5 Jam Di Belakang Kemudi

Sudah lama juga tidak berada di belakang kemudi (seperti merasa pernah saja), sehingga beberapa hari ini saya diberi kesempatan mencoba mengemudi di beberapa medan yang berbeda. Ternyata mobil yang tidak menggunakan transmisi otomatis sangat beda sekali, padahal saya biasanya selalu pakai transmisi otomatis jika berkeliaran di medan “need for speed” (gyah…, maksa deh), dan tentu saja simulasi dan latihan aslinya berbeda.

Saya tidak bermasalah jika menggunakan sepeda motor, saya bisa dengan kecepatan super rendah hingga menghabiskan semua putaran gas dengan motor tua saya – dan percayalah walau begitu kecepatan bukanlah kecepatan untuk arena balapan. Biasa di jalanan besar hingga ke pematang sawah, dari medan mulus, hingga tracking ke perbukitan terjal. Tapi mobil adalah sesuatu yang berbeda.

Dimensi mobil tidak sama dengan sepeda motor. Jika sepeda motor bisa diperkirakan mengambil ruang seluas jangkauan tangan, maka mobil bisa mengambil ruang seluas jangkauan pandang. Jika motor bisa menghindari rintangan di kiri jalan dengan tetap berada di lajur kiri, maka mobil harus terbiasa menghindar dengan memanfaatkan lajur kanan. Dan belum lagi, sensasi merasa akan menabrak kendaraan di lajur kanan membuat seakan ingin mengelak ke kiri terus menerus (tipe orang preventif).

Dan satu lagi yang disebut “kopling” (sial, kenapa sistem ini harus ada). Yang membuat mobil bertransmisi manual lebih perlu banyak jam terbang untuk dikendalikan dengan baik. Karena orang tidak bisa selalu setengah kopling sepanjang jalan.

Ini adalah sebuah kelas mengemudi singkat selama 5 jam. Beberapa dibagi ke dalam beberapa “challenges”, mengemudi di tengah kota dengan lalu lintas normal, mengemudi di jalanan pedesaan berjalur kecil dan berkelak-kelok, mengemudi di perbukitan dengan tanjakan dan turunan tajam, mengemudi di kepadatan lalu lintas tinggi. Berbekal moto, “trust your instinct”, ini bisa menjadi kelas mengemudi yang berat – ah, untung saja Gianyar memiliki pemandangan alam yang indah, sehingga stres tidak akan hinggap walau ada melintasi medan yang berat bagi orang yang lama tidak berada di belakang kemudi, tentu saja dalam beberapa kesempatan juga hingga menikmati alam di kabupaten tetangga, seperti Klungkung dan Bangli – rasanya seperti kelas mengemudi sambil mencuci mata saja.

Mungkin karena saya sudah ubanan, sehingga insting sudah tidak setajam saat masa muda dulu. Bahkan ketika saya kecil – udah ndak ingat lagi – saya biasa mengendalikan & menunggangi hewan liar, berikut contohnya…

Bahkan, tidak hanya menunggangi hewan liar, waktu kecil saya juga terbiasa mengendarai kendaraan berteknologi tinggi, termasuk menjadi pilot pesawat tempur seperti ini…

Ah…, masih banyak lagi kenangan waktu kecil dengan untuk melenyapkan rasa lelah sehabis mengemudi. Tapi ya sudahlah, halaman ini akan menjadi terlalu panjang jika dicoba dimuat di sini.

25 tanggapan untuk “5 Jam Di Belakang Kemudi”

  1. Danu,
    Saya ndak ahli salip menyalip, saya suka yang agak santai dikit :D.
    Ha ha…, ya ya…, itu pas di Tiara Dewata, entah masih atau tidak.

    Suci,
    Memangnya bisa toh malu & stay cool, ndak kebayang deh. Ya, monggo atur jadwalnya, nanti kita sesuaikan bareng :D.

    Suka

  2. Sumpah emg malu bgt..tp stay cool donk.. Kn slalu ada cadangan d mobil..so,tmnku yg ambilin..hohoho..aq atur jadwal dlu ya…sabaaarrr.. Hokben g bakal lari dikejar..

    Suka

  3. Lebih enak pake yang manual, kalo mo nyalip lebih manteb, sama nanjaknya…

    Itu foto di tiara dewata ya kalo ga salah ? Inget sama pesawat tempurnya 😀

    Suka

  4. Pernah saya diminta menyopiri atasan yang kebetulan memiliki kendaraan dengan transmisi otomatis. Dengan berat hati saya menolak karena tidak ingin terjadi apa'dengan mobil tsb hanya karena saya tidak pernah mengendarainya. So, sepanjang perjalananpun saya dengan 'terpaksa' harus menikmati pemandangan sementara si atasan yang menyopiri kendaraan. Hihihi…

    Suka

  5. Gak bakal ijinin kamu nyetir mobilkuw.. N ga mau disetirin kamu… Cemas.. Waswas.. Khawatir akan kselamatan diri sendiri… Udah bisa belok kanan? Mundur udah bisa? Parkir gmana? Hduw… Pdhl mo ngajak 3D lagi..

    Suka

  6. Bli Wira,

    He he…, sepertinya antara tahun 85-87, saya sih udah ndak begitu ingat lagi, paling hanya sekilas saja.

    Pak Teguh,

    Saya lupa menyampaikan jika 5 jam ini dibagi-bagi, bisa teler saya kalau 5 jam non stop. Karena 2 jam saja saya sudah mengalami penurunan konsentrasi.

    Suka

  7. Pak Aldy,

    Memangnya ada yang seperti itu kecuali di kursi penumpang?

    Pak Sugeng,

    Bisa kok, siapa yang bilang ndak bisa, asal risikonya juga bisa diterima :D.

    Suka

  8. Mas Asop,

    Ah, kalau hanya 5 jam dengan yang sudah maelalang buana berjam-jam, saya sih ndak ada apa-apanya :D.

    Benar Mas, yang bisa manual umumnya bisa belajar mengendalikan yang otomatis dengan cepat – kecuali untuk mereka yang jatuh dari areal parkir lantai atas kemarin yang diduga karena ndak terbiasa dengan transmisi otomatis. Yang penting kecermatan saja, kalau orang lain bisa mengapa kita tidak :D.

    Suka

  9. Wah wah, setidaknya Mas Cahya lebih jago nyetir ketimbang saya. Tampaknya… 😀

    Jujur aja, saya lebih suka yang manual, karena orang yang bisa nyetir manual pasti bisa nyetir transmisi otomatis, sedangkan yang tebriasa otomatis susah kalo harus nyetir manual. 😆

    Suka

  10. Mas Puhandaka,

    Saya belum terbiasa dengan transmisi manual, belum banyak jam terbangnya :D.

    He he…, bukan mampu terbang rendak Bli Gung, tapi memang anak-anak dilarang terbang tinggi, guna menghindari tagedi Ikaros terulang kembali :lol:.

    Suka

  11. Untuk mobil, saya justru lebih senang yang transmisi manual. Lebih seru rasanya. Halah!

    Tapi anda hebat juga mas, bisa terbang rendah saat mengemudikan pesawat tempur. Penerbang kelas wahid pun blum tentu mahir melakukannya. 😛

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.