Saya sering bercanda dengan rekan-rekan saya ketika mereka bertanya “Koq hape-mu ra iso dihubungi?” (Kenapa telepon selulermu tidak bisa dihubungi), saya pun menjawab, “ya iso toh…, aku ra duwe hape” (ya bisa saja karena saya tidak punya telepon seluler). Ya saya memang tidak punya telepon seluler, karena saya menggunakan Smartphone dan Personal Device Assistant, wealah… kebangetan, ha ha…, yah itu kelakar saya. Namun saya selalu mengingatkan rekan-rekan saya, jika ingin menghubungi saya, hubungilah via surat elektronik.
Ada beberapa alasan memang saya tidak suka menggunakan gadget yang disebut telepon seluler ini.
- Boros, apa mau bilang kalau telepon seluler murah? Hayo…, murah mana sama surat elektronik. Katakan menelepon sekitar Rp 300,00/menit, pesan singkat setidaknya Rp 50,00 – Rp 100,00 per 160 karakter. Surat elektronik paling mahal Rp 5,00 per kb (atau 1000 karakter). Sebulan pulsa telepon seluler paling tidak harus diisi Rp 50.000,00 kalau pakai kurang hangus/mubazir, kalau pakai lebih ya bayar lagi. Surat elektronik, Rp 50.000,00 sepuasnya.
- Hilang, di sini maksudnya bukan telepon selulernya yang hilang (hiks…, walau saya pernah mengalami hal itu). Hilang adalah data yang ditransfer. Telepon = “duh…, tadi dia bilang apa, aku lupa e…”, pesan singkat = “inbox-ku penuh jadi kupaksa dihapus, sudah 2000 sms nih, mesti dibersihkan, ga tahu deh pesanmu kehapus atau ‘ndak”; surat elektronik = ada setidaknya 5 – 7 GB ruang gratis menyimpan data percakapan setara dengan isi perpustakaan daerah (mah itu bisa jadi percakapan seumur hidup) dengan tambahan 10 – 25 GB ruang untuk menyimpan format multimedia, foto, video dan lain sebagainya. Pesan penting Anda di surat elektronik tidak akan pernah terpaksa terhapus, kecuali oleh kesalahan Anda sendiri.
- Gangguan privasi, operator telepon seluler di Indonesia kini makin giat mengirimkan pesan singkat berupa iklan penawaran. Sehari beruntung datang hanya sebiji, kadang pesan singkat ini bisa bertambah pada hari-hari peringatan atau perayaan khusus.
Oke, sepertinya pesan singkat memang membantu kita banyak. Namun sepertinya di luar negeri orang lebih memilih menggunakan telepon selulernya untuk berkirim surat elektronik, karena lebih murah, sedangkan sistem push email di negara ini masih sangat mahal. Maka saya harap sistem ini ‘ndak lebih malah lah dibanding pesan singkat.
Jika pun mesti mengutamakan layanan pesan singkat (sms), setahu saya biaya yang dikeluarkan operator tidak lebih dari Rp 30,00 per 160 karakter terkirim (dari salah satu majalah komputer langganan tetangga), kenapa harganya malah berkisar Rp 100,00 – Rp 300,00 per 160 karakter terkirim? Itu namanya cari untung 3 hingga 10 x lebih daripada biaya produksi, apa negeri ini sudah jadi bagian dari kapitalisme modern?
Tidak usalah menjadikan pesan singkat lebih murah dari itu Rp 30,00 per 160 karakter terkirim, apalagi sampai gratis segala jika untuk mesti bayar lebih banyak daripada yang kita gunakan. Semisal sebulan dengan Rp 50.000,00 dapat pesan singkat gratis sepuasnya, padahal sebulan cuma menghabiskan 100 x 160 karakter terkirim, artinya hanya tidak lebih dari Rp 3.000,00, lha ini kan pemborosan. Sebanyak apa sih pesan singkat singkat yang dikirim kebanyakan orang?
Berhentilah melakukan gangguan privasi. Tidak perlu ada gangguan privasi seperti apa yang lebih dikenal dengan “sms spam”. Itu tidak lucu, bahkan ada beberapa nomor “costumer support” yang bukan milik operator dari pesan sampah ini, apakah nomor privasi saya sudah dijual ke pihak ketiga? Terus terang saya dan mungkin banyak orang lagi tidak perlu dikirimi iklan-iklan ga penting, jangan-jangan nanti Anda minta bayaran lebih agar kami tidak dikirimi dengan sampah macam itu? Itu sih konyol.
Jadi operator telepon seluler berhentilah menjadi bagian dari kapitalisme yang melakukan segala cara untuk meraup keuntungan. Jika suatu saat rakyat tersadar betapa kalian menipu mereka selama ini, itulah akhir dari pelayanan ini.
Tinggalkan Balasan