Sebagai sebuah bangsa yang memiliki bahasa sendiri, Indonesia mungkin cukup beruntung karena tidak perlu meniru bahasa lain untuk dijadikan bahasa bangsanya. Dulu katanya, bahasa adalah pemersatu bangsa – karena dengan bahasa Indonesia kita bisa berkomunikasi dengan baik dan efektif serta estetis dengan segenap lapisan masyarakat Indonesia yang juga memahami bahasa bangsanya.
Namun belakangan ini, bahasa Indonesia semakin agak ‘tersingkirkan’ dari banyak sisi kehidupan. Bahasa Indonesia, sepertinya dipandang sebagai bahasa yang formal, hanya tepat diberlakukan dalam situasi formal seperti menulis surat lamaran kerja, pidato kenegaraan, menulis karya ilmiah, dan lain sebagainya. Mungkin karena persepsi banyak generasi muda – di tengah era globalisasi – membuat bahasa Indonesia seperti sesuatu yang usang, tidak sesuai zaman, dan tidak cukup gaul.

Belum lagi momok yang dibawa oleh pengenalan bahasa Indonesia di tingkat siswa dan sekolahnya. Seperti sebuah mata pelajaran yang asal lewat, kadang membosankan, kadang sama sekali tidak bisa dimengerti – dan seorang murid bisa jadi berpikir, mengapa itu belajar bahasa saja sesulit ini. Sementara mata pelajaran yang lain belum tentu kalah rumitnya – seperti halnya ilmu pasti.
Mulai dari sekolah dasar pelajar dikenalkan pada bentuk pengajaran sederhana akan fonem (fonologi), morfem (morfologi) dan sintaks (sintaksis). Kemudian dimantapkan lagi di sekolah lanjutan dengan menambahkan unsur-unser semantik dan diskurs.
Dengan pelajaran wajib yang telah menjadi bekal itu-pun, saya sendiri tidak bisa mengatakan diri saya mantap dalam berbahasa. Bukan karena alasan tidak percaya diri, namun melihat fakta bahwa masih banyak kekeliruan yang saya lakukan ketika berbahasa membuat saya tahu dan sepakat dengan apa yang disampaikan salah seorang narablog bahwa saya bukan penutur bahasa Indonesia yang baik.
Namun saya tidak ingin bahasa Indonesia menjadi momok yang mengerikan. Saya berharap bahasa Indonesia bisa menjadi sesuatu yang menyegarkan dan menyenangkan. Dan mengurangi banyak salah kaprah dalam berbahasa, sebagaimana tulisan-tulisan menggelitik yang sering termuat di Blog Ensiklopledia Salah Kaprah.
Dan karena keterbatasan saya, maka saya sadar belajar bahasa bukan hanya 12 tahun di masa sekolah (atau mungkin lebih cepat bagi mereka yang ikut program percepatan), namun mungkin sepanjang hayat saya. Saya tahu mungkin saya perlu berulang kali membuka-buka ‘Pedomam Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan’ dan tentunya saya tahu bahwa saya sering menggunakan kosakata bahasa Indonesia yang salah eja.
Bahasa Indonesia, oh bahasa Indonesia – kadang sulit sekali untuk mempelajarinya. Namun bukan berarti kecintaan pada bahasa bangsa sendiri akan pudar, sebagaimana dalam sastra lama sering diungkapkan ‘karena cinta membuka jalan’.
Bahasa Indonesia adalah bahasa untuk bangsa Indonesia, jika bukan kita lalu siapa?

Tinggalkan Balasan ke dani Batalkan balasan