Entah mengapa saya rasa kehidupan manusia tidak hanya memilih sebuah kisah tunggal, namun terangkai dari pelbagai kisah yang menyatu menjadi sebuah untaian kehidupan. Kisah-kesih kecil ini seperti napas seorang insan, ketika ia mulai ditarik, diresapi kemudian dihembuskan kembali ke alam.
Dari setiap kisah selalu ada titik awal, di mana kisah itu dimulai. Malam kemarin, kolega lama saya datang berkunjung, di sela-sela pembicaraan kami, dia menunjukkan sebuah tulisan di sebuah situs populer dalam negeri. Tulisan itu merupakan ungkapan seorang yang diungkap dengan bebas, judulnya lumayan menyita perhatian saya, “Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali”.
Ringkasnya, penulis menyampaikan – maaf – ‘ketidaksukaannya’ pada sikap beberapa dokter muda yang (mungkin) kelakuannya dinilai tidak sesuai etika yang diharapkan ada pada seorang yang menempuh pendidikan kedokteran. Dan lebih mengejutkan saya lagi, yang menjadi objek ‘ketidaksukaan’ penulis adalah dokter muda di rumah sakit pendidikan Dr. Sardjito – yang notabene adalah tempat saya juga menuntut ilmu sebagai dokter muda di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Karena tidak disebutkan elemen waktu yang melingkupi tulisannya, maka ya bisa jadi itu siapa saja yang menjadi dokter muda di FK UGM. Bisa saja saya, atau juga bisa saja bukan saya ada di dalamnya.
Pun demikian saya sebagai pribadi, berterima kasih atas tulisan tersebut. Setidaknya ada yang memerhatikan kami – dokter muda – yang bahkan dalam banyak kesempatan kurang dapat memerhatikan dengan baik apa-apa yang ada di sekitar kami.
Dan memang sudah menjadi paradigmanya bahwa seorang dokter sewajarnya santun dan beperhatian pada orang-orang di sekitarnya, dan masyarakat mengharapkan kesan ini juga tertanam pada mereka yang mengikuti jenjang pendidikan kedokteran.
Tulisan tersebut membuat saya ingin merefleksikan ulang banyak hal. Karena terus terang saja, mungkin tulisan tersebut hanya satu dari sekian banyak lagi kesan tidak baik yang hadir pada seorang dokter muda.
Dan mungkin saja, jika saya menempatkan diri dalam posisi si penulis, bisa jadi saya memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda. Saya harus melihat kembali ke belakang, adakah saya tercermin dalam paradigma yang baik ataukah steorotip yang buruk.
Mungkin saya juga bisa jadi pernah berada dalam situasi yang dikisahkan penulis tersebut. Memasuki jam ke-36 di rumah sakit, dengan kantung mata yang sudah cukup tebal, beberapa kejadian tidak mengenakkan pada malam sebelumnya, beberapa teori yang masih harus disimulasikan di dalam kepala, beberapa target yang masih harus dipenuhi. Jangan heran jika Anda bisa menemukan saya mondir-mandir setengah lunglai padahal matahari belum begitu tinggi, dan jang kaget jika saya bahkan tidak menyadari anda melintas di samping saya hingga Anda menegur saya terlebih dahulu.
By the mean of etiquette, that would be all my bad. Saya tidak bisa melakukan pembelaan, saya tidak membuat stamina saya cukup baik, saya tidak membuat fokus saya cukup terjaga, dan saya tidak membuat diri saya cukup terlatih untuk semua kondisi tersebut.
Kadang pada beberapa kondisi yang fortuitously terbentuk, dokter muda ingin melepas emosi dari apa-apa yang dilalui dalam beberapa jam atau hari sebelumnya, dokter muda perlu seseorang yang bisa mendengarkan, dan mungkin ini adalah sebentuk intuisi, bahwa yang paling tepat memahami adalah mereka yang juga melalui hal yang sama.
Dokter muda, termasuk petugas kesehatan lain tentunya. Menyaksikan sesuatu yang tidak banyak orang saksikan secara langsung setiap harinya. Di dunia kedokteran ada pemandangan mereka yang khawatir, mereka yang menderita, mereka yang takut, mereka yang ragu, mereka yang putus asa. Dokter muda lebih sering dalam segi kuantitas melihat luka setiap harinya, baik fisik maupun psikologis.
Dokter muda dapat menjumpai situasi, di mana banyak orang berharap, namun situasi akhirnya justru berubah menjadi tangis dan air mata kesedihan. Pun demikian, seorang dokter dengan empati-pun memiliki paradigma yang tidak mencampuradukkan emosi personal dalam profesi, karena masih ada hal-hal lain yang menantikan – bahkan ketika emosi yang sama juga mengalir dalam setiap tarikan napasnya.
Jadi dalam kondisi yang fortuitously tersebut, kadang ada perasaan sesuatu yang ingin terlontarkan ke luar diri, emosi-emosi bisa saja lepas begitu saja saat bertemu dengan rekan-rekan sejawatnya. Merekalah yang saling mengerti dan memahami satu sama lainnya, walau bukan selalu bermakna memahami dalam ranah logika. Kami menghibur rekan yang tertekan, dan memberi semangat pada mereka yang lunglai – saya rasa di mana-mana, hal-hal serupa juga terwujud dalam dunia kerja.
Sesuatu yang tadinya terbentung dapat mengalir dalam pelbagai bentuk. Kami dapat tersenyum bersama, melihat kembali ke belakang, saling mengingatkan bahwa ada hal-hal baik yang bisa ditemukan, bahwa bukan hanya hal-hal yang muram saja, tapi juga ada harapan, ada kebahagian, ada ungkapan suka cita, ada ungkapan terima kasih, ada sesuatu yang begitu bernilai yang membuat kami akan terus tetap melangkah. Dan mereka yang murung pun dapat tersenyum kembali.
Pun demikian, kadang kala ada situasi yang tidak pas. Kondisi yang fortuitously ini bisa saja terjadi tidak jauh dari pengamatan seorang pasien yang sedang begitu menderita, dan para dokter muda tampak tersenyum-senyum di antara kelompoknya sendiri tanpa memberikan perhatian padanya. Seperti pemandangan eksklusivitas tanpa kepedulian.
Saya memahami bahwa kepedulian memerlukan kedewasaan yang bersungguh-sungguh. Pendidikan adalah salah satu proses menuju kedewasaan. Kadang tanpa sengaja, kami lepas dari jalur tersebut, dan beberapa orang dengan baik mengingatkan kami.
Apakah Anda tahu bahwa rerata mahasiswa kedokteran memiliki selera humor yang cukup bagus. Dari yang saya kenal, mahasiswa kedokteran bisa cukup tertawa lepas dengan baik. Mungkin tanpa disengaja adalah bentuk adaptasi atau koping stres dari tekanan yang dihadapi sehari-harinya.
Jika ada seorang dokter muda yang tanpa sengaja meledak tawanya di koridor rumah sakit yang sepi saat sedang berjalan sambil bergurau dengan rekannya, mungkin ia tidak menyadari bahwa di balik tembok terbaring seseorang yang begitu menderita menghadapi sakitnya. Belum lagi keluarga pasien yang menunggu mungkin sedang merasa tertekan dengan banyak hal, bayangkan kesan yang timbul dari ledakan tawa pendek yang tidak disengaja itu jika diketahui oleh keluarga pasien bahwa sumbernya adalah dua dokter muda yang sedang asyik bercengkrama. Atau bayangkan juga kesan yang timbul jika ternyata sumbernya adalah pengunjung biasa.
Saya tidak akan memberikan pembenaran pada apapun.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul, “Making Decision to Study Medicine” ada beberapa poin yang selayaknya dijawab jika seseorang ingin memulai memasuki dunia kedokteran. Dan poin yang pertama adalah, “Apakah saya peduli terhadap orang lain, permasalahan mereka, dan rasa sakit yang mereka hadapi?”
Kepedulian adalah awal atau pendorong seseorang memasuki dunia kedokteran. Pun demikian ternyata pada perjalanan pendidikan itu, masih ada banyak unsur kepedulian yang mesti ditanamkan – karena rasa kepedulian saja mungkin pada awalnya tidak dapat berkata banyak.
Apa yang saya temukan hari ini, membuat saya menatap titik awal kembali. Dan entahlah…, ada perasaan aneh yang mengalir dalam diri saya. Dan melalui tulisan ini saya harap dapat melepaskan perasaan itu, walau rasanya bukan sesuatu cukup tepat terungkapkan.
Jika Anda pernah mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan dengan dokter muda (atau pun dokter dan petugas kesehatan secara umum), Anda dapat turut menyampaikannya di sini. Mungkin saya bisa menjadikannya masukan dan titik renungan yang berarti bagi saya.

Tinggalkan komentar