Tatkala saya membaca salah satu tulisan teman narablog pagi ini, saya ingat pengalaman sekitar satu setengah tahun yang lalu. Nah, daripada saya berbaring terus selama istirahat, saya rasa sedikit menggerakkan jari-jari saya ada manfaatnya.
Ketika itu kami (saya & rekan-rekan lainnya) sedang bertugas di salah satu dari empat bagian besar di rumah sakit pendidikan. Kebetulan waktu itu bagian kedatangan guru besar, profesor di salah satu bidang paling pelik di dunia medis, dia juga dosen tamu dari luar negeri di belahan bumi bagian lainnya, dan khusus datang untuk berbagi ilmu dengan kami.
Tapi kisah ini bukan kisah tentang pendidikan yang ada di dalam ranah formal. Suatu ketika saya berkesempatan mengobrol dengan beliau (dan saya langsung menyadari bahwa Bahasa Inggris saya benar-benar pas-pasan), entah bagaimana ketika itu, akhirnya kami sepakat mengunjungi salah satu sahabat beliau di Jogja, yang juga seorang guru besar dan profesor yang paling dihormati di sekolah kedokteran kami.
Sebelum hari yang disepakati tiba, saya baru menyadari satu dua hal. Hmm…, bagaimana saya akan menjemput beliau? Saya berpikir demikian sambil duduk di beranda rumah dan memandang motor butut saya, arghh… saya membayangkan apa yang terjadi jika menjemput dosen luar biasa dan tamu fakultas dengan motor tua itu.
Dan benar dugaan saya, senior saya marah ketika mendengar tentang ini. Dia bersikeras jika saya menjemput beliau sebaiknya dengan mobil. Ha ha…, saya tertawa miris dalam hati, masa mahasiswa akan bangkrut karena menyewakan mobil untuk dosennya.
Saya memandang sesaat langit biru yang luas, dan menarik napas saya dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Saya memiliki udara yang cerah, angin yang sejuk, dan kota yang nyaman – jadi mari berangkat dengan apa adanya, karena kita telah memiliki lebih dari apa yang kita perlukan.
Pada hari yang disepakati, saya dengan seorang teman mendatangi tempat beliau menginap/tinggal selama di Jogja, sebuah home stay yang sederhana di kawasan Universitas Gadjah Mada. Kami membawa dua sepeda motor, maklum, karena dua-duanya juga sepeda motor lansia, jadi satunya adalah cadangan jika timbul masalah di jalan pada yang lainnya.
Beliau tidak terlalu kaget melihat mahasiswanya menjemput dengan sepeda motor, bahkan lebih terlihat seperti antusias, apa mungkin karena di negaranya motor termasuk benda langka yang tidak dapat dilihat setiap hari. Dan kami pun berangkat dengan berboncengan. Terus terang saya jadi gugup, biasanya saya bisa tancap gas dengan tenang, tapi kali ini saya mesti benar-benar cermat dan hati-hati jika tidak ingin ada sengketa antar negara nantinya.
Yang membuat kami kaget adalah, beliau sempat meminta kami mengantarkannya ke wartel terdekat di sepanjang jalan yang kami lalui. Beliau berkata – jika kemampuan penangkapan kami tidak keliru – hendak menelepon ke rumahnya, dan beliau tidak memiliki ponsel atau sejenisnya.
Kami rasa beliau bukannya lupa membawa ponsel atau tidak mampu membeli ponsel. Apalagi mengingat salah satu ponsel cerdas yang sedang naik daun di negeri ini sekarang berasal dari negara beliau. Tapi saya rasa karena beliau memang tidak memerlukannya, dan dalam perhitungan beliau hal itu tidak perlu.
Dalam pikiran saya, jika tidak karena tugas saat ini dan jauh dari keluarga, mungkin di masa depan saya juga tidak akan memerlukan ponsel lagi.
Saya rasa hidup sebagai manusia berarti kita hidup apa adanya, menggunakan apa yang diperlukan dan hanya benar-benar diperlukan. Namun kita seringkali mengambil sesuatu yang di luar kebutuhan kita, dan hanya menjadi keinginan dan hasrat kita yang tak kenal batas ini sebagai landasannya.
Saya bukannya tidak bisa menyewakan mobil untuk menjemput, atau terlalu pelit sehingga hanya menggunakan sepeda motor. Tapi sepeda motor tua itulah kemampuan transportasi saya yang sebenarnya. Saya tidak malu walau mesti datang dengan motor butut, di sisi lain saya juga tidak bangga akan apapun – inilah saya, dan hanya ini yang saya miliki, sisanya sudah disediakan oleh alam, seperti yang saya telah sampaikan sebelumnya, cuaca cukup cerah sehingga saya tidak khawatir akan kehujanan ketika bepergian.
Untungnya saya memiliki guru besar yang pengertian, dan sebenarnya saya pun banyak belajar dari teladan beliau.
Akhirnya kami pun tiba di rumah salah guru besar yang lainnya, dan mereka sama-sama sederhananya, rumah yang sederhana, dan suasana yang sederhana. Katanya yang namanya guru besar sudah tidak mengejar apapun lagi, sudah tidak mengejar gelar akademis, sudah tidak mengejar jabatan, mereka hanya tinggal dalam kesederhanaan hidup dan membagi ilmunya, dan bagi mereka semua pendidikan itu sama mulianya. Dan mereka memberikan teladan bagi siapa pun di sekitarnya.
Dan saya rasa, seorang murid mesti menjadi cukup sederhana juga untuk menerima teladan itu.
Tinggalkan Balasan