Semakin banyak saja saya temukan blog-blog yang menulis puisi belakangan ini, rasanya senang saja membaca tulisan-tulisan itu walau tanpa bisa berkata apa-apa. Saya ingat ketika masih jadi anak SMP, seorang guru pernah berkata bahwa biasanya orang mendadak jadi puitis ketika ia sedang jatuh cinta; dan kalau mengingat kata-kata itu sekarang, saya malah bisa menemukan banyak puisi saat ini yang ditulis ketika patah hati – tapi rasanya mungkin karena hati itu masih terselip selaksa rasa cinta di dalamnya.
Saya jelas-jelas bukan orang yang mendalami sastra, lebih jelas lagi bukan seorang sastrawan pun pujangga, saya hanya seseorang dengan antusiasme dalam mengerlip riang menengok jejeran sastra di nusantara.
Kali ini saya hendak berbagi sedikit tentang bahasa dalam sebuah puisi, ah…, tentu saja ini adalah sebuah opini yang empiris dan bukannya kebakuan dalam tata dunia sastra. Pengalaman saya mondar-mandir dan clingak-clinguk di bengkel sastra dulu memberi saya sedikit sudut pandang baru.
Puisi lama memiliki beberapa aturan baku, pengikat makna, sehingga sangat khas dalam ranah zaman itu. Jika kita membaca puisi lama, rasanya akan benar-benar kembali ke masa-masa itu lagi, di saat puisi itu mulai dituliskan.
Sedangkan puisi baru lebih bebas, bentuknya tidak terikat, tidak ada persajakan yang mengatur, bahkan mungkin terkesan seperti vandalisme terhadap gaya puisi lama. Kadang ini membuat para siswa yang menerima pelajaran bahasa Indonesia (karena kita tidak memiliki kurikulum sastra Indonesia yang independen), menganggap bahwa menulis puisi bisa sebebas-bebasnya.
Tentu saja pandangan ini tidak keliru, siapa sih yang melarang menulis puisi secara bebas. Namun dalam pembahasaan puisi tentu saja ada beberapa hal yang ditekankan, seperti penggunaan majas, kreativitas, keefektifan kata, keluwesan makna, serta kekuatan dan keutuhan rangkaian puisi itu sendiri – terdengar rumit, ah, mungkin itu hanya perasaan saja.
Jika demikian, bagaimana dengan sebuah contoh? Misalnya ketika Anda sedang bersedih dan berjalan terseok ke tepi sebuah ngarai dengan sungai jernih membentang di bawahnya, hutan-hutan pinus menghiasi lerengnya. Lalu bagaimana Anda menuangkan apa yang bercampur dalam apa yang Anda lihat & Anda rasakan ke dalam syair puisi?
Kaki berjalan lelah terseret di antara rangkaian pinus
Elok alam menemani hati yang sedang gundah di musim ini
Entah kenapa kesedihan ini masih ada dan begitu dalam
Adakah sungai yang akan menghanyutkannya seperti di dasar ngarai
Satu bait di atas adalah bagaimana kebanyakan puisi ditulis saat ini. Dan tentu saja masih ada yang lebih baik dalam mengungkapkannya. Lalu bagaimana jika tuangkan seperti bait berikut.
Terseret lelah celah-celah pinus pengharapan
Sebuah luka menukikkan air mata ke dasar ngarai
Jiwa melompat menyinggung musim
Terbawa angin pada kecupan sungai, terhanyut
Nah, kedua bait tersebut bisa dibilang sama-sama dibuat sebagai puisi, mengungkapkan hal yang sama. Tapi apa yang disebut puitis itu adalah hal yang sepenuhnya berbeda, jika tidak maka setiap susunan kalimat yang dipenggal baris akan bisa disebut puisi.
Apakah gaya bahasa yang puitis tampak rumit? Mungkin “ya”, dan saya rasa memang begitu bagi banyak orang, sehingga lebih banyak yang suka menulis sesuka hatinya kemudian melabeli bahwa itu adalah sebuah “puisi”.
Puisi yang memang untuk publisitas, saya rasa memang mesti komunikatif, dan dalam bahasa yang mudah dipahami, tapi bukan berarti bisa melunturkan pemahaman akan puisi itu sendiri. Tapi puisi-puisi yang memang berasal dari ledakan sebuah emosi – Anda bisa sebut itu “cinta” – tidaklah mesti komunikatif, kadang abstraktif, dengan majas “tingkat tinggi” bagi kita yang sulit membedahnya.
Mungkin mesti dipahami bahwa puisi merupakan bagian seni sastra yang menekankan pada estetika abstraksi dengan tidak melihat fungsi semantik dan silogisme bahasa secara utuh.
Seperti dalam dua contoh di atas, “Adakah sungai yang akan menghanyutkannya…” – baris ini terlalu logis, terlalu semantik, dan tidak estetik abstraktif. Saya sendiri tidak akan menyebutkan sebagai bahasa yang puitis. Bandingkan dengan baris “Terbawa angin pada kecupan sungai…”.
Tentu saja puisi tidak selalu mesti abstraktif, karena sering kali kekuatan puisi ada dalam kesederhanaannya. Namun kesederhanaan tidak berarti bisa menulis puisi secara sembarangan, pun juga dengan kebebasan dalam menulis puisi tidak berarti asal-asalan. Dan saya rasa semua orang bisa sesungguhnya, karena hermeneutika bahasa puisi bukanlah sesuatu yang rumit, serumit abstraksi puisi. Karena jika orang sudah mengerti esensi hermeneutika dalam sastra, maka semiotika sastra akan muncul dengan sendirinya dalam menulis puisi yang indah & sarat makna.
Nah, bagi Anda yang gemar menulis puisi di manapun itu, sudahkah Anda menulis puisi dengan baik?


Tinggalkan Balasan ke TuSuda Batalkan balasan