Jika Anda umat Hindu – pastilah tidak asing lagi dengan Saraswati (Sarasvati), jika Anda memiliki teman seorang Hindu, mungkin Anda pernah menyaksikannya secara tak sengaja melakukan persembahyangan dengan segenap pustakanya – termasuk mungkin buku-buku kuliahnya. Jika Anda kritis, Anda bisa bertanya – apa yang sedang dikerjakannya. Mungkin ia sedang melakukan pemujaan pada Dewi Sarasvati.
Saya dulu pernah menulis tentang Sarasvati Puja – walau tidak secara literatur bermakna hal yang sama dengan yang dikenal umum.
Sarasvati adalah salah satu dewi dalam tradisi Hindu – ia mewakili pengetahuan, musik dan seni. Ia dikenal di berbagai belahan bumi lain dengan berbagai nama dalam pemujaan berbagai tradisi, semisal dengan nama Biàncáiti?n di Cina, atau Benzaiten di Jepang, Sarasawatee di Thailand, dan di nusantara sendiri dikenal sebagai Saraswati.
Sarasvati dikisahkan sebagai putri Durga – Ibu alam semesta (silakan menengok kembali tulisan sebelumnya “Pelajaran dari Siwa”), bersaudara dengan dewi Laksmi – dewi kemakmuran dan kesejahteraan. Dari Sakti Dewa Brahma inilah dikatakan lahir Veda-Veda – pengetahuan suci yang tertua dalam ajaran Sanatana Dharma – yang merupakan sumber dari agama Hindu saat ini. Karena itulah Sarasvati dipuja sebagai dewi ilmu pengetahuan.
Gambar di samping adalah salah satu dari banyak ilustrasi Dewi Saraswati. Digambarkan tangan-tangan Sang Dewi menggenggam kitab (pustaka) yang melambangkan kumpulan dari seluruh pengetahuan, memegang genitri (tasbih) yang mencerminkan bahwa pengetahuan itu selalu bersiklus, yang lama menggantikan yang baru.
Saraswati berdiri atau duduk di atas teratai, bunga yang bisa muncul dengan indah di kolam berlumpur sekali pun, bunga yang melambangkan ketika dualitas sudah berakhir maka tidak ada lagi kemelekatan.
Satu lagi yang khas dari Sarasvati adalah Sang Dewi selalu memegang instrumen musik – yang jika tidak salah – disebut Vina/Veena – dikatakan sebagai musik Ilahi yang selalu bisa menyentuh kalbu terdalam setiap insan.
Sang Dewi adalah penguasa ketiga Veda, tersampaikan semanis dan seindah puisi (Rigveda), terurai dalam prosa-prosa yang menawan (Yajurveda), dan dilagukan dalam musik-musik indah (Samaveda). Ia adalah penerjemah suara yang tak pernah terdengar oleh manusia dalam keseharian.
Banyak orang yang memuja Sarasvati untuk mendapatkan pengetahuan yang melimpah dan berikan kebijaksanaan yang agung. Di Bali misalnya, masyarakat secara tradisional merayakan hari Sarasvati sebagaimana saya kutipkan dari KalenderBali.org:
Hari ini merupakan pawedalan Sang Hyang Aji Sawaswati, yaitu perayaan turunnya ilmu pengetahuan. Dilakukan upacara selamatan terhadap semua pustaka/rontal/kitab, sebagai penghormatan dan puji syukur kehadapan beliau yang telah menurunkan ilmu pengetahuan.
Namun terkadang kita sering kali terlupa, disibukkan dalam tradisi nak mula keto – memang demikian dari dulunya. Kita menjadi lupa dan enggan bertanya – walau saya sendiri berpendapat mempertanyakan agama dalam hubungan dengan tradisi tidak ada salahnya. Terkadang agama tidak hanya menuntut kepercayaan namun juga kemampuan seseorang untuk belajar dan meragukan.
Karena memang sifat manusia secara umum tertarik akan segala sesuatu yang lebih baik, kehidupan yang lebih baik, rumah yang lebih bagus, penghasilan yang lebih tinggi…, dan segala sesuatu lain yang lebih baginya.
Sarasvati sejak lama menjadi lambang pemberian kesempatan bagi manusia untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi dan menjadi kehidupan jauh lebih baik. “I come offering you the supreme knowledge” Mungkin demikianlah Dia berkata. Dan seperti biasa orang-orang yang percaya kebanyakan akan berlomba-lomba untuk mengadakan pemujaan pada-Nya, tidak akan kalah, semua diberi sesaji, mulai dari lontar kuno, buku teks pelajaran, hingga laptop bahkan jika perlu USB Flasdisk yang berisi mata kuliah. Ah…, tapi hanya untuk hari perayaan saja, setelah itu tidak tahu entah ke mana.
Namun pernahkah seseorang melihat bahwa Sarasvati jauh lebih sederhana dari semua ritual itu? Ia mungkin menggenggam segala bentuk pengetahuan, namun tetap sederhana.
Sarasavati berasal dari Sara (= pengetahuan yang bermakna) dan Swa (= diri sendiri, seperti penggunaan pada kata swadaya), ketika keduanya bergabung menjadi Sarasvati, ia bermakna sesuatu yang mengalir murni.
Kebijaksanaan tertinggi dalam literatur Hindu dan Buddha selalu menyinggung tentang pemahaman yang utuh akan “sang diri” di mana seseorang harus mengenalnya secara langsung. Sarasvati memberikan ini, Ia adalah Anda (Tat Tvam Asi), dan Anda harus belajar dengan sendirinya untuk menemukan apa yang sesungguhnya esensial dalam kehidupan ini, apa kehidupan ini sesungguhnya.
Dalam Hindu ada istilah Atma Tattwa, dalam Budha ada doktrin Anatta (Anatman). Keduanya tidak jauh berbeda saya rasa. Ketika seseorang memahami secara utuh segala sesuatu yang esensial, ia dengan sendirinya memahami segala pengetahuan yang sejati.
Jadi ketika Sarasvati menjadi simbolisasi kelahiran Veda, Sang Dewi tidak menciptakan Veda dan memberikannya pada manusia atau menurunkannya pada manusia. Namun ketika orang memahami kesejatian sang diri, ia yang selalu bersedia untuk belajar dengan bersungguh-sungguh akan kehidupan ini, ia dengan sendirinya menjadi kemurnian yang mengalir, ia menjadi sumber kebijaksanaan. Ketika orang lain menyaksikannya, mereka akan berkata, “Dari-Nya lah mengalir pengetahuan yang suci.”
Sarasvati secara sederhana menjadi simbolisasi, jadilah di mana diri anda merupakan sumber mengalirnya Veda. Bukan sebaliknya, merayakan turunnya Veda bagi manusia, membaca habis semuanya, kemudian kembali melekat pada kehidupan dunia yang menyedihkan.
Sehingga Sarasvati lebih sering disebut sebagai “Goddess of Learning”, simbolisasi bagi “belajar” dan bukan “pengetahuan”. Jika seseorang cermat, ia bisa jadi mendapati bahwa pembelajaran-lah yang sesungguhnya esensial, bukan pengetahuan – karena pengetahuan adalah produk yang akan dihasilkan dengan sendirinya.
Namun sudah menjadi bagian dari ketamakan manusia, yang kadang tidak acuh akan proses, kita selalu menuntut hasil. Lalu di mana letak kata-kata “Tangan menghadap kerja hati menghadap Tuhan” atau pun “Marilah kita berusaha dengan sebaik mungkin, biarlah hasil menjadi urusan-Nya”.
Sarasvati mungkin memahami hal ini. Pikiran manusia yang selalu bergerak liar, penuh dengan kerakusan yang berlomba-lomba. Thats why, She is simply offering, not granting. Mereka yang dengan memupuk harapan guna mendapatkan pengetahuan akan datang dan memuja-Nya. Ya, mereka akan dengan demikian giat membuka lontar-lontar dan membaca kembali sastra-sastra kuno, menjejali semua itu ke dalam kepala mereka dan berusaha menemukan maknanya. Ya, mereka pun mendapatkan apa yang mereka pinta, pengetahuan itu kini telah melekat pada diri mereka, bahkan beberapa di antara mereka menjadi sangat ahli dalam hal ini.
Namun pengetahuan yang tertumpuk itu menjadi begitu dangkal. Orang menjadi kaku akan apa yang ia miliki, itu seperti sesuatu yang Anda salin begitu saja dalam setiap ingatan anda. Tidak ada yang indah di situ, tidak ada yang mengalir hidup di dalamnya, mengapa?
Dengan semua yang ditanamkan di dalam kepala, orang menjadi memiliki banyak konsep. Hari ini ia datang pada kehidupan, dan kehidupan memberikannya tantangan, ia bisa dengan bangga melewati tantangan itu, atau dengan ciut kembali pada konsep-konsepnya dan berharap ada sesuatu yang bisa membantunya melewati tantangan. Begitulah selalu yang terjadi.
Mereka melekat pada kehidupan sebagaimana mereka melekat pada pengetahuan. Mereka menggunakan pengetahuan untuk “menaklukkan” kehidupan.
Pikiran manusia tidak bisa diam dalam sejenak dengan segala kompleksitas dunia saat ini. Sebelum mereka berhenti mengejar segala sesuatunya, sebelum batin bisa hening, mungkin Sarasvati tidak akan memperlihatkan tawarannya yang sederhana ini.
Jika Anda duduk di tepi sebuah lembah, dengan persawahan hijau yang membentang – apa yang ada di batin anda? Dapatkah Anda menyaksikan segenap gerak alam, apakah kita terhubung dengan semua itu, mengapa saya bisa terduduk di sana? Pertanyaan apa yang muncul, bagaimana ia terjawab?
Apakah kita akan kembali menjawabnya dengan konsep-konsep yang bertumpukan di ingatan kita yang menjelaskan tentang segala sesuatu di dunia ini? Well, Anda kembali pada kebiasaan lama – tidak ada yang baru di situ, dan segalanya adalah salinan mati dari ingatan-ingatan yang telah mati.
Akankah Anda sejenak mengesampingkan semua itu, membuat batin anda berhenti bekerja dan kelelahan dari memproses segala ingatan itu. Bersihkan itu semua, seperti para guru Zen selalu berkata, jika Anda adalah cangkir yang penuh, maka Anda tidak bermanfaat sama sekali, mengenal Zen akan sia-sia. Ketika Anda sepenuhnya kosong, batin akan bisa terdiam, batin akan bisa hening.
Hanya batin yang hening yang dapat menyimak alam raya. Hanya batin yang hening yang memiliki energi luar biasa untuk dapat menyelam ke dasarnya yang terdalam. Dan hanya batin yang hening, yang bisa menangkap apa yang ada di hadapannya secara utuh dan polos. Ia memiliki kapasitas belajar yang luar biasa.
Batin seperti ini memberikan kesempatan bagi dirinya sendiri untuk belajar memahami dengan utuh mengenai keberadaan ini.
Suara Veena tidak terdengar dalam batin yang terlalu ribut dengan hiruk pikuk dunia. Namun ketika batin belajar dengan sendirinya bahwa hening itu esensial bagi belajar itu sendiri, mungkin ia akan berjodoh mendengarkan suara Veena, karena Sang Dewi yang memainkan Veena tidak lebih jauh dari batin yang hening.
Dalam tradisi di daerah kelahiran saya, perayaan hari Saraswati jatuh pada Saniscara Umanis Watugunung (lihat kembali tulisan saya mengenai “Otonan”), biasanya sekolah-sekolah semi libur, para murid datang ke sekolah untuk acara persembahyangan bersama dalam pakaian tradisional untuk sembahyang.
Kami tidak belajar pada hari itu, karena ada “mitos” di antara para siswa bahwa belajar (membaca buku) pada hari Saraswati tidak diperbolehkan, atau Sang Dewi akan marah katanya. Tentu ada yang protes, bagaimana bisa saya bertambah pandai jika saya tidak belajar? Dan saya akan berkata pada mereka, dan bagaimana bisa kalian pintar kalau masih percaya pada hal itu – sembari tertawa pergi setelah setidaknya dapat lungsuran apel.
Diatur dalam tradisi perayaan Siwaratri ada satu pantangan, kalau dalam perayaan lain mungkin ada pantangan seperti laku puasa. Pantangan ini adalah:
Nenten dados ngamatiang aksara
Ya, tidak boleh membunuh/mematikan aksara. Jadi pantangannya bukan tidak boleh membaca.
Mematikan aksara secara harfiah dalam tradisi Bali berarti menempatkan “ulu” / “hulu” (= agar suatu aksara bersuara vokal “i”) dan “suku” sekaligus pada suatu aksara (= agar suatu aksara bersuara vokal “u”). Sebagai contoh:
Tha + “ulu” = akan terbaca “Thi”;
Tha + “suku” = akan terbaca “Thu”; Tapi jika
Tha +” “ulu” + “suku” = akan menjadi aksara mati (tidak terbaca).
Demikianlah dalam membuat aksara mati (menjadi tidak terbaca) dalam tulisan/aksara Bali. Tidak banyak orang Bali yang tahu tentang metode ini sekarang, karena aksara Bali sudah jarang digunakan. Dan saat ini lebih mudah mencoret saja kalau ada tulisan yang salah, sebagaimana kita lakukan di bangku sekolah, atau menggunakan pemutih dan kembali menulis ulang. Jika Anda memiliki tetangga atau teman orang Bali, coba tanyakan bagaimana ia mengoreksi tulisan/aksara Bali yang salah tulis, he he.
Mengapa mesti menggunakan kedua vokal itu, mengapa bukan “taleng” (suara “e” seperti pada sate), “tedong” (suara “a”) atau “pepet” (suara “e” seperti pada resah)? Entahlah, saya tidak tahu.
Ada yang menyampaikan bahwa “ulu” dan “suku” adalah lambang kepala dan kaki, sebagai metafora awal dan akhir. Aksara yang dimatikan adalah metafora kekinian. Sehingga ketika elemen masa depan, masa lalu hadir di kekinian, maka apa yang ada sekarang menjadi tidak bermakna karena baik masa lalu dan masa depan adalah bagian dari waktu, dan waktu adalah ilusi. Jika Anda meletakkan ilusi pada hal yang nyata akan mengaburkan kenyataan itu.
Yang lain secara sederhana berkata bahwa ini hanya agar seseorang menghargai setiap tulisan yang ia hasilkan, tidak melakukan kesalahan dalam menulis.
Kesalahan menulis terjadi jika diri kita tidak sepenuhnya ada untuk tulisan itu. Jika dalam setiap goresan kita memberikan seluruh makna kehidupan ke dalam tulisan, di sana tidak akan muncul kesalahan. Dan untuk ini diperlukan batin yang sangat awas, sehingga ia bisa mengamati setiap gerak yang timbul. Keawasan (awareness) bisa hadir jika batin menjadi begitu peka terhadap apa yang timbul dan apa yang hilang darinya, dan kepekaan hadir jika batin cukup hening – dan kemudian hening sepenuhnya.
Mungkin di zaman dahulu, masyarakat memaknai hari Siwaratri dengan melihat belajar sebagai proses yang penuh kesadaran. Dan ketika orang belajar, ia akan memberikan seluruh kesungguhan untuk belajar; belajar dengan bersungguh-sungguh.
Mahavidya Sivaratri, pengetahuan utama Sang Dewi, sebuah setapak keheningan yang penuh pesona.
Saraswati….
Selalu indah untuk meraih bijak.
Smoga tiap dari kita sadari ini…..
SukaSuka
Mbak Santi,
Suksma lan rahajang mawali.
SukaSuka
si Kecil saya lahir menjelang saraswati 🙂
**OOT, maaf sindrom baru jadi ayah 😀
SukaSuka
Bli Wira,
Kalau sudah jadi ayah ya seperti ini, senyum-senyum ke mana-mana, orang-orang sekitar jadi turut berbahagia 🙂
SukaSuka
wah ru thau, mengesankan………
salam kenal mas
SukaSuka
ofaragilboy,
Terima kasih dan salam kenal kembali 🙂
SukaSuka
Ilmu memang tidak pernah habis dibagi, itulah (mungkin) mengapa sarasvati sarat dengan perlambangan.
OOT, saya dapat cerita detil ini dari suami kakak saya yang kebetulan orang bali dan penganut hindu.
SukaSuka
Pak Aldy,
Ilmu tidak habis dibagi, tapi jika salah digunakan bisa menghabiskan yang semestinya mendapat kesejahteraan dari pengetahuan yang dimiliki umat manusia. Semoga kita bisa bijak dalam mengamalkan pengetahuan yang kita bekali untuk kebaikan orang banyak.
SukaSuka
Maaf, maksud saya…menerangi, bukan memerangi.. 🙂
SukaSuka
Hary4n4,
Ups…, saya malah tidak melihat justru langsung membaca menerangi, mungkin maksudnya sudah tersampaikan lebih dahulu daripada katanya 🙂
SukaSuka
Dari keheningan, batin menjadi tenang… Dari ketenangan mengalir hikmah, ilmu, dan manfaat… Moga akan selalu lahir jiwa-jiwa bening yg akan memerangi hidup dan kehidupan ini…
Terimakasih banyak Mas Cahya, utk tulisan yg indah ini…
Salam hangat, salam damai selalu…
SukaSuka
Hary4n4,
Terima kasih, saya juga banyak belajar dari blog Hary4n4 🙂
SukaSuka
baru tahu ada hari saraswati ….
SukaSuka
Suzan,
Masih merupakan hari raya, walau mungkin tidak sebesar peringatan hari raya yang lain, semisal Nyepi yang akan datang Maret ini 🙂
SukaSuka
Saya sangat terkesan dengan tulisan ini, terlebih lagi paragraf akhir :
“Mahavidya Sivaratri, pengetahuan utama Sang Dewi, sebuah setapak keheningan yang penuh pesona”.
Realitanya, Ilmu pengetahuan selalu penuh pesona dan menarik hati…
BTW, hari ini (27/2) sayapun menulis tentang hari raya Sarasvati, dan saya sudah backlink tulisan Mahavidya Sarasvati ini. Semoga berkenan bersama-sama memberikan pencerahan bagi kita semua.
TERIMAKASIH telah berkenan Berbagi Kata Bersama…
SukaSuka
TuSuda,
Suksma Dokter Putu, ngiring lanturang pamargi soang-soang antuk karahayuan sareng sami.
SukaSuka
met hari saraswasti bro! oh ya thank’s ya atas masukanya buat penulisan gw kedepannya, btw, infonya bagus banget tapi terlalu berlebihan bro! he he he!
sekedar masukan! good luck!
SukaSuka
bonk ava,
Terima kasih. Yang berlebihan memang seharusnya dibagi-bagi agar ada pemerataan 🙂
SukaSuka