Sungaiku Dulu dan Kini

Jika anak tinggal di desa yang memiliki DAS, tentunya sungai merupakan salah satu tempat permainannya. Baik sungai yang kecil maupun yang besar, anak-anak selalu menemukan kesenangannya dengan bermain di sungai, apakah hanya dengan sekadar berenang, bermain lumpur, menangkap ikan atau udang, atau banyak permainan yang bisa diciptakan dengan kreativitas mereka di alam.

Sungai juga merupakan sumber kehidupan yang mengalir di sebuah wilayah pedesaan. Tempat orang-orang mandi di era dulu (dan masih ada sampai sekarang), mencuci – tidak hanya sandang namun juga pangan (seperti buah-buahan dan sayuran yang hendak dijual ke pasar), atau juga untuk kakus saat dulu belum ada toilet, sehingga genap sudah dibilang sungai itu MCK-nya orang dulu (dan masih ada sampai sekarang).

Bagi kami yang tumbuh dengan aroma sungai yang dipenuhi belukar hijau adalah kenangan yang luar biasa indah, bahkan hingga ke momen-momen di mana si anak terjatuh dan nyaris tenggelam karena lupa ternyata dia bisa berenang. Ah, ya tentu saja sungai adalah tempat belajar renang murah meriah secara autodidak bagi anak-anak. Walau sampai sekarang saya tidak bisa berenang dengan baik, setelah tragedi terakhir di bukit jati.

Tapi apa yang membuat saya kaget beberapa tahun terakhir ini?

Sungai yang berbukit-bukit itu kini telah menjadi TPA yang bergunung-gunung tingginya dengan aroma tak sedap bercampur aduk dengan aroma tak nikmat lainnya, berlomba-lomba merusak pandangan dan menyengat indera penciuman dengan rasa tak suka yang teramat sangat.

Daerah yang dulunya banyak pohon mangga liar di mana kami suka melempari buahnya dengan batu, dan kemudian duduk di bawahnya untuk membuat rujak kini berubah menjadi pemukiman kumuh mereka yang mencari kehidupan dari tumpukan sampah itu. Kadang aku melewati jalan itu dengan sepeda motor – yang dulunya sepi sunyi, kini – bersama dengan truk-truk besar yang mengambil jalan pintas dari Bali Timur ke Bali Barat, rasanya perasaan ini bagaimana… tak terungkapkan.

Saya tak perlu sertakan gambarnya, ada banyak lokasi yang bahkan lebih parah sering muncul di layar televisi kita. Saya tak bisa berkata apa-apa, karena saya menyadari, di mana pun saya berada, saya juga merupakan bagian dari masyarakat yang melakukan pemborosan dan bertanggung jawab atas setiap kerusakan alam di mana pun saya berpijak.

Sungai yang dulu penuh dengan kehidupan, sekarang tampak menangis dalam tumpukan yang menyedihkan, dan seorang anak manusia yang tidak bisa berbuat apa-apa akannya.

Ada banyak tempat yang indah di nusantara ini yang dialiri oleh sungai-sungai yang menawan hati. Mungkin saja mereka yang akan menjadi target berikutnya dari tumpukan sampah ini seperti ini, mungkin itu adalah kampung halaman anda, sesuatu yang Anda tak pernah bayangkan sebelumnya.

Selama kita tak mampu mengolah sampah secara mandiri, selama gaya hidup kita menciptakan sampah lebih banyak dari jumlah yang bisa kita tangani setiap waktunya, maka alam kita akan menanggung beban yang tidak bisa kita atasi.

Kita menciptakan lingkungan yang kita tempati sekarang, sebuah rumah yang kita sebut bumi, sebuah tempat tinggal yang tak dapat kita buat dengan tangan kita sendiri dan sesuatu yang akan terus diwariskan dari generasi ke generasi.

Saya tidak perlu berbicara lebih banyak, jika kita tak hendak berubah, maka tak akan ada yang berubah!

10 tanggapan untuk “Sungaiku Dulu dan Kini”

  1. sedih melihat sungai-sungai yang ada telah beralih fungsi menjadi TPA-TPA ilegal ulah kesadaran masyarakat yang masih rendah. kunci utama untuk merubah keadaan ini adalah merubah mindset masyarakat di sekitar sungai itu agar tersadarkan bahwa sungai adalah jantung fital bagi mereka dan masyarakat secara keseluruhan.

    Suka

    • Nur Ali Muchtar,

      Mungkin diwaspadai juga aparat desa yang bersedia mengizinkan wilayahnya jadi TPA legal tanpa persetujuan warganya 😀

      Namun memang benar, mengubah pola pikir masyarakat adalah hal yang vital, namun memberikan pendidikan pengolahan sampah yang tepat guna dan berdaya guna juga bukan hal yang mudah. Siapa yang mau? Pemerintah (yang mungkin sibuk dengan proyek-proyek lebih berduit)?, LSM atau Swadaya?

      Yah, intinya kita sebagai bagian dari masyarakat memang tidak bisa lepas dari tanggung jawab bersama ini.

      Suka

  2. wah2… kisah masa lalu yah bli cahya? mantab… sayangnya masa kecil saya jauh dari sungai, jadi gak bisa bolang disungai. hehe.
    .-= Artikel terakhir blog hanifilham: Rencana Membuat Ebook =-.

    Suka

    • Hanif,

      Yah, kan topik utamanya bulan ini masih belum beranjak dari dunia anak-anak, ya, jadi topiknya masih seputar itu.

      Di Bali pulaunya kecil, jadi di sana-sini pasti ada sungai, jika pun mau ke pantai atau ke gunung dengan kendaraan bermotor juga tidak terlalu jauh.

      Suka

  3. saya kebetulan tinggal cukup dekat dengan sungai, di belakang rumah saya ada sungai yang cukup besar dan mengalir air tanpa henti.. tapi entah mengapa rasanya enggan untuk sekedar mandi apalagi mencuci di sungai, mungkin karena kondisi masyarakat (tetangga) sudah jauh lebih baik dimana semua memiliki fasilitas MCK yang memadai

    Suka

  4. sungai di desa saya dulu ada airnya, tapi kini hanya menjadi lembah yang kering. hanya sesekali saat hujan ada air menggenang di sana.

    baik sekali mengangkat topik ini, Dok. Sungai sebagai salah satu simbol dan indikator perubahan alam dulu dan sekarang…

    Suka

  5. ……..Sungai di Palembang, di dekat tempat ayah saya tinggal semasa kecil, udah sangat berubah… dulu yang katanya airnya jernih, arusnya deras, banyak ikannya, sekarang gak lebih dari kali kotor nan cokelat yang penuh sampah… 😦

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.