Aku terduduk di pinggir sebuah meja tertutup debu di antara raut batik lama yang tampak lebih lusuh daripada debu-debu di permukaannya. Sementara di kejauhan orang-orang sedang asyik menyantap kegurihan senja yang terhidang dengan menukar beberapa lembar keringat mereka, dan mungkin inilah sebentuk kepantasan di masa kini.
Seperti biasa, angin bertiup sesenja rintik yang belum hendak berhenti menyapa bumi, walau mentari telah beranjak rendah di cakrawala. Dan aku menyukai pelbagai aroma yang datang dari seberang di mana meja-meja tak tampak berdebu.
Aku tak cukup berpendidikan untuk memahami kenikmatan. Saat di sekitar banyak tangan-tangan berpasangan saling mengulur pengertian dan perhatian, aku terlarut memandangi satu dua ekor layang-layang yang hendak mencari teduh. Yah, aku menyukainya, dengan setipis uap tampak di bawah cahaya yang meredup.
Ah, ya ya…, aku hanya sebuah sepi yang sedang menikmati santap malamku. Hujan tak kunjung mereda, dan biarlah mereka menemani sebelum surut lentera ini menerangi malam yang hanya sekejap.
SS ya Bli? 😀
SukaSuka
Hmm…, itu di mana ya? :D.
SukaSuka
Wah, banyak sekali nasinya…
Kalau saya sendirian makan pastinya nggak habis tuh… 😆
SukaSuka
yang sebelahnya nasi itu apa ya??? kok saya baru liat… 😛
tanganku juga berpasangan lo.. kiri kanan 😆
SukaSuka
Itu memang asli nasi, buatan dalam negeri :D.
SukaSuka
keren…
dan bikin saya lapar liat makanannya…
hihihihih…
SukaSuka
Waduh, masa malam-malan gini kelaparan :D.
SukaSuka
kamu makan di manaaaaa???
Kok aku gk diajaki… 😦
SukaSuka
Wah, ndak elok dong penggangguran menawarkan makan malam sama pegawai. Bagaimana kalau sebaliknya?
SukaSuka