Terkisahlah seorang saudagar yang kaya raya, namun ia sangat takut akan kematian. Sedemikian takutnya si saudagar ini, sehingga ia memuja Dewa Maut – Yama dengan persembahan yang teratur dan seksama.
Bertahun-tahun si saudagar melakukan puja dengan tekun pada Yama, dan membuat Yama sangat senang akan perhatian dan puja yang khusus itu, namun kematian bukanlah sesuatu yang dapat dihindari, Yama hanya bisa berjanji, bahwa Ia tidak akan datang menerkam si saudagar dengan tiba-tiba, namun akan memberikan pemberitahuan terlebih dahulu, sehingga si saudagar bisa membereskan urusannya di dunia terlebih dahulu.
Hingga beratahun-tahun berselang, saudagar tersebut menemukan dirinya sebentar lagi akan menghadap pada kematian, dan di saat yang kritis tersebut, ia merasa amat marah pada Yama, dan alasannya amarahnya adalah bahwa Yama telah berbohong padanya, dan Yama adalah pembohong serta penipu.
Rupanya si saudagar itu merasa tidak pernah menerima isyarat apapun dari Yama, dan tidak juga diberitahukan bahwa ia akan segera meninggal.
Namun Yama menjawab, “Ah, itu tidak benar. Aku telah memperingatkanmu, bahkan tidak hanya sekali, namun empat kali, jauh sebelum aku kini akan melaksanakan tugasku padamu.”
Selanjutnya Yama menjelaskan, “Peringatanku yang pertama adalah rambut putihmu, namun engkau malah mengecatnya dan melupakan pemberitahuanku ini. Kemudian kubuat rambutmu rontok dan membotakkan kepalamu, tapi kamu malah menggunakan rambut palsu, dan meremehkan pemberitahuanku. Ketiga kalinya, kurontokkan semua gigimu, tapi kamu malah menggunakan gigi palsu, dan menganggap aku masih jauh. Dan terakhir, kubuat keriput semua kulit tubuhmu. Namun tidak ada satupun peringatan itu kamu pedulikan.”
Sesungguhnya, Yama telah menepati janjinya. Sama halnya tanda kehidupan yang telah diberikan pada manusia, ketika tamu-tamu Ilahi datang mengetuk pintu hati kita, kita tetap tak acuh dan menganggap hanya angin lalu.
Adaptasi dari Chinna Katha III, hal. 54.
Tinggalkan Balasan