalakan pelitanya. Guru itu kemudian menyuruhnya melihat apakah masih ada minyak di dalam pelita. Setelah diketahuinya lentera itu tidak berminyak, ia pun melapor pada sang guru bahwa di dalamnya ada air. Guru itu kemudian menyuruhnya membuka lentera tersebut, mengeluarkan airnya dan mengisinya dengan minyak dan mencoba menyalakannya lagi. Orang tersebut melakukan apa yang diminta, dan mencoba menyalakan lagi, namun pelitanya tidak juga menyala. Guru itu kemudian berkata bahwa mungkin sumbunya basah oleh karena mengandung air dan memintanya mengeringkan baik-baik di tempat terbuka dan kemudian mencobanya lagi. Dilakukannya semua itu dan kini ia pun berhasil menyalakan pelita itu.
Kemudian orang ini memberanikan diri memberanikan diri menyatakan keperluannya dan mohon jawabnya dari guru ini. Sang guru merasa heran dan mengatakan jawabnya baru saja diberikan. Pendatang itu mohon pada sang guru agar menerangkan dengan cara yang lebih jelas karena ia merasa bodoh dan tidak dapat mengerti makna ajarannya. Guru tersebut berkata, “Di dalam bejana hatimu terdapat sumbu jiwamu. Selama ini sumbu itu terbenam air hawa nafsu, oleh karenanya engkau tak dapat menyalakan pelita kebijaksanaan. Tuangkan semua air hawa nafsu dari bejanamu dan isilah dengan namasmarana Tuhan. Ambilah sumbu jiwamu dan keringkan dalam sinar matahari Vairagya; peras lah semua bentuk air hawa nafsu dan masukkan ke dalam hatimu minyak pengabdian atau namasmarana, maka engkau akan dapat menyalakan pelita kebijaksanaan“.
Terminologi:
* Namasramana: menyelami lautan kasih Ilahi setiap saat, umumnya dilakukan dengan metode mengucapkan atau menembangkan nama Tuhan berulang kali dengan hati yang lepas.
* Vairagya: kesadaran akan ketidakterikatan, bahwa kehidupan tidak memiliki keterikatan apapun akan apapun.