Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Percakapan Si Bodoh (bag. II)

Pertama-tama ini tidak berhubungan dengan episode “Percakapan Si Bodoh – Bagian Pertama”, namun jika Anda tertarik untuk menghubungkannya, saya rasa saya tidak dapat melarangnya. Karena mungkin ada beberapa kisah orang bodoh di blog ini, dan tidak semuanya saling berhubungan. Namun jika Anda percaya setiap insan di dunia saling terhubungkan dalam arti tertentu, tentu saja itu tidak masalah. Jadi mari kita mulai kisah bagian kedua ini.

Siang itu sangat terasa sangat panjang bagi si anak, selain hujan deras dengan suara guntur yang bersahutan, langit gelap tak bisa lagi membuat suasana di rumahnya lebih buruk lagi. Kedua tangan mungilnya mendekap boneka beruang cokelat kesayangannya dengan sangat erat, tubuhnya bergetar bagai kedinginan, namun bukan oleh angin yang membawa remahan kecil air hujan, namun dari apa yang sedang berlangsung di hadapannya.

Sudah sejak lama ayah dan ibunya saling berselisih paham, sudah sering kali mereka dapat dikatakan bertengkar sejadi-jadinya, bukan sekali tamparan disaksikan oleh sepasang mata yang selalu berkaca-kaca ini. Namun entah mengapa, dalam bahasa yang tak dapat ia gapai, si kecil ini mengetahui bahwa segala sesuatunya akan berubah dengan segera.

Ia tak paham apa pun, mungkin lebih tepat hatinya tak hendak memahami apapun. Ia hanya bisa melihat dari jauh, setelahnya si ibu yang selalu menangis, namun ia tak berani mendekat, karena ia tahu ibunya akan berhenti menangis dan tersenyum untuknya – rasanya jika ia mendekat ia akan memaksa ibunya untuk mengambil beban yang lebih berat lagi daripada semua tumpahan air mata saat ini.

Paginya ia terbangun dan terkaget menyadari dirinya berada dalam sebuah mobil di pangkuan ibunya. Dan ibunya tampak tersenyum melihat si kecil telah terbangun dari tidur lelapnya.

Kita akan ke mana Bu?” Tanya si kecil.

Karena liburan musim panas sudah tiba, Ibu akan mengajakmu berlibur di tempat yang indah, seorang teman Ibu punya tempat yang pasti kamu akan suka.”

Si kecil terdiam, ia masih teringat kejadian semalam. Ia tidak tahu apa ini akan berhubungan atau tidak. Ia juga tak ingin kembali ke rumah, ia tak ingin melihat ibunya menangis lagi, ia juga tak ingin melihat ayahnya – bukan ia benci sebenarnya – hanya saja belakangan ini ia semakin tidak menyukai ayahnya – pun itu mungkin hanya perasaan kecilnya.

Mobil sedan gelap itu kemudian memasuki salah satu rumah mewah di Cosquer sebelah Timur kota pelabuhan Brest. Si ibu dengan lembut menggandeng tangan anaknya memasuki main hall di mana seorang kepala pelayan yang sudah cukup berusia telah menunggunya untuk mengantarkan kedua tamu menuju kamar yang telah disediakan.

jeune seigneur serait bientôt à la maison” sebuah kata pendek yang nyaris tak didengar oleh telinga si kecil terucap secara pelan dan halus dari sosok tua yang tampaknya cukup ramah menyapa ibunya. Sementara beberapa pelayan wanita tampak masuk membawa nampan-nampan perak dengan hidangan yang seperti berisi menu sarapan pagi yang bergizi.

Si ibu dengan lembut membantu si kecil menata sarapannya, dan memperhatikan buah hatinya menikmati sarapan paginya. Si kecil mungkin tidak banyak tahu, walau sebenarnya itu sarapan pagi yang mewah, namun baginya hanya seperti baguette biasa yang telah dipotong-potong jadi tartines mungkin itu yang disebut Pelletier – hal ini mengingatkan bahwa dalam budaya negeri itu, orang dianggap lebih sopan untuk mematahkan roti sebelum dimakan daripada menggigit sedikit demi sedikit dalam ukuran besar. Tapi perutnya memang lapar, karena semalam ia hanya makan sedikit karena suasana yang kacau telah meredupkan selera makannya. Ia pun tampak menikmati cokelat hangat yang kental, namun tampaknya tidak menyentuh apa yang terlihat seperti P’tit brioché pelletier yang pernah ia lihat di salah satu restoran dulu.

Beberapa menit kemudian, kepala pelayan memasuki ruangan setelah di persilakan si ibu. Dari kata-katanya, si kecil tahu seseorang yang ingin ditemui ibunya telah kembali ke rumah itu.

Nak, selesaikan sarapanmu ya…” kata si ibu lembut “ibu ingin menemui seseorang, Ibu tidak akan lama, sebentar lagi kembali.”

Si anak hanya mengangguk perlahan, melihat ibunya menghilang dari balik pintu.

Namun entah kenapa, si kecil tiba-tiba meloncat turun dari mejanya. Ia berlari ke dekat pintu dan melihat bayang ibunya berbelok ke salah satu koridor. Ia melihat bahwa tidak ada orang lain di sekitarnya, ia pun berlari berusaha melihat lagi ke mana ibunya pergi. Ia tidak tahu mengapa, namun ia merasa harus melihat ibunya. Ia berlari-lari kecil di koridor dengan arsitektur dari era Baroque, dan bayang-bayang ibunya tampak semakin mengarah ke luar di belakang bangunan utama.

Ia merasa sepertinya bangunan besar itu terlalu sunyi, bahkan dari tadi membuntuti ibunya ia tak mendapati seorang pun berpapasan di koridor yang panjang, tinggi dan dingin itu – ah, ya…, mungkin karena sekarang telah memasuki musim dingin.

Akhirnya koridor panjang itu berakhir juga bagi kaki-kaki mungilnya, sebuah pintu keluar dari bangunan utama. Ia perlahan membuka pintu itu dengan napas yang ia tahan sedemikian rupa sehingga tak menimbulkan suara sebagaimana juga ia membuka pintu, namun tentu degup jantung kecilnya telah berpacu dengan kencang.

Ibunya berjalan dengan kepala pelayanan itu pada sebuah setapak yang tampaknya masih jauh ke belakang bangunan utama, taman-taman yang mungkin tampak indah di musim semi semakin  menyamarkan bayang-bayang ibu yang diikutinya, belum lagi ditambah kabut yang tampak tak hendak menipis dan matahari belum juga kunjung terbit.

Sejenak ia ragu, namun entah kenapa ia memilih tetap melangkahkan kakinya mengejar bayang ibunya. Beberapa kali tampak wajahnya menahan kejut dari rasa sakit, karena ia berlari di atas jalan berkerikil tanpa alas kaki. Tampaknya karena spontanitas tadi membuatnya lupa mengenakan alas kakinya. Ia tampak berlari kecil di pinggir sebuah potager, yang agak luas. Sementara bayangan ibunya tampak sudah melewati beberapa barisan pohon hutan jauh di depan.

Beberapa menit berselang si kecil akhirnya berhenti juga, ia melihat dari balik rerimbunan ibunya memasuki sebuah Norman Cottege yang indah. Si kecil menunggu dengan sampai kepala pelayan melewatinya dan kembali ke bangunan utama. Baru setelahnya si kecil berani melangkah mendekati rumah kecil itu.

Kembali langkahnya begitu perlahan, hingga ia tiba di depan pintu yang belum tertutup sempurna. Ia melihat ibunya sedang duduk di sofa dekat perapian yang menyala sedang, sementara seseorang laki-laki seusia ibunya tampak rapi dengan pakaian formal duduk di sofa yang berseberangan. Mereka tampak bicara dengan serius, pun demikian si kecil bisa melihat wajah ibunya yang sedih, namun juga tampak bahagia setiap kali orang yang di hadapannya berbicara dengan lembut.

Si kecil tidak jelas tentang apa yang mereka bicarakan, ia hanya menangkap beberapa kata seperti “séance”, “défaire”, “avocat” dan beberapa kali namanya disebut dalam linangan air mata ibunya. Si kecil pun terduduk, ia tak bisa memahami lebih banyak tentang pembicaraan orang dewasa, namun ia tahu ibunya sedang dalam masalah, dan mungkin juga berkaitan dengan dirinya, mungkin ibunya di sini untuk meminta bantuan pada orang asing itu – pikirnya yang semakin lama semakin melayang menjauh.

Namun ia dikejutkan oleh usapan kecil di atas kepalanya. Rupanya si ibu, telah berdiri di sampingnya. Ia tidak tahu namun ia bisa merasakan tangan ibunya bergetar halus.

Biar aku saja, istirahatlah dulu di dalam, emosimu sedang labil, biar aku yang menemaninya.” Kata pria itu pada ibunya, dan sekaligus meraih tangan kecilnya sambil si pria berjongkok di hadapannya. “Nak, bagaimana jika kita berjalan-jalan di taman depan, dan biarkan ibumu beristirahat dulu.”

Tanpa banyak bicara si kecil berdiri dan mengikuti pria itu. Ia hanya bisa diam saat melihat ibunya melambaikan tangan. Ia tak tahu harus bagaimana. Ia tampak dengan polos mengikuti orang yang tak begitu dikenalnya, mungkin dalam hatinya ia begitu bimbang.

Lalu tibalah mereka di taman depan yang tampak sangat luas di mata si kecil. Tanaman-tanaman taman yang indah mulai terkuak seiring menipisnya kabut dan beranjaknya matahari ke ketinggian.

Kamu tidak takut bersama orang yang tidak dikenal?” Suara itu lembut menyapa si kecil dari

Tidak, rasanya Anda bukan orang jahat Tuan…”

Pria itu tertawa, ia lalu mengajak si kecil duduk di ayunan di salah satu sisi taman.

Kulihat kamu mengkhawatirkan ibumu…” Si pria merujuk tindakan di kecil yang menyusul ibunya diam-diam. “Namun satu hal yang mungkin boleh kuberi tahu padamu bahwa ibumu sedang dalam kesulitan besar, jika tidak ia tidak akan datang menemuiku – orang terakhir yang mungkin dipilih untuk ditemuinya.”

Si kecil menatap dengan sedikit bumbu keheranan dalam pandangannya.

Apa Tuan ….”

Muet…, kamu boleh memanggilku Muet…”

Tiba-tiba saja si kecil tertawa cekikikan, seketika wajahnya cerah… “Maaf…” katanya spontan dengan pelan.

Ah…, tak mengapa, semua orang begitu pada awalnya

Tidak… Muet… (tertawa kembali). Ibu sering mengomel tentang saya jika saya berbuat keliru dengan berkata, ‘semoga dia tidak sedungu Muet” katanya, saya pikir itu hanya leluconnya”.

Ha ha…, ternyata gadis bodoh itu tidak berubah sejak dulu.”

Nah…, lihat dulu siapa yang berbicara.” Si kecil diam sejenak “Lalu Muet, mengapa Ibu datang menemuimu, apa kamu pengacaranya…?” Si kecil tertunduk lagi.

Bukan Nak…, beberapa tahun sebelum kamu lahir, katakanlah aku penjaga ibumu.”

Seperti ksatria dan putri dalam dongeng?”

Tidak persis, karena kami lebih sering bertengkar, namun bisa dikatakan begitu.”

Apa ksatria itu pensiun dari tugasnya karena sering bertengkar dengan putri, mengapa ia tidak menjaganya sampai sekarang?”

Pria itu terdiam sesaat, “Ada hal yang ingin dicapai putri, dan ia memerlukan ksatria yang lebih baik dari yang lama untuk itu.”

Apa yang tidak bisa dilakukan ksatria itu, apa yang ingin dicapai oleh putri?”

Entahlah, sampai sekarang pun aku tidak begitu tahu walau sedikit banyak mengerti, mungkin itu apa yang disebut orang-orang sebagai ‘kebahagiaan sejati’.”

Tidak mungkin! Putri itu selalu menangis sepanjang waktu, bagaimana mungkin bisa dikatakan dia mendapat kebahagiaan!?”

Ambil napas panjang Nak…” suara si pria terdengar lembut di antara untaian pagi, “Kurasa putri itu sudah mencapai apa yang ia inginkan, bukti nyata untuk hal itu ada di sini, di sampingku sedang berayun.” Si pria tidak berkata apa pun lagi, hanya tersenyum kecil dan menatap ke langit.

Si kecil dengan nada bingung dan sedikit tawa, “Lalu siapa sebenarnya si muet itu…”

Matahari semakin tinggi, beberapa kali terdengar suara kendaraan bermotor yang melintas di kejauhan. Walau tata taman yang dirancang berdasarkan La théorie et la pratique du jardinage tidak menampakkan banyak warna cerah di musim ini, namun tidak ada mata yang bisa menolak keindahan yang terhampar di hadapan kedua orang yang berasal dari generasi yang berbeda itu.

Aku memiliki beberapa hal lagi yang ingin kusampaikan, walau mungkin nanti Ibumu akan menyampaikannya juga.”

Si kecil hanya terdiam…

Apa yang akan dihadapi ibumu ke depan adalah hal-hal yang sulit dan berat. Ia tidak ingin berpisah denganmu, namun juga tidak ingin kamu melihat hal-hal yang berat bagimu untuk masa-masa sekarang ini.”

Apa aku akan dipisah dari Ibu?”

Aku lebih suka mengatakan, bahwa seseorang akan mengajakmu untuk bepergian keliling dunia selama musim liburan, dan ibumu mengizinkannya.”

Sekarang aku tahu, saat aku mencari-cari alasan, ibu selalu bilang aku tampak sedungu si muet.” Dia kembali tersenyum, “Lalu siapa yang akan mengajakku?”

Pria itu menunjukkan suka citanya, “Ah…, tentu saja, dia seorang teman yang baik. Hanya berumur beberapa tahun lebih tua darimu. Dan aku yang menyarankan ini padamu – karena aku mempercayai orang itu.”

Muet percaya pada seorang anak kecil?”

Nah…, hal yang sama kulihat darimu, bisakah aku mempercayaimu.” Dia tersenyum geli, “Lagi pula dia tidak buruk, pekan lalu banyak orang yang berterima kasih padanya karena ia membantu – dengan egoisnya – memecahkan sebuah kasus unik.”

“… Ya, aku masih ingat saat masih harus membereskan berkas-berkas reine de requime yang terlalu banyak karena ulahnya. Namun karena dia masih ada di negeri ini, kurasa tidak ada salahnya kuminta ia mengajakmu jalan-jalan…” tambah pria itu seakan-akan berbicara pada dirinya sendiri.

Aku tak keberatan jika ibu merasa hal ini lebih baik, namun asal Muet berjanji padaku akan menjaga ibu dengan baik.”

Pasti.”

Lalu kapan kedatangan…”

Belum selesai si kecil berucap, sebuah sedan berwarna gelap memasuki gerbang depan dengan beberapa mobil lain berhenti di depan gerbang. Dari plat nomor yang terpasang dan bendera kecil yang ada di bemper depannya, itu adalah kendaraan kedutaan dari negara sahabat di Utara.

Setelah berhenti, sepasang anak sebaya turun dari kursi belakang. Dia langsung melangkah ke arah si pria dan si kecil.

Jadi inikah yang akan menjadi anggota wisata keliling dunia selanjutnya?” anak laki-laki yang baru datang itu menatap dengan wajah berseri-seri pada si kecil.

Div bagaimana kamu tahu itu dia?” tanya si pria memancing.

Well…, sederhana saja. Di rumah besar dan kuno ini si muet hidup sebatang kara, tidak ada anak kecil. Kemarin malam si muet menghubungiku dan berkata ada anak yang ingin ikut serta dalam perjalanan kami kali ini. Di sini sekarang ada anak seorang anak kecil, dan pertanyaan si muet baru saja menyimpulkan jawabannya dengan sendirinya.”

Berhenti-lah bermain deduksi di pagi hari, itu akan membuatmu sesial muet.” anak perempuan yang lain memotong usaha temannya untuk melanjutkan berbicara. Dan mereka berempat pun tertawa lepas.

Mereka melanjutkan bercakap-cakap di sekitar meja taman, sementara beberapa pelayan tampak lalu lalang membawakan minuman untuk tamu dan tuan rumah.

Sang ibu kemudian bergabung, bebannya tampak luntur saat mengetahui apa yang menjadi pikiran mereka bersama. Ia bahkan sempat bergurau, “Nak, Ibu sempat khawatir kamu tidak akan bersedia untuk ini dan memilih tinggal di sini, Ibu khawatir kamu akan menjadi sedungu si muet.”

Lalu perpisahan pun akhirnya tak dapat dihindari. Si kecil berpamitan pada ibunya. Dia kini bersama dua orang sahabat barunya yang ia panggil Div dan Ana.

Sedan gelap itu melaju dengan cepat pergi masuki wilayah Recouvrance menuju Brest.

Kita akan ke mana…?” Tanya si kecil penasaran.

Div ingin menemui mayor kota berikutnya di Musée de la Marine de Brest karena ada berkas penting yang ingin diserahkan di luar kantor katanya. Sedangkan kamu akan menemaniku sejenak ke kapel keluarga di Plougastel-Dauolas, kuharapkan kamu tak keberatan” Ana menjawab dengan singkat rasa penasaran si kecil.

Aku tak keberatan …, tapi mengapa mayor sampai ingin menemui Div” sambil si kecil menunjuk pada anak laki-laki yang setengah tertidur di kursi depan, “Apa dia orang penting?”

Ha ha…, dia bukan orang penting – bahkan tidak penting sama sekali – namun kami harus mendapatkan surat perwalianmu sementara atas nama si Muet. Kami tidak bisa menunggu – apa yang orang dewasa sebut sebagai birokrasi – hingga selesai sebelum kita mulai perjalanan ini. Jadi sedikit ‘pintu belakang’ akan sangat membantu, dan untungnya kami punya sedikit bantuan dari orang-orang penting untuk hal-hal ini. Setelahnya barulah kita akan pergi melanglang buana.”

Tiba-tiba wajah Div melongok dari kursi depan. “Jadi ada ide kita akan pergi ke mana?” Ia menatap lembut si kecil.

Di sini agak dingin, bagaimana jika kita ke tempat yang lebih hangat?”

Hmm…, begitu ya. Bagaimana jika kita pergi ke sebuah pulau tropis, aku pernah dengar di sana ada tempat indah yang dulu menjadi kerajaan kupu-kupu. Bagaimana, tertarik mencoba?”

Mungkin…”

Ayolah, akan kuceritakan legenda lokal tentang ‘Half Winged Butterfly’ yang pernah kudengar di daerah itu saat kita terbang nanti malam dari Brest Lesquin.” Sambil anak itu menunjukkan sebuah poster iklan pesawat jet pribadi.

Akhirnya si kecil menangguk tepat sebelum mobil berhenti dan Div turun di sekitar Tour Tanguy di mana panorama Château de Brest tampak indah dan megah. Div berkata akan ada yang menjemputnya di sana karena ia tidak ingin terlalu menarik perhatian dengan membawa kendaraan kedutaan ke lokasi publik.

Beberapa puluh menit kemudian, mobil sampai di kapel kecil yang dimaksud, si kecil bisa sayup-sayup melihat orang berlatihan paduan suara dari kejauhan. Ia merasa lebih nyaman dan tenang dalam saat dituntun mendekati kapel.

Shall we met Him before we leave…?” Tanya Ana pada si kecil.

Lalu langkah mereka berdua mengarah ke ruangan di mana suara-suara merdu melantunkan Veni Creator Spiritus semakin jelas terdengar. Si kecil melihat relief seperti kupu-kupu di antara bangunan kapel, ia teringat ke mana mereka akan pergi. Namun sebelumnya mungkin ia akan mengucapkan selamat tinggal terlebih dahulu, dan mempercayakan segala yang ditinggal pada si dungu Muet.

=o= Selesai =o=

 

Catatan penulis:

Semua tulisan ini tidak berada dalam lisensi creative commons, namun sepenuhnya © Cahya Legawa. Beberapa bagian dari cerita ini diaptasi dari bab-bab awal manuskrip “Not The Last” (yet about to published). Jadi tidak diizinkan menyebarluaskan tulisan ini ke mana pun, dalam bentuk apa pun, dengan alasan apa pun. Atau pihak editor dan penerbit akan menggantung mati saya (ha ha becanda sih, tapi bener saya bisa “digantung” dalam artian yang berbeda).

Semoga bisa menikmati kisah ini, jika Anda menemukan kesulitan dalam beberapa istilah, silakan membuka French Encyclopedia atau French Dictionary.



12 tanggapan untuk “Percakapan Si Bodoh (bag. II)”

  1. :: cahya, serasa baca novel..
    :: bli wira, u never walk alone..sama saya juga ndak ngerti..Hhee..dasar nak buduh.. T_T

    Suka

  2. sy sama dgn bli made wira..
    @_@

    Suka

  3. setelah dipikir-pikir, ternyata si bodoh itu saya, yang membaca dengan seksama tetapi tidak mengerti jelas cerita ini **dasar dungu 😦

    Suka

  4. Sebuah cerita yang sarat makna dari narablog yang kaya pengalaman dan penuh talenta. Terimakasih telah berbagi ceritanya bersama…

    Suka

  5. mas cahyaaa..hebat…ndak sabar saya nunggu published nya :)..selamat ya mas, salam semangat…

    Suka

    1. Wigati,

      Mau menunggu sepuluh atau dua puluh tahun lagi? 🙂

      Suka

  6. Cerpen yang menarik dengan rangkaian kata yang menarik. Bli Cahya jago bikin cerita, lama-lama bisa jual skenario untuk sinetron nih.

    Tapi dari cerita di atas, saya tidak melihat esensi bodoh (sesuai judulnya), malahan alur ceritanya saya ikuti seperti seolah-olah saya nonton film 🙂

    Suka

  7. ampun dah, bli cahya ini emank amazing!!!

    bisa update blog tiap hari, bisa nulis puisi, dan ini lagi bisa bikin cerpen!!!

    bisa” ntar kek raditya dika yang kemudian blognya dijadiin buku 😉

    Suka

  8. Mengucapkan selamat sore 🙂

    blogwalking dulu … ehheheh

    Suka

  9. Selain berpuisi ternyata mas cahya juga pintar membuat cerpen.
    Sama dengan mbak Zee, saya harus membaca ulang untuk menyelaraskan isi cerita dengan judulnya.
    Atau saya yang terlalu bodoh untuk tahu ? yang pasti saya bukan si muet. 😀

    Suka

  10. Saya bingung, yg mana percakapan bodoh itu?
    Saya harus baca dua kali setiap paragraph karena sedang tidak konsen siang ini… ini tulisan yang bagus kok mas cahya. hati2 dicopas orang…

    Suka

  11. Tuh kan lagi2 Mas Cahya merendah…..
    Buat saya percakapan ini ga bodoh…. 😦
    Berat malahan, menurut saya…. 😀
    *dasar dungu!*

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: