Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Bali Hijau Kembali

Belasan tahun yang lalu, saya menemukan sebuah buku bacaan yang lusuh di rumah nenek saya, dalam tutup berwarna abu-abu muda yang kusam – tertutup debu dari rak-rak tua di rumah yang tua, tertulis jelas kata “Bali” sebagai judulnya. Dan saya masih samar-samar ingat, di bagian awal buku itu diceritakan sejarah penemuan pulau Bali oleh orang-orang luar. Termasuk oleh Maha Rsi Markendya di zaman kerajaan nusantara dulu, hingga – jika saya tidak salah – oleh seorang pelaut Belanda, Cornelis de Houtman.

Mereka berbicara tentang hal yang sama, sebuah pulau tropis eksotis, seperti hutan hijau indah di atas punggung kura-kura yang mengapung di atas lautan. Dan sisanya saya tidak bisa banyak menangkap, maklum buku tua itu disusun dalam bahasa asing yang saya hanya mengenal beberapa kata sederhana saja ketika itu.

Kini angan saya terbang kembali membayangkan ke masa-masa itu. Bagaimana para pelaut asing yang pertama kali melihat Bali setelah berlabuh di pesisir pantainya, apa yang mereka saksikan.

Bandingkan dengan kondisi saat ini, jika melihat peta demografi, Bali termasuk areal berwarna merah! Artinya wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Anda mungkin tidak akan melihat lagi apa yang pernah disaksikan Cornelis de Houtman ratusan tahun lalu. Bangunan beton ada di sepanjang jalan utama antar provinsi dan antar kota. Kenderaan bermotor lalu lalang di jam-jam sibuk, bahkan tidak jarang keluhan kemacetan lalu lintas di seputaran ibu kota dan areal perkantoran menjadi camilan sehari-hari.

Tidak hanya Bali dalam pusat-pusat industrinya, daerah-daerah lain di seluruh belahan bumi yang terjamah arus modernisasi juga mengalami dampak serupa. Kita bisa melihat banyak kemiripannya, seperti menumpuknya polusi dan efeknya, berkurangnya ruang hijau, sumber alam yang menipis, dan higienitas yang memprihatikan. Jika ada yang melompati waktu dari masa lalu ke masa sekarang, bisa jadi ia mengembuskan kegelisahan yang tak tersampaikan.

Itulah mungkin mengapa, salah satu tempat yang masih cukup saya sukai di Bali adalah Kebun Raya Bedugul. Di mana masih banyak pepohon tumbuh terjaga dengan baik. Bisa memandang pepohonan dan danau yang asri dengan lepas, dengan minimal gangguan pemandangan bangunan buatan manusia.

Lalu sebenarnya apakah yang menyebabkan hilangnya begitu banyak areal hijau alam di Bali? Sebenarnya hampir semua orang tahu alasan, pun demikian nyaris semua orang tak bisa mengubahnya. Karena alasan yang sama itu adalah penyebabnya, dan lingkungan berubah karena mereka yang tinggal di atasnya – tidak akan ada alasan lain, kecuali seseorang akan menyalahkan bencana alam yang sama sekali tidak berkaitan dengan kerusakan lingkungan di Bali.

Pola konsumsi manusia menjadi alasan utama rusaknya lingkungan di suatu wilayah, dan tentu saja itu ditunjung dengan populasi yang terus bertambah bak cendawan di musim hujan. Dan dengan bertambahan populasi serta pola konsumsi masyarakat saat ini, maka saya tidak melihat ada kemungkinan Bali bisa menjadi hijau kembali.

Siapa yang tidak mengenali alasan sederhana ini, lalu bagaimana solusinya? Orang-orang mungkin sudah tahu solusinya, namun siapa yang berdaya menahan laju ego-nya masing-masing.

Pertama Bali harus dapat menahan laju pertambahan populasinya, bahkan membuat lajunya bernilai minus jika perlu. Laju pertambahan populasi di sini berarti laju pertambahan penduduk dan masuknya pendatang yang lebih banyak ke pulau yang sempit ini. Jika laju pertambahan populasi tidak bisa ditekan, maka akan semakin banyak ruang hijau alam yang akan hilang, baik untuk pemukiman dan untuk penciptaan lahan/lapangan kerja.

Itu adalah hukum alaminya, semakin besar jumlah manusia dengan budaya konsumsi tinggi, maka semakin besar juga eksploitasi terhadap alam yang terjadi. Jika masalah utama ini saja tidak teratasi, maka wacana mengembalikan kehijauan di Bali hanyalah omong kosong. Mau sampai kapan menanam pohon dan menghijaukan perkotaan, sementara banyak desa menggeser hutan-hutan dan tegalan kecil yang masih tersisa untuk menjelma menjadi kota.

Teorinya sederhana, semua orang tahu akan itu. Namun kesadaran tidak mempuburuk keadaan nyaris tidak ada. Siapa yang peduli dengan kondisi saat ini. Asal sudah bisa makan dan tidur nyenyak, tidak apalah, tidak usah saling menganggu dengan kerprihatinan yang berlebih. Namun kita lupa, bahwa Bali dengan sumber alam saat ini nyaris tidak bisa mandiri menyokong kehidupan penduduknya kecuali mengandalkan dunia luar. Pariwisata adalah sesuatu yang datang dari luar, beras dan bahan makanan sebagian didatangkan dari luar pulau, ini juga banyak terdengar krisis air bahkan untuk kota sebesar Denpasar, dan yang menyedihkan lagi, tradisi Bali kini membuat masyarakat tradisional mesti membeli bahan-bahan olahan untuk kegiatan sehari-hari dari luar Bali, misalnya janur yang didatangkan dari luar pulau – karena konsumsi masyarakat Bali mungkin membuat populasi pohon kelapa di pulau ini tidak kuat lagi menyediakan kebutuhannya.

Saya rasa masyarakat Bali bukan tidak tahu selolusi untuk masalah lingkungan hidup yang mereka hadapi. Hanya saja pertanyaannya, apakah mereka peduli – dan jika tidak, apakah mereka sadar bahwa mereka sebenarnya hanya tidak peduli?

Itulah mengapa, dalam pelbagai penyuluhan dan seminar tentang lingkungan hidup di seluruh dunia, yang ditekankan adalah bagaimana membuat orang peduli akan lingkungannya. Pengetahuan itu gampang dipopulerkan ke dalam masyarakat. Tapi kepedulian itu adalah sesuatu yang mesti lahir dan bergerak secara alami dari masing-masing individu.

Jika masyarakat tidak berubah kepeduliannya, maka konsekuensi yang menanti tidaklah ringan.

Tidak ada salahnya memiliki keluarga besar, tidak ada salahnya membangun kota yang besar. Namun kita harus menyadari kemampuan alam di sekitar kita untuk menyokong semua itu. Toh pada akhirnya, ketika berlebihan menjelma kemewahan, itu hanya pameran ego di dalam diri kita. Dan apakah etalase konyol itu lebih berharga dari alam yang menyokong kehidupan kita selama ini tanpa banyak protes? Jawabannya kembali pada masing-masing dari kita.

Tulisan ini saya buat untuk mempromosikan “Lomba Jurnalistik Kompas Mahasiswa se-Bali” dengan tema “Mungkinkah Bali Hijau Kembali?” Tentu saja ini bukan tulisan yang dilombakan, karena saya sudah terlalu tua untuk masih kuat bernapas saat berlomba dengan generasi muda. Diperlukan pemikiran yang lebih segar untuk topik ini. Jika Anda memiliki ide untuk disuarakan mengenai topik tersebut, mungkin inilah kesempatan yang baik.



13 tanggapan untuk “Bali Hijau Kembali”

  1. D didesa saya msh ijo koq om lahannya singaraja buleleng tepatnya alas angker hehehe walaupun saya udh tinggal lama disurabaya :p tp emang sekarang sebagian tanah milik penduduk bali udh berpindah tangan kepada penduduk jawa dan madura

    Suka

  2. Mas Pushandaka,

    Mungkin itu adalah lembar gelapnya sisi masyarakat di Bali yang diwarasi dengan banyak tanah dari leluhurnya.

    Suka

  3. Agung Pushandaka Avatar
    Agung Pushandaka

    Haha, sombongnya Pak Aldy ini. Hari gini pak, semua orang mencari yang hijau, lha anda malah cari aspal.

    Di Bali sih memang parah pak. Jalur hijau saja bisa dibangun dengan IMB kok. Orang Bali banyak yang muna, di satu sisi manggut-manggut kalau dicekoki ajeg bali yang ndak jelas apa maknanya, sementara di sisi lain membelalak saat membayangkan ratusan juta rupiah di depan mata dengan menjual sawah warisan leluhurnya. 😛

    Suka

  4. lho, kok seingat saya, mang sekarang dimana?
    o iya nggak ada halamannya, y udah nggak apa2 deh..

    Suka

  5. mas cahya tu dari bali ya?
    salam kenal, boleh bertukar link?

    Suka

    1. Arisetim,

      Seingat saya demikian, salam kenal juga. Seperti yang dilihat sendiri, blog ini tidak memiliki fitur tukaran link karena pertimbangan bahwa itu tidak usable dari sisi kebergunaan bagi blog ini. Namuin kalau tertarik, ada Halaman Pranala Keluar, untuk menambahkan external link pada blog ini.

      Suka

  6. Bali merupakan salah satu barometer pariwisata dan tujuan destinasi wiasata utama Indonesia. Apalgi Bali menjual wisata budaya, kesenian, dan panorama alam. Intinya lanjutkan penghijauan di Bali demi keberlangsungan pariwiasta di Bali.

    Suka

  7. Sangat terasa perbedaannya, ketika sepuluh tahun kemudian, tahun 2009, sempat cuti pulkam ke Bali, banyak perubahan terjadi dalam penataan kota dan kepadatan penduduknya.
    Konsep Tri Kita Karana, perlu digalang bersama dan digiatkan kembali aplikasi riilnya.

    Suka

  8. salah satu yg membangun, juga merusak bali, adalah pariwisata tanpa kendali. sawah berganti jd villa. bukit dikeruk. laut diurug. atas nama pariwisata, bali seolah-olah sah utk dieksploitasi. kita lupa bhw karenanya bali justru dikenal dunia.

    selama pembangunan atas nama pariwisata tak dikendalikan, bali akan cepat "hilang".

    Suka

  9. Ops, bali sekarang sibuk memikirkan lahan hijau? saya mah bosan setiap hari memandang yang hijau, kepengennya malah memandang aspal, debur ombak dipantai, pasir putir sepanjang pantai….(menghayal…)

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: