Siapa yang tidak kenal Arjuna salah satu dari kelima Pandawa. Tokoh dalam kisah Mahabharata ini sangat sering kali lebih menonjol dibanding saudara-saudaranya yang lain. Mungkin ia memiliki lebih banyak ego dibandingkan saudara-saudaranya. Namun tidak salah karena ia termasuk panglima paling tangguh dalam perang keluarga Bharata.
Peralatan tempurnya merupakah anugerah dari Agni sang penguasa api, baik dari kereta tempurnya hingga ke busur Gandeeva yang terkenal tak terpatahkan itu. Ia bahkan menerima Pashupata (Pashupastrastra/Pasupati) dari Shiva, senjata yang sanggup melebur segala bentuk ciptaan tanpa terkecuali, atau bahkan Brahmastra milik Brahma yang konon dapat menghancurkan seluruh semesta yang diciptakan oleh Brahma – senjata yang sama yang digunakan Rama untuk mengalahkan Rahwana, dan satu-satunya senjata yang bisa menundukkan Hanuman yang dilepaskan Indrajit saat kera putih itu mengobrak-abrik Lanka Pura.
Karena banyaknya gelar yang diperolehnya, kadang membuat Arjuna menjadi agak tinggi hati. Apalagi ia mendapat dukungan penuh Hanuman untuk maju di medan perang besar itu. Ia pun cukup bangga bahwa Sri Krishna – Tuhan sendiri – bersedia menjadi sais kereta perangnya, bahkan mungkin memberinya perasaan sebagai “majikan” cukup menyenangkan baginya.
Dengan sedikit merasa sebagai “majikan”, Arjuna meminta Krishna turun terlebih dahulu dari kereta perang pada suatu sore saat perang hampir selesai. Namun sebaliknya, Krishna berkeras hati agar Arjuna-lah yang harus turun kereta lebih dahulu, dan tampaknya Krishna tak hendak mengubah keputusannya.
Setelah lama merengek dan memohon, namun gagal. Akhirnya Arjuna terpaksa turun dengan nyaris tidak rela sambil menelan kembali kesombongannya.
Setelah itu barulah Krishna turun dari kereta. Tepat setelah Krishna turun, kereta perang itu langsung terbakar hebat dan hangus menjadi arang dan debu. Arjuna sangat kaget dan menanyakan apa sebabnya.
Tentu saja kereta itu selama peperangan dihantam oleh berbagai senjata musuh dengan berbagai kehebatan (kesaktian), namun selama Krishna berada di atas kereta itu, tentunya tidak akan ada efeknya. Tapi begitu perlindungan Ilahi menghilang, kita bisa menduga apa kelanjutannya. Mungkin Arjuna lupa, bahwa bukan hanya dia saja yang membekali diri dengan senjata super canggih saat peperangan itu.
Terkadang kepercayaan tidak selalu memerlukan alasan untuk disampaikan. Kadang kita harus melihat adakah egoisme di saat kita menuntut sesuatu pada orang lain, karena kita sering lupa betapa kita adalah makhluk yang egois.
catatan: kata astra pada Brahamastra atau Pashupatastra merujuk pada akhiran yang bermakna senjata.
Adaptasi dari Chinna Katta I.30
untunglah ada Kresna.. dalam cerita Mahabrata Kresna adalah salah satu tokoh yang saya sukai 🙂
SukaSuka
Wajar bila ada sedikit kesombongan, asalkan tidak jd berlebihan, dan selalu ingat bahwa selalu ada yang lebih daripada kita.
SukaSuka
Sebuah pelajaran berharga. Sesungguhnya apapun pencapaian kita, tak lebih titipan Sang Maha Kuasa, terlalu kecil kita jika ingin sombong.
Kira-kira begitu ya…?
SukaSuka
Kangen dahulu ketika masih bisa nonton wayang di kampung!
di waktu pagi dini hari bersama bapak-bapak
SukaSuka
Saya lebih menyukai Bima daripada Arjuna. Bima terasa lebih manusiawi dibandingkan Arjuna.
Saya baru tau kalau Krishna itu Tuhan dalam Hindu. Tapi ndak penting siapa Tuhannya, yang lebih penting itu perbuatannya di dunia. 🙂
SukaSuka
sampurasunnn…. wah salam kenal mas, baca cerita di atas pengen cepet hati jumat nih, soalnya setiap jumat malam sya suka dengerin acara golek…. seru…. salam dari bogor
SukaSuka
Waaaaaaaaah… bagus banget ni ceritanya. Saya suka cerita2 pewayangan. Banyak yang bisa kita petik hikmahnya. Thanks for sharing… 🙂
SukaSuka
kalo alasan yang tak selalu dikatakan artinya menahan diri untuk berkata-kata alias diam dong 😀
SukaSuka
Suzan,
Kata orang pemahaman adalah bahasa kalbu yang tak perlu selalu terucap untuk tersampaikan 🙂
SukaSuka
cerita inisukses bikin saya introspeksi diri, ya. dan susah jadi orang yang bisa selalu rendah hati.
SukaSuka
greengrinn,
Saya juga selalu begitu, sampai saya harus *nepok jidat* (niru Suzan cs) dan berkata “mengapa kamu merasa dirimu begitu berbeda” pada diri saya sendiri…
SukaSuka
Siapa sih yang tidak sombong jika memiliki kesaktian yang sedemikian dahsyat dan semakin jumawa ketika sang Maha Pelindung selalu berada disampingnya ?
Seandainya bukan Sri Khrisna yang menjadi sais kereta perang arjuna, mungkin ending ceritanya akan berbeda dan jangan-jangan sang arjuna justru sudah gugur dimedan laga.
SukaSuka
Pak Aldy,
Ya, itu bisa saja terjadi, namun terima kasih pada kakak sepupunya Duryodana yang sudah berbaik hati memilih bala tentara kerajaan Dwaraka untuk bertempur di pihak Kaurawa dibandingan mengalah pada Arjuna yang memilih Raja Dwaraka yang menjadi sais yang tidak akan mengangkat senjata saat perang.
SukaSuka
Yang menjadi sais memang tidak mengangkat senjata mas Cahya, tetapi yang mengendalikan pergerakan kereta tentu si sais. Apa jadinya jika sang pengendali membawa keretanya serampangan ?
SukaSuka
Wah, bagus lho Mas Cahya, sekali2 nge-post sesuatu mengenai kisah2 seperti ini. 🙂
SukaSuka
Asop,
Biasanya sebulan saya hanya mengadaptasi satu atau dua cerita dari buku kecil ini….
SukaSuka
memang sulit menghilangkan rasa ke-aku-an itu…
SukaSuka
uni,
Seperti peribahasa tua, seseorang tak pernah benar-benar bisa membunuh dirinya sendiri 🙂
SukaSuka
haduh bahaya banget sikap sombong ini,kalau si arjuna tetep ngotot bisa2 dia mati terbakar ya?
harus rajin2 ngecek hati supaya gak merasa sombong,di atas langit masih ada langit
terimakasih atas cerita yg penuh makna ini 🙂
SukaSuka
ini dulu jadi perdebatan saia dengan teman saia 😉
SukaSuka
jun,
Asal tidak berlanjut ke pertengkaran 🙂
SukaSuka
Bli, saya kok menerapkan ke diri sendiri: terkadang manusia terlalu sombong untuk menghilangkan ‘peran’ Tuhan dalam pencapaian hidupnya.
Membaca cerita ini, langsung malu. 😉
SukaSuka
Mbak Isnuansa,
Mereka bilang ke mana pun memandang selalu tampak wajah-Nya, pada si miskin maupun si kaya, pada yang dipuji atau pun yang dihinakan, pada sehat atau pun yang sakit, pada yang bergembira atau pun yang sedih…
Meski kata-kata itu sederhana untuk kita dengarkan, namun seringkali tidak demikian. Kita tak melihat wajah-Nya di mana-mana, sehingga kita bisa melayangkan tinju pada siapa pun, kita bisa mencaci maki siapa pun yang kita lihat “berbeda” dari kita… sebagaimana tulisan terbaru di blog Mbak Tary yang memberi tanggapan sebelum Mbak Ninuk.
Mungkin benar, kita terlalu “sombong”…
SukaSuka
enak, tuh. wah, dapat dari mana cerita ini?
SukaSuka
wahyu,
Dari buku kecil berjudul “Chinna Katha” – hanya saya adaptasi dengan menambah beberapa pranala daripada saya menambahkan sitasi.
SukaSuka
kepercayaan itu tumbuhnya dari hati, tidak ada yg boleh memaksakan kepercayaannya kepada orang lain, setiap diri manusia di lahirkan dengan hati nurani yang luhur, dan disitulah kepercayaan itu tumbuh.
SukaSuka
Setiap kondisi apapun jua, TUHAN Sri Krsna, selalu menyertai para Bhakta-NYA, penyembah yg sejati. BhagavadGIta menyabdakan, Dimana ada Sri Krsna dan Arjuna disanalah akan ada kejayaan, kekayaan dan kemasyuran.
Terimakasih atas wiracaritanya yg penuh arti…
SukaSuka