Pendahuluan
Leptospirosis merupakan penyakit zoonosis1 (penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia) yang masih menjadi masalah kesehatan global, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri spirochete2 dari genus Leptospira . Infeksi pada manusia umumnya terjadi melalui kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi urin hewan terinfeksi, khususnya tikus, yang sering terjadi pasca-banjir.

Manifestasi klinis leptospirosis sangat bervariasi, mulai dari gejala ringan seperti flu hingga bentuk yang berat dan fatal yang dikenal sebagai Weil’s Disease. Salah satu komplikasi paling serius dari Weil’s Disease adalah Gangguan Ginjal Akut ( Acute Kidney Injury / AKI). Keterlibatan ginjal dapat meningkatkan risiko mortalitas secara signifikan jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Artikel ini akan membahas mekanisme patofisiologi, diagnosis, dan tata laksana terkini gangguan ginjal akut pada pasien leptospirosis.
Patofisiologi: Bagaimana Leptospira Merusak Ginjal?
Berdasarkan literatur terbaru, mekanisme terjadinya kerusakan ginjal pada leptospirosis bersifat multifaktorial. Pemahaman ini penting karena membedakan AKI pada leptospirosis dengan penyebab lain. Terdapat tiga mekanisme utama:
- Invasi Langsung dan Nefrotoksisitas3 Bakteri Leptospira memiliki kemampuan untuk bermigrasi dari darah menuju ginjal, menembus kapiler peritubuler, dan masuk ke dalam jaringan interstisium (jaringan penunjang di antara nefron) serta lumen tubulus4 ginjal. Keberadaan bakteri ini menyebabkan kerusakan struktur tubulus dan memicu peradangan. Protein membran luar bakteri (Outer Membrane Proteins) diduga berperan sebagai toksin yang merusak sel secara langsung.
- Respons Imun dan Inflamasi (Nefritis Tubulointerstisial)5 Tubuh merespons infeksi dengan mengaktifkan sistem kekebalan. Pada fase imun, terbentuk kompleks antigen-antibodi yang dapat mengendap di ginjal. Selain itu, infiltrasi sel-sel radang (seperti limfosit dan monosit) ke ginjal menyebabkan Nefritis Tubulointerstisial Akut. Hal ini berbeda dengan gagal ginjal biasa yang seringkali hanya disebabkan oleh kurangnya aliran darah; pada leptospirosis, terjadi peradangan aktif di dalam jaringan ginjal itu sendiri .
- Faktor Hemodinamik dan Lainnya
- Hipovolemia: Demam tinggi, muntah, dan kurangnya asupan cairan menyebabkan dehidrasi, menurunkan aliran darah ke ginjal (iskemia).
- Rhabdomyolysis: Pada kasus berat, kerusakan otot (rhabdomyolysis) melepaskan mioglobin yang bersifat racun bagi ginjal (pigment nephropathy).
- Hiperbilirubinemia: Penumpukan bilirubin yang tinggi akibat gangguan hati juga dapat memberikan efek toksik pada ginjal (choluric nephrosis).
Karakteristik Klinis: Uniknya Ginjal Leptospirosis
Gangguan ginjal pada leptospirosis memiliki karakteristik yang unik dibandingkan sepsis (infeksi berat) lainnya. Pasien sering kali mengalami Hipokalemia6 (kadar kalium rendah dalam darah) dan Non-Oliguria (produksi urin masih normal atau banyak), meskipun fungsi penyaringan ginjal menurun.
Hal ini terjadi karena kerusakan spesifik pada tubulus proksimal ginjal yang menyebabkan kegagalan penyerapan kembali natrium dan kalium. Namun, pada kasus yang sangat berat atau terlambat ditangani, pasien dapat jatuh pada kondisi Oliguria (produksi urin < 400 ml/24 jam) atau Anuria (tidak ada produksi urin)7, yang merupakan tanda prognosis (ramalan penyakit) yang buruk.
Penegakan Diagnosis
Diagnosis AKI pada leptospirosis ditegakkan berdasarkan:
- Klinis & Epidemiologis: Riwayat demam akut, nyeri otot betis (gastrocnemius), mata kuning (ikterik), dan riwayat kontak dengan banjir atau tikus.
- Laboratorium Leptospirosis: Microscopic Agglutination Test (MAT) adalah baku emas, namun membutuhkan waktu. Deteksi cepat menggunakan IgM ELISA atau Rapid Test sering digunakan di klinis.
- Kriteria Ginjal (KDIGO)8: Peningkatan serum kreatinin ≥ 0.3 mg/dl dalam 48 jam atau peningkatan ≥ 1.5 kali dari nilai dasar, dan/atau penurunan produksi urin < 0.5 ml/kgBB/jam selama 6 jam.
Tatalaksana Terkini
Manajemen pasien leptospirosis dengan komplikasi ginjal memerlukan pendekatan agresif namun hati-hati. Berikut adalah pilar pengobatannya:
1. Terapi Antibiotik (Etiologis)
Pemberian antibiotik dini sangat krusial untuk mengeliminasi bakteri, meskipun kerusakan organ mungkin sudah terjadi.
- Pilihan Utama (Berat): Penicillin G 1.5 juta unit setiap 6 jam secara intravena (IV), atau Ceftriaxone 1-2 gram sekali sehari IV. Ceftriaxone kini lebih sering dipilih karena kemudahan pemberian (sekali sehari) dan efektivitas yang setara.
- Pilihan Ringan/Rawat Jalan: Doxycycline 100 mg dua kali sehari selama 7 hari.
- Catatan: Waspadai reaksi Jarisch-Herxheimer, yaitu perburukan gejala sesaat (demam, menggigil) setelah antibiotik pertama diberikan akibat pelepasan toksin bakteri yang mati secara massal.
2. Manajemen Cairan dan Elektrolit (Suportif)
Ini adalah kunci penanganan AKI.
- Rehidrasi: Mengembalikan volume cairan tubuh adalah prioritas untuk memperbaiki aliran darah ginjal. Namun, harus dilakukan dengan hati-hati (fluid challenge terkontrol) untuk mencegah kelebihan cairan (fluid overload) yang dapat memicu edema paru (cairan di paru-paru), terutama karena leptospirosis juga sering menyerang paru-paru (sindrom perdarahan paru).
- Koreksi Elektrolit: Hipokalemia harus dikoreksi dengan pemberian suplementasi kalium (KCL), baik oral maupun intravena dengan pemantauan ketat. Ini berbeda dengan gagal ginjal pada umumnya yang justru sering mengalami hiperkalemia (kalium tinggi).
3. Penggunaan Diuretik
Jika pasien telah terhidrasi dengan baik namun tetap oliguria (tidak kencing), pemberian diuretik loop seperti Furosemide dapat dipertimbangkan untuk memacu produksi urin. Tujuannya adalah mempermudah manajemen cairan dan nutrisi, namun bukti ilmiah menunjukkan bahwa diuretik tidak memperbaiki fungsi ginjal secara langsung atau mengurangi kematian.
4. Dopamin: Sebuah Koreksi Medis
Pada literatur lama (seperti rujukan tahun 2000-an), penggunaan Dopamin dosis rendah (“dosis renal”) sering disarankan untuk melebarkan pembuluh darah ginjal. Ilmu kedokteran terkini menegaskan bahwa penggunaan Dopamin dosis rendah untuk proteksi ginjal tidak lagi direkomendasikan. Bukti klinis (meta-analisis) menunjukkan tidak ada manfaat dalam mencegah gagal ginjal atau kematian, malah berisiko memicu aritmia (gangguan irama jantung).
5. Terapi Pengganti Ginjal (Dialisis)
Dialisis atau cuci darah segera dilakukan jika terdapat indikasi yang mengancam nyawa. Jangan menunda tindakan ini.
- Indikasi Mutlak:
- Kelebihan cairan (overload) yang menyebabkan edema paru.
- Hiperkalemia berat (> 6.0-6.5 mEq/L) yang tidak respon obat.
- Asidosis metabolik berat (pH darah < 7.1).
- Uremia berat (Ureum > 200 mg/dL) atau gejala uremia (penurunan kesadaran, kejang).
- Metode: Hemodialisis harian seringkali lebih unggul dibanding dua hari sekali pada fase akut katabolik. Peritoneal Dialysis (cuci darah lewat perut) bisa menjadi alternatif di fasilitas terbatas, meskipun kurang efektif untuk koreksi cepat.
6. Peran Kortikosteroid
Penggunaan steroid (seperti Methylprednisolone) masih menjadi perdebatan. Beberapa studi terbaru dan laporan kasus menunjukkan manfaat steroid pada kasus berat dengan keterlibatan paru (perdarahan alveolar) atau pada kasus nefritis tubulointerstisial yang menetap, untuk menekan reaksi inflamasi berlebih. Namun, penggunaannya belum menjadi standar rutin dan harus berdasarkan pertimbangan dokter ahli.
Prognosis dan Kesimpulan
Prognosis gangguan ginjal akut pada leptospirosis umumnya baik jika ditangani segera. Sebagian besar pasien akan mengalami pemulihan fungsi ginjal secara penuh dalam beberapa minggu hingga bulan. Faktor yang memperburuk prognosis meliputi usia tua, oliguria/anuria menetap, keterlibatan paru berat, dan keterlambatan dialisis.
Sebagai simpulan, tatalaksana leptospirosis dengan komplikasi ginjal berfokus pada: (1) Antibiotik dini yang tepat, (2) Manajemen cairan yang cermat (hindari dehidrasi maupun kelebihan cairan), (3) Pemantauan elektrolit (khususnya kalium), dan (4) Inisiasi dialisis dini jika indikasi terpenuhi. Penggunaan Dopamin dosis ginjal sudah ditinggalkan.
Catatan Kaki & Glosarium:
- Zoonosis: Penyakit yang dapat ditularkan dari hewan vertebrata ke manusia. ↩︎
- Spirochete: Kelompok bakteri berbentuk spiral yang panjang dan tipis. ↩︎
- Nefrotoksisitas: Sifat racun atau merusak terhadap ginjal. ↩︎
- Tubulus & Glomerulus: Bagian mikroskopis dari ginjal. Glomerulus berfungsi menyaring darah, tubulus berfungsi mengatur kembali penyerapan air dan mineral. ↩︎
- Nefritis Tubulointerstisial: Peradangan pada tubulus ginjal dan jaringan sekitarnya. ↩︎
- Hipokalemia: Kadar kalium dalam darah yang rendah, berisiko menyebabkan gangguan irama jantung dan kelemahan otot. ↩︎
- Oliguria/Anuria: Produksi urin yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali, menandakan kegagalan fungsi ekskresi ginjal. ↩︎
- KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcomes): Organisasi global yang menyusun pedoman standar untuk diagnosis dan penanganan penyakit ginjal. ↩︎
Referensi:
- KDIGO Clinical Practice Guideline for Acute Kidney Injury.
- World Health Organization (WHO). Human Leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and Control.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Tatalaksana Kasus Leptospirosis.
- Recent Reviews on Leptospirosis-associated Acute Kidney Injury (2020-2024).
Disclaimer: Tulisan ini disusun untuk tujuan informasi dan edukasi ilmiah populer. Informasi ini tidak menggantikan saran, diagnosis, atau perawatan medis profesional. Selalu konsultasikan masalah kesehatan Anda dengan dokter atau tenaga medis ahli di fasilitas pelayanan kesehatan terdekat.

Tinggalkan komentar