Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Apa Itu Pahlawan?

Pagi itu si kecil baru bangun – entah mengapa anak pra sekolah sangat mudah bangun pada pagi hari, mata mungilnya yang cemerlang memerhatikan bahwa dari kejauhan sang kakek tampak berbeda hari ini. Dia mengenakan pakaian yang serba hijau muda, kekuningan atau keabu-abuan, setidaknya ia tidak begitu tahu itu warna apa, tapi ia tidak pernah ingat kakeknya mengenakan pakaian seperti itu sebelumnya.

Rasa ingin tahu pun membawa kaki kecilnya berlari agak terseok-seok – dan sungguh itu tampak lucu sekali – guna menghampiri sang kakek. Dia memegang salah satu ujung bawah saku luar yang ada di celana kakeknya, dan menarik-menarik sambil memanggil kakeknya.

Si kakek tersenyum melihat cucu kecilnya, ia pun segera merapikan peci pejuangnya yang sudah tersemat bros “Garuda” dengan kilapan yang cemerlang – pastilah si kakek merawat benda itu dengan seksama. Ia segera mengangkat cucu kecilnya ke pangkuannya, dan berkata lembut dalam suaranya yang mulai melemah ditelan zaman. “Ada apa Dek…?” Demikian keluarga menyapa anak kecil itu.

Kok Kakek pakai baju aneh hari ini, Dek ndak lihat sebelumnya?”

Kontan saja pertanyaan polos itu membuat si kakek tertawa, “Ini adalah baju kakek untuk pergi ke upacara peringatan ‘Hari Pahlawan’ Dek.” Suaranya yang ramah nyaris tidak akan bisa membuat orang membayangkan, apakah ia seramah itu saat menghadapi para penjajah di masa perang dulu.

Dek, ndak pernah dengar hari Pahlawan, Dek tahunya ada hari Senin, Kamis, Minggu…, dan…” Anak kecil itu kebingungan sambil mencoba mengingat nama-nama hari yang pernah ia diajarkan sang ibu padanya, sampai dia menyerah dan kembali bertanya, “Kek, apa itu hari Pahlawan?

Itu adalah sebuah hari khusus di mana kita semua mengenang kembali apa yang diperjuangkan para pahlawan dulu untuk mengakhiri penjajahan di negeri kita, sehingga kita tidak lupa betapa sulitnya kebebasan yang kita miliki sekarang diperoleh.” Kata kakeknya sambil mengusap-usap kepala si kecil.

Anak itu kembali berpikir sejenak, “Tapi Dek tidak ngerti, apa itu pahlawan, dan apa itu penjajah.”

Kakeknya pun langsung tersenyum dan menarik napas panjang, dia tahu bahwa tidak mudah menjelaskan hal ini pada anak kecil, sedemikian hingga tidak memberikan pemahaman yang mungkin suatu saat nanti justru tidak memberikan makna apa-apa. Sesekali suara kendaraan bermotor melintas di depan rumah memecah keheningan saat-saat perbincangan di antara dua insan berbeda generasi itu. Kakek melihat ke arah jam tangannya, dan tampaknya ia sudah mempertimbangkan sesuatu.

Bagaimana jika kakek ceritanya nanti agak sore, karena kakek sekarang harus ke lapangan untuk menghadiri upacara bendera, ya Dek?”Suara veteran tua itu selembut angin lembah pagi yang berusaha membawa serta embun menuju puncak harapan. Dan wajah si kecil sedikit tidak puas, tapi ia tahu ia tidak boleh menahan kakeknya pergi, dan kakeknya pun tahu perasaan si cucu, “Bagaimana jika pulang nanti kakek bawakan kue pukis kesukaanmu?” tambahnya.

Benar Kek? Mau sekali.” Anak itu tampak senang, ia memang dibujuk dengan kue pukis agar bersedia ikut berlibur dengan keluarganya ke kampung halaman. “Tapi jangan lama-lama ya Kek?”

Ha ha…, ya…, tentu saja, bagaimana kakek bisa pergi terlalu lama Dek, siapa yang nanti malam mendongengkanmu.” Tawa si kakek melihat raut wajah cucunya yang sudah kembali ceria. “Nah, sekarang sebaiknya kamu bangunkan kakak-kakakmu dulu ya, siapa tahu mereka bisa bercerita tentang apa yang namanya pahlawan padamu, nanti sore biar kakek tanya apa saja yang sudah kamu tahu sebelum kakek sebelum menambahkan ceritanya.”

Si kecil mengangguk paham, dan dia pun berlari menuju kamar kakaknya. Si kakek bisa menduga apa yang akan terjadi kemudian. Ruang keluarga itu kembali terasa sunyi, si kakek menjadi ingat bahwa anaknya sudah sedari pagi tadi mengantar si nenek pergi ke pasar yang ada di desa tetangga – mungkin sebentar lagi akan kembali. Sedangkan menantunya mungkin sedang menjemur cucian di belakang.

Matahari mulai menembus kabut pagi tipis yang menyelimuti lereng pedesaan, namun tampaknya kesibukan warga telah dimulai jauh sebelum sinar pertama terbersit di ufuk Timur. Terbitnya matahari bagi mereka mungkin sebagai patokan di mana seharusnya mereka sudah berada saat itu. Sang kakek pun berjalan perlahan ke luar rumah dan menuju balai desa, di mana ia akan berangkat bersama dengan beberapa veteran lainnya ke lokasi upacara.

Sementara itu si kecil tampaknya sudah berhasil membuat kedua kakaknya berjalan gontai menuju dapur, karena perut mereka kelaparan setelah bangun pagi. Untungnya ada tersedia cukup banyak buah di atas meja makan, dan hampir semuanya dipetik dari kebun kakek dan neneknya.

Tidak lama berselang, sang ayah sudah pulang bersama nenek dan membawa banyak bahan makanan. Sementara ibu & nenek menyiapkan hidangan pagi untuk mereka, ayah mengajak anak-anaknya untuk berkebun di belakang rumah.

Ketika hidangan dengan aroma kenikmatan pedesaan yang khas sudah tersedia. Keenam penghuni rumah duduk bersama-sama, tampak sebuah kehangatan yang mengalir dengan alaminya. Beberapa kali gelak tawa tercipta di antara mereka, dan sesekali tiga bersaudara itu saling bercanda gurau, terutama adiknya yang paling kecil sangat suka digoda oleh kakak-kakaknya.

Tapi sepertinya ia sudah terbiasa menerima gurauan seperti itu, daripada candaan kakaknya, ada yang menarik perhatiannya – sehelai kain merah yang keluar menggantung dari celana kakak keduanya. “Apa itu Kak Del?” Tanya si mungil sambil menunjuk ke saku kakaknya yang menggembung.

Oh ini…?” Si kakak mengeluarkan sebuah action figure Super Man dari dalam saku celananya, rupanya jubah merahnya sedikit keluar, “Ini namanya Super Man” sahut si kakak dengan penuh canda, “Kamu mau lihat?” Diserahkannya action figure itu pada adiknya.

Mengapa dia berbaju lucu, dan ada seperti ini…?” Si kecil menunjukkan jubah yang ada berisi lambang khas itu dengan menjimpitinya. Dan kontan saja ini membuat semua orang di dalam ruang makan tertawa terbahak-bahak.

Kakaknya berkata, “Oh, pakaian itu sudah jadi ciri khasnya, dan setiap super hero memiliki ciri khas yaitu dari pakaiannya.” – tiba-tiba si adik memotong pembicaraan kakaknya, “Super hero…?” celetuknya.

Ya.. ya…, super hero berarti pahlawan super, dia yang menolong orang lemah dan melawan orang-orang jahat dengan kekuatan supernya” – Lalu si kakak pun menceritakan kisah Super Man dengan singkat sambil menghabiskan segelas jus melon yang manis.

Kemudian obrolan mereka sampai di ruang tengah, si kakak juga bercerita tentang pahlawan super lainnya, dan bagaimana mereka beraksi. Si adik tampak ingin sekali bertemu dengan mereka, tapi sayang sekali mereka tinggal di belahan bumi lainnya, ada yang tinggal di New York, dan ada juga yang tinggal di Gotham City, yang itu pun entah di mana.

Lalu adakah pahlawan super yang tinggal di dekat sini-sini saja. Si kakak terbengong dan tidak tahu harus menjawab apa. Di tengah kebingungan itu, sang ayah datang membawa sebuah buku yang tampak sangat tebal dan tua. Lalu meletakkannya di antara mereka yang sedang duduk di tikar yang teranyam dari daun pandan.

Tentu saja di sekitar sini juga ada pahlawan super, coba lihat ini…” Si ayah membukakan buku yang ternyata kumpulan komik karya R.A Kosasih yang dibelikan oleh ayahnya dulu untuk hiburan ketika ia belajar di kota – lusuh dan buram, namun tampaknya terawat dengan baik.

Tiba-tiba si adik nyaris melompat, “Ah…, Dek pernah lihat dia di tivi, tapi Dek lupa namanya.” Ia mengingat salah satu acara televisi anak yang  ketika telunjuk ayahnya menunjuk ke arah salah satu tokoh.

Nah ini kan Gatot Kaca, benar kan Yah?” Jawab anak Del, yang hanya selisih usia beberapa tahun dari Dek.

Si bungsu kembali memerhatikan gambar itu, “Benarkah dia ada di sini, apa Dek bisa bertemu dengannya?” tanya dengan penuh rasa penasaran.

Sebenarnya ayah juga ingin bertemu jika bisa Dek, tapi menurut cerita dari orang-orang sebelum ayah, Gatot Kaca sudah tidak ada lagi.”

Tidak ada, apa dia pergi Yah?” Si bungsu mulai merengek.

Bukan begitu Dek, Gatot Kaca sudah tidak ada lagi, karena gugur di medan perang.”

Gugur?”

Ya, itu artinya meninggal dunia.”

Dia sudah mati dan tidak kembali lagi, seperti Si Belang?” Dek mengenang kucing kesayangannya yang baru saja mati seminggu yang lalu karena sudah tua dan sakit.

Ya, kurang lebih begitu.” Jawab ayahnya.

Tapi bukankah dia pahlawan super, katanya Kak Del tidak akan kalah di medan perang?”

Ha ha…, ya, kakakmu benar.” Jawab sang ayah pelan, “Gatot Kaca tidak kalah, dia hanya gugur, setiap pahlawan sehebat apapun, tidak akan bisa menghindari kematian seperti makhluk hidup lainnya Dek. Tapi dia sudah berjalan di jalan yang ditunjuk oleh nuraninya, dan konon dia bahagia dalam perjalanannya menuju kematian.”

Jadi Dek tidak bisa bertemu…?”

Apa benar Dek ingin bertemu…?” Dia menatap anaknya dengan penuh selidik, sementara anak nomor dua kini sedang asyik membuka dan membaca komik tua, dan tampak tenggelam dalam alur ceritanya.

Katanya tadi dia sudah meninggal, bagaimana bisa…” sebuah pertanyaan tidak percaya datang dari si bungsu.

Tapi ada yang mirip dengannya, nanti malam baru bisa bertemu, itu kalau Dek mau.”

Mau! Dek mau sekali.” Jawabnya riang. “Karena Dek, ingin sekali melihat pahlawan super.”

Ayahnya tertawa gembira, “Ya, tentu saja kalau begitu, nanti malam ya!” – ajakan sang ayah menyenangkan hati anaknya. “Tapi kamu tahu, bukan hanya dia pahlawan, di tempat lain mungkin juga ada.”

Di mana Yah?” Tanya.

Ayahnya kemudian berpaling pada anak kedua, “Del…” panggil ayahnya, membuat anak itu berpaling dan menghentikan kegiatan membacanya.

Ya Yah?”

Apa kamu masih ingat kejadian yang itu, setahun yang lalu?”

Del langsung tahu apa yang dimaksud ayahnya, “Ya, tentu saja. Bagaimana Del bisa lupa, rasanya waktu itu menakutkan sekali untung Mbak Put segera datang, jika tidak Del pasti sudah celaka.”

Memangnya ada apa Kak Del?”

Waktu itu pas pulang sekolah, ayah terlambat menjemput, karena malas menunggu lama, jadinya Kak Del nekat pulang jalan sendiri. Malangnya di tengah jalan malah bertemu anak-anak berandalan, mereka menagih uang lewat sama sama kakak – tapi kakak ndak mau kasihkan. Akhirnya mereka mau menghajar kakak beramai-ramai.”

Lalu apa yang terjadi…?”

Kakak ingat, rasanya ditendang sekali di perut – sakit banget. Pandangan kakak berkunang-kunang, dan rasanya ngeri banget melihat anak-anak itu mau memukul lagi. Bayangkan 6 atau 7 orang yang dua kali lebih besar akan mengeroyok kita yang kecil ini, tapi yang Kak Del lihat selanjutnya, justru tiga orang dari mereka jatuh terjerembab setelah sebuah sepeda menabrak mereka dari samping.”

Eh…, sepeda?”

Ya, Mbak Put menabrakkan sepedanya, dan mulai ‘menghajar’ anak berandalan itu.” Del melanjutkan cerita bagaimana kakak perempuannya melindunginya mati-matian…, “Pokoknya Mbak Put kelihatan sangat keren, mirip dengan tokoh jagoan di film-film.”

Jadi Mbak Put mengalahkan mereka semua?”

Tidak juga…, Mbak Put juga luka-luka karena dipukuli, tapi dia bertahan, sampai akhirnya ada beberapa warga lewat dan mengusir para berandalan itu serta menolong kami. Tapi cukuplah, rasanya keren sekali melihat beberapa di antaranya mereka dihajar oleh Mbak Put yang lebih muda dari mereka.”

Apa itu benar Yah?”

Ya, kamu masih ingatkan pas Mbak Put pulang dulu dengan banyak perban di tubuhnya.”

Si kecil mencoba mengingat kembali saat itu, memang ada waktu ketika sekitar seminggu dulu kakaknya terbaring di atas tempat tidur, dan ibu bilang kakak sakit dan tidak boleh diganggu.

Mbak Put-mu adalah pahlawan bagi Kak Del-mu, bukan begitu Del?”

Ya, Yah, aku pingin suatu saat seperti Mbak Put.”

Tapi mendengar itu, seketika sang ayah menjewer telinga anaknya itu, “Tapi kamu selalu bolos kalau sudah disuruh mengikuti sanggar bela diri.” Katanya ayahnya sambil tersenyum geli.

Ya Yah, duh…, ampun…, Del ndak akan bolos lagi lain kali.”

Dan mereka pun tertawa bersama-sama, sambil melanjutkan obrolan antara orang tua dan anak itu. Tampaknya si bungsu masih penasaran dengan kisah yang kakak sulungnya.

Menjelang siang, sang kakek pulang ke rumah, dia sedikit berpeluh karena cuaca yang cukup panas. Namun melihat cucunya datang menjemput di pintu depan, lelahnya pun langsung hilang.

Si bungsu langsung menarik lengan kakeknya dan mengajaknya masuk, dan mengajaknya ke ruang keluarga, Dek tampak tidak sabar menceritakan apa-apa yang sudah di dengarnya hari ini. Tapi ayahnya menahannya sejenak dan berkata untuk membiarkan sang kakek duduk sebentar, “Dek, kakekmu lelah, biar dia duduk sejenak – mengapa kamu tidak mengambilkan segelas air ke dapur, kasihan kan kakek kehausan.”

Si kecil mengangguk dan berlari ke dapur.

Kamu tidak takut dia memecahkan gelas, lihatlah tangannya masih sangat mungil.”

Bapak…” Kata sang ayah pada kakek, “Bukankah Bapak sendiri yang pernah bilang, perabotan rumah tangga yang rusak masih bisa diganti dan selalu ada penggantinya di pasar. Tapi kesempatan memberikan anak rasa tanggung jawab dan menumbuhkan kepedulian tidak selalu ada, dan tidak akan ada penawarannya meski kita punya harta untuk membelinya segala sesuatunya.”

Sang kakek tertawa terbahak-bahak, ia tidak menyangka, nasihatnya pada sang putra saat cucu pertamanya lahir kini kembali padanya. Dia rasa memang dengan bertambahnya usia, dia menjadi lebih mudah mencemaskan yang muda. Penilaiannya memang sudah mulai mudah berkabut, seperti kekeruhan lensa di matanya yang tua. Tapi rasanya itu adalah kabut kasih sayang yang semakin pekat dengan berjalannya usia. Mungkin  inilah mengapa memang sudah seharusnya negeri di serahkan pada yang masih muda, yang masih memiliki stamina dan ketajaman dalam memimpin dan memberdayakan – ing madyo mangun karso.

Si bungsu datang bersama anak-anak lainnya, langkah menjadi lebih lucu karena ia berjalan lebih hati-hati guna membawa segelas air yang lebih besar daripada genggaman tangan kecilnya. Diserahkannya gelas itu pada kakek dengan berbalas ucapan terima kasih yang menyeruak ke dalam sanubari si bungsu.

Ternyata kakeknya tidak lupa, ia membawakan sekotak kue pukis sebagaimana janjinya tadi pagi pada si kecil, dan tidak perlu ditanya lagi, si kecil pun sangat gembira – ia berlari lagi ke dapur mengambil piring saji.

Kek, tadi Dek banyak dengar cerita tentang pahlawan.” Ucap si kecil sambil menceritakan apa lagi yang masih bisa dia ingat tentang semua yang dia dengar hari ini. “Ternyata pahlawan itu ada banyak ya Kek?”

Kakeknya tersenyum sambil menyerahkan satu kue pukis lagi pada si bungsu, “Bagaimana, apa enak?” – dan si kecil pun mengangguk – “Apa rasanya sama dengan yang tadi?”, si kecil hanya bisa menggeleng, “Nah, walau tidak sama, mereka sama-sama kue pukis. Pahlawan juga ada bermacam-macam, tapi mereka tetaplah pahlawan.”

Apa ada pahlawan lainnya lagi…?” Tanya si bungsu penasaran.

Jadi apa kamu mau mendengarkan cerita kakek?”

Anggukan si kecil menandakan kisah kakek, ia memulai dengan kisah nusantara lama dan datangnya bangsa asing yang pada mula bermaksud berdagang rempah-rempah dan kekayaan bumi, namun kemudian berubah maksud untuk menguasai negeri ini. Bagaimana hal tersebut membuatnya lahir di zaman perjuangan kemerdekaan, karena saat itu banyak perang berkecamuk untuk mengusir penjajah dari bumi pertiwi.

Semua anggota keluarga menyimak kembali kisah masa lalu itu, bahwa negeri yang sekarang ada karena begitu banyaknya yang berkorban di masa perjuangan kemerdekaan dan masa-masa sebelumnya. Si bungsu menyimak dengan ketertarikannya sendiri, dan tampaknya dia sulit membayangkan bahwa hal-hal mengerikan pernah terjadi di negerinya.

Si kakek mengakhiri ceritanya dengan bagaimana akhirnya negeri ini bisa merdeka walau masih banyak peperangan setelahnya dalam upaya mempertahankan kemerdekaan. Karena matahari sudah cukup tinggi, mereka pun makan siang bersama.

Kek, apa kakek juga dulu ikut berjuang melawan penjajah itu?” Tanya si bungsu sambil berusaha mengunyah ubi manis yang bercampur dalam nasinya. Si kakek mengiyakannya, “Jadi kakek juga pahlawan yang menyelamatkan negeri?” Tanya-nya lagi.

Ha ha…., tidak sayang…” Kini terdengar suara nenek yang selembut suara ibunya, “Ketika teman-temannya menyerbu markas musuh untuk mendapatkan sisa musuh yang masih bersembunyi, kakekmu justru datang untuk mendapatkan nenek yang jadi tawanan di sana. Dia tidak datang untuk negerinya tapi untuk nenek, dia benar-benar bodoh jika disebut pahlawan.” Dan semua orang-orang mulai tersenyum geli, kecuali si kecil yang masih bingung. “Negara mungkin menganggap kakek pahlawan karena membantu perjuangan kemerdekaan, tapi bagi nenek kakek juga pahlawan karena sudah menyelamatkan nenek – jika tidak, nenek tidak tahu bagaimana nasib nenek ketika itu.” sambungnya.

Jadi begitu juga pahlawan ya?”

Jika seseorang menolongmu dan memberimu rasa aman, dia adalah seorang pahlawan bagimu.” Tambah si nenek. “Nah, sekarang ayo cepat, segera habiskan makannya, dan istirahatlah setelah itu. Karena nanti sore Mbak Put akan mengajakmu berkuda ke atas bukit.”

Benar Mbak?” tanya si kecil senang, karena selama ini setiap kali pulang kampung liburan berkuda bareng adalah kesukaannya, tapi selama ini dia selalu bersama ibunya.

Kakaknya yang paling tua hanya mengangguk dan tersenyum, tapi si kecil sudah mengerti – kakaknya ini memang jarang bicara, itu pun sudah menjadi jawaban yang memuaskan.

Setelah sejam tertidur, si kecil bangun dengan suara alarm jam yang sudah disetel sebelumnya – karena dia tidak ingin melewatkan saat-saat berkuda. Matanya masih mengantuk, tapi semangatnya sulit dihentikan. Sang ibu menemukan anaknya masih menggosok-gosok matanya karena kantuk, dan dia pun membantu si kecil untuk membasuh muka agar lebih segar, segelas jus avokado disediakan ibu untuk putra-putrinya.

Mbak Put sudah mempersiapkan kuda di taman belakang, sementara Kak Del bersiap dengan bola sepaknya, tampaknya dia sudah berjanji dengan anal-anak kampung untuk bareng bermain bola. Dek sendiri diberikan tas kecil oleh ibunya yang berisi kue-kue dan air minum.

Kali ini Dek naik ke kuda di bagian depan, dan diberikan pengaman yang mengikatnya kuat dengan tubuh kakaknya yang memegang tali kekang. Mereka berdua berkuda menyusuri lereng perbukitan menuju puncak, dan si bungsu tampak senang, apalagi melihat hewan-hewan yang bebas di alam terbuka – sangat berbeda dengan kebun binatang. Walau sesekali dia terkaget karena melihat ular melintas di kejauhan, atau suara dahan pohon kelapa yang terjatuh. Dia bertanya hal-hal yang tidak ia ketahui selama perjalanan, dan kakaknya selalu bisa menarik perhatiannya dengan penjelasan-penjelasan yang semakin memancing rasa ingin tahunya. Seperti mengapa mereka berjalan memutar sebelum sampai ke puncak, mengapa tidak langsung saja.

Sementara itu di rumah, kakek-nenek-ayah-ibu semuanya sedang duduk di ruang keluarga untuk berembug. Mereka memperbincangkan tentang rencana menitipkan si bungsu di rumah kakek neneknya. Kondisi perkotaan kini agak memprihatinkan, ayahnya ingin Dek belajar di sekolah di desa saja, karena banyak hal sekarang sulit dikontrol di perkotaan, efek pergaulan anak-anak, video games, bahkan masuknya pornografi ke anak-anak sekolah kini sangat mudah melalui akses teknologi yang dibekali oleh orang tua mereka yang bernama ponsel cerdas.

Anak-anak di kota cenderung menjadi kurang peka terhadap kondisi sosial, karena mereka dipacu dalam persaingan atau kompetisi penguasaan kompetensi terunggul. Sedangkan dunia kerja juga semakin sibuk dengan banyaknya persaingan saat ini, ibu & ayahnya mungkin tidak bisa memperhatikan Dek dengan baik karena kesibukan mereka. Dan tidak mungkin mereka selalu menyerahkan Dek pada pembantu yang juga memiliki tugas sendiri yang  mesti diselesaikan.

Orang tuanya sadar bahwa pendidikan tidak hanya serta merta di serahkan pada sekolah. Anak-anak perlu bimbingan dan panutan orang tua, hanya sementara ini mungkin itu sulit bagi keluarga mereka, jika anak pertama dan kedua sudah cukup besar untuk belajar mandiri membedakan mana yang layak dan mana yang tidak bagi keseharian mereka, namun si bungsu masih belum tahu apa-apa.

Kekhawatiran inilah yang disampaikan orang tua si bungsu pada orang tua mereka.

Nak, apa kamu yakin hendak menitipkannya di sini, apa kalian sudah membicarakannya?” Tanya kakek dengan bersungguh-sungguh.

Ya Pak, kami sudah membicarakannya sebelum kemari, sebagaimana pada surat yang kami tulis untuk Bapak dan Ibu sebulan sebelumnya.”

Tapi itu berarti ia bisa kehilangan sebuah kesempatan untuk mendapatkan sarana pendidikan yang lebih baik, bukankah kamu juga dulu merengek-rengek saat ingin bersekolah tinggi ke kota besar karena beranggapan di sekolah sekitar sini tidak terlalu mendukung?”

Saat itu saya merasa masih dapat menjaga diri, tapi siapa yang akan menjaga Dek kecil kita di sana. Bagaimana pun dia memerlukan bimbingan keluarga, Bapak dan Ibu di sini bisa menyediakan semua itu, karena saya sendiri merasakannya saat saya besar di sini. Dan Dek bisa belajar lebih banyak hal jika tumbuh di desa kecil kita, ia akan belajar dari masyarakatnya yang masih bersahaja. Dari sahabat-sahabat baik saya semasa kecil. Kami tidak menghilangkan kesempatannya untuk mendapatkan sarana pendidikan yang lebih baik. Kami dapat mendatangkan guru dan buku dari kota ke desa, tapi kami tidak dapat mendatangkan kebijaksanaan dan kekayaan budaya desa ke kota di saat kami terlalu sibuk – dia harus belajar langsung dari tanah leluhurnya.”

Lalu kalian akan menitipkannya di sini begitu saja?”

Tentu tidak Pak, kami akan rutin mengunjungi kemari, bahkan bisa jadi lebih sering daripada sebelumnya. Kakaknya – Putri – sendiri juga berkata akan rutin datang untuk melihat dan membantu belajarnya. Dia tidak akan merasa jauh dari keluarganya, apalagi dia selalu suka berada di sini.”

Tapi dia bisa jadi memutuskan menjadi petani kecil seperti Bapakmu ini, bagaimana? Karena persawahan dan perkebunan di sini bisa membuat siapa saja jatuh cinta akannya.”

Pak, bukankah itu bagus? Bagi kami jika dia jadi petani kecil namun berhati besar akan lebih baik jika kesempatan untuk itu ada, daripada dia jadi orang besar tapi berpikiran sempit. Dan jadi petani bukanlah hal yang buruk kan Pak?”

Ah…, Bapakmu ini tak pandai bersilat lidah seperti dirimu, jika tidak tak kuizinkan kamu meninggalkan desa dulu. Tapi syukur juga kamu pergi juga, setidaknya kamu membawa pulang mantu yang sangat baik.” Kata-kata kakek itu membuat ibu tersipu malu, “Lalu kini Bapak ingin mendengar kata-kata anakku yang satu lagi, kamu mungkin bisa bilang dengan mudah akan menitipkan anakmu di sini, karena bukan kamu yang mengandung selama 9 bulan dan merasakan sakitnya melahirkan seorang anak.”

Sejenak suasana hening, dari radio tua mengalun suara melodi keroncong yang disukai kakek dari saluran kesukaannya, dan itu adalah lagu keroncong perjuangan yang begitu…, sebuah lagu yang membuat kakek mengingat perasaan saat-saat menemukan  dorongan untuk mengikuti jejak nenek ke medan perang kemerdekaan.

Engkau gadis muda remaja
Bagai sekuntum melati
Engkau sumbangkan Jiwa raga
Di tapal batas Bekasi

Engkau dinamakan Srikandi
Pendekar putri sejati
Engkau turut jejak pemuda
Turut mengawal negara

Oh pendekar putri nan cantik
Dengarlah panggilan ibu
Sawah ladang rindu menanti
Akan sumbangan baktimu

Duhai putri muda remaja
Suntingan kampung halaman
Kembali ke pangkuan Bunda
Berbakti

(Melati di Tapal Batas – Ismail Marzuki/1947)

Sang kakek memberi tatapan selidik pada menantunya, “Nak, apa kamu bisa berpisah dengan si bungsu, karena ini juga putusanmu?”

Bapak dan Ibu, tidak ada ibu yang tidak berat melepaskan anaknya dan berpisah untuk waktu lama. Tapi kebaikan anak adalah segalanya bagi saya, jika semua beban selama mengandung dan melahirkan dapat saya terima hanya agar dapat melihatnya hadir dalam kehidupan kami, maka sedikit rasa berat di perpisahan ini tidaklah seberapa.”

Suasana senja pedesaan membalut percakapan keluarga itu dalam kehangatan. Sementara si bungsu dan kakak sulung telah menggelar tikar di puncak bukit, membuka bekal mereka. Si bungsu tampak senang mendengarkan dan menyaksikan burung-burung kecil yang berkicau dan mulai pulang ke sarang mereka di pepohonan rimbun di puncak bukit itu.

Dek, kemari, ini tehnya diminum dulu, biar hausnya hilang.” Panggil kakaknya.

Ya Mbak Put.” Dia berlari kecil dan mengambil tutup termos yang dijadikan gelas minum teh. “Oh ya, tadi siang Kak Del cerita tentang Mbak Put yang melawan anak-anak berandalan.” Dia meneguk lagi tehnya, “Dek pingin seperti Mbak Put.” Katanya sambil tersenyum lebar.

Kakaknya hanya tersenyum ringan, “Mengapa Dek pingin seperti Mbak?”

Karena Mbak Put tampak seperti pahlawan yang ada di cerita-cerita itu.”

Apa Dek mau jadi pahlawan?”

Ya…, Dek mau jadi pahlawan, dan nolong orang-orang?”

Kalau Mbak Put bilang itu tidak mungkin, apa Dek akan marah?”

Si bungsu tampak kebingungan, “Dek ndak ngerti…”

Begini, jika Dek nanti sudah besar dan kuat, kemudian melihat Mbak Put atau Kak Del diganggu anak-anak berandalan seperti dulu, apa yang akan Dek lakukan?”

Tentu saja Dek akan nolong Mbak Put, itu kan sudah pasti, biar Dek bantu lawan anak-anak berandalan itu.”

Mengapa?”

Karena Dek sayang Mbak Put.”

Kakaknya tertawa kecil – tentu saja bisik hati kecilnya, “Bukan karena ingin jadi pahlawan?” tanyanya memancing.

Eh…?” Si bungsu tiba-tiba diam.

Itulah Dek, Mbak Put rasa kita tidak akan bisa menolong jika kita ingin jadi pahlawan, dan jika kita ingin jadi pahlawan kita tidak bisa jadi apapun, menolong orang mestinya karena kita sayang dan peduli pada mereka. Apa Dek paham?” kata-kata lembut sang kakak.

Jadinya Dek tidak bisa jadi pahlawan untuk nolong orang-orang?”

Tidak ada yang menjadi pahlawan di dunia ini untuk menolong orang-orang, tapi mereka menolong orang-orang, dan orang-orang yang ditolong akan menyebut mereka sebagai pahlawan.” Dia mengusap kepala adiknya yang berbaring di pangkuannya. “Pahlawan bukanlah sesuatu yang bisa diraih, namun itu adalah sesuatu yang diberikan.”

Benarkah…?”

Ya, coba Dek lihat pemandangan di lembah sana.” Si adik menoleh ke arah lembah, “Apa yang Dek lihat di sana.”

Dek lihat sawah, pohon kelapa, pak tani, rumah-rumah, dan …”

Ya, ya itu cukup, kamu tahu kenapa semua itu ada seperti sekarang, kenapa kita bisa duduk tenang di sini?”

Sang adik hanya menggelengkan kepalanya.

Karena para pejuang kita dulu mengorbankan banyak hal untuk membebaskan tanah ini dari tangan penjajah.”

Seperti kakek?”

Ya, seperti kakek. Saat kakek hendak melamar nenek dulu, dia tahu betapa sulitnya hidup di atas tanah yang terjajah. Jadi dia tidak ingin nenek atau juga anak cucunya nanti mengalami kesulitan dan penderitaan yang sama. Ia pun bersama orang-orang yang berpikiran sama berjuang untuk membebaskan tanah ini, sehingga bisa damai seperti sekarang. Kakek kita tak pernah ingin jadi pahlawan, ia hanya ingin orang-orang yang disayanginya hidup aman dan damai, bahagia serta sentosa. Pun demikian negara mengenal kakek sebagai pahlawan, dan bagi nenek serta ayah, kakek pun adalah pahlawan.”

Bagi ayah juga?”

Ya, karena itulah seringkali pahlawan sebenarnya bagi anak-anak adalah ayah dan ibu sendiri.”

Ayah dan ibu juga pahlawan bagi Dek?”

Ya, tentu saja, mungkin kamu tidak tahu, tapi ayah dan ibu sudah melakukan banyak hal untukmu.”

Jadi ayah dan ibu juga pahlawan, tapi Dek tidak begitu paham…?”

Ha ha…, ya, itu wajar, suatu saat nanti Dek akan mengerti.” Kakaknya tersenyum sambil mencubiti pipi adiknya dengan gemas.

Kapan Dek bisa ngerti.”

Kakaknya tersenyum pelan, “Jika Dek sudah besar dan menjadi orang tua seperti ayah dan ibu.”

Awan bergulat di cakrawala Barat berebut sinar keemasan terakhir di senja itu. Angin semakin bertiup dingin, dan sang kakak sulung pun mengajak adiknya pulang kembali.

Sesampainya di rumah, ibu sudah selesai membungkus nasi dalam kotak makanan keluarga. Dek pun segera dimandikan bergilir dengan anggota keluarga lain. Rupanya untuk memenuhi janjinya, ayah sudah berencana mengajak Dek dan anak-anaknya menonton pagelaran sendratari di kecamatan.

Sendratari kali ini bertema peperangan Raden Gatotkaca yang diambil dari Kitab Gatotkacasrayaoleh Mpu Panuluh. Dek tampak sangat senang menonton sendratari, awalnya dia tidak begitu paham, tapi ayah dan ibunya mendampinginya untuk menjelaskan jalan cerita dan tokoh-tokohnya.

Iklan


6 tanggapan untuk “Apa Itu Pahlawan?”

  1. fiuh… no komen deh, mantap sekali…

    bahkan saya sendiri menjadi lebih mengerti apa itu pahlawan..

    Suka

  2. fiuh… no komen deh, mantap sekali…

    bahkan saya sendiri menjadi lebih mengerti apa itu pahlawan..

    Suka

  3. yang berjasa penuh dedikasi

    Suka

  4. Yeah…
    ndak ngerti mau ngomong apa, pertama kali laman blog ini aku bookmark, karena butuh untuk besok pagi.

    Suka

    1. Pak Aldy,

      Selamat, sudah memenangkan jackpot lebih dari 4.000 kata, silakan diambil lagi besok pagi, he he… :D.

      Suka

  5. Mantap banget ceritanya Bli. 😀

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: