A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages

Alkisah seorang perempuan tua di sebuah desa yang menjual sebidang tanah kecilnya untuk membeli 4 buah gelang emas. Dua gelang di masing-masing tangannya tampak bergemerlapan. Dengan gembira ia berkeliling desa dengan memamerkan gelang-gelang emasnya, ia merasa amat bangga.

Namun tak lama berselang, kebanggaannya berganti kekecewaan. Jangankan untuk mengagumi gelangnya, bahkan tidak ada satu pun warga desa yang melirik gelangnya. Tepatnya, tidak ada warga desa yang melihat adanya perubahan bermakna pada perempuan tua itu. Walau si perempuan sudah berusaha menarik perhatian para tetangganya, namun tetap saja tampaknya sia-sia belaka.

Ia pulang dengan merasa sedih, sakit hati & terabaikan. Malam itu ia begitu gelisah dan sulit memejamkan matanya. Hingga tiba-tiba, sesuatu melintas di dalam benaknya, dan ia mendapati itu sebagai sebuah ide cemerlang. Ia merasa ide ini pastilah akan berhasil menarik minat warga desa untuk memperhatikan gelang emasnya.

Begitu matahari terbit keesokan harinya, si perempuan tua ini langsung membakar rumahnya sendiri. Jilatan api dengan cepat membesar dan asap tebal membumbung tinggi. Kontan desa menjadi gempar, warga berlarian menuju lokasi kebakaran tersebut. Saking besarnya api, membuat warga panik & sekaligus ngeri menyaksikannya.

Perempuan tua ini menggerakkan tangannya sedemikian hingga menimbulkan rasa iba pada warga yang datang. Sembari terduduk di depan rumah yang mulai habis ditelan kobaran api, tangannya masih tetap bersemangat bergerak sambil terucap kata, “Duh…, rumahku terbakar…, betapa malangnya nasibku. Tuhan, tidakkah Kau lihat keadaan burukku ini?” Dan dalam setiap patah kalimat yang terucap, diangkat dan diperlihatkannya tangannya pada warga yang tidak berani mendekat ke arah kobaran api, sedemikian hingga ia bisa melihat bahwa warga desa dapat menyaksikan gelang-gelang emas di kedua tangannya.

Sungguh malang dan kasihan perempuan tua ini. Begitu inginnya ia memamerkan gelangnya sehingga ia tak peduli api telah melalap habis rumahnya. Rumahnya terbakar, namun ia senang karena gelangnya dilihat banyak orang.

Terkadang kita dapat menyaksikan hal serupa pada cendekiawan yang gemar mengagumi dan memamerkan kepandaiannya sendiri, tampak sama bodohnya dengan perempuan tua ini, tidak peduli ego melalap nuraninya.

Diadaptasi dari dari Chinna Katha II.51

  Copyright secured by Digiprove © 2011 Cahya Legawa

Commenting 101: “Be kind, and respect each other” // Bersikaplah baik, dan saling menghormati (Indonesian) // Soyez gentils et respectez-vous les uns les autres (French) // Sean amables y respétense mutuamente (Spanish) // 待人友善,互相尊重 (Chinese) // كونوا لطفاء واحترموا بعضكم البعض (Arabic) // Будьте добры и уважайте друг друга (Russian) // Seid freundlich und respektiert einander (German) // 親切にし、お互いを尊重し合いましょう (Japanese) // दयालु बनें, और एक दूसरे का सम्मान करें (Hindi) // Siate gentili e rispettatevi a vicenda (Italian)

3 tanggapan

  1. Nandini Ansa Avatar
    Nandini Ansa

    heheh.. faktanya memang ada kok orang2 caper berlebihan sampe seperti itu.. cuma bentuknya beda aja.. 😀

    Suka

  2. anugrha13 Avatar
    anugrha13

    psico kali tuh orang tua :pudah jelas rumahnya terbakar masih aja ngurusin gelang emasnyaeddun lah pokoknya hehehe

    Suka

  3. Ningrum Avatar
    Ningrum

    Hmmm…. nice post:)
    Demi sebuah perhatian dan popularitas, dengan egonya (tanpa disadari) ia telah menghancurkan dirinya sendiri. Hmm… kemerdekaan nuraninya pun tergadaikan untuk membelil sebuah kata "dikagumi" (dengan ukuran yang ia ciptakan sendiri)

    Suka

Tinggalkan Balasan ke Ningrum Batalkan balasan