Sebenarnya tidak masalah membangun jejaring sosial yang luas, membuat perkenalan yang banyak baik di blog, facebook atau twitter dan kawan-kawannya. Tapi kadang banyak orang tidak dapat membatasinya, sudah tidak aneh lagi di pelbagai belahan dunia jejaring sosial dunia maya merupakan trend dan salah satu kebutuhan tersier level atas bagi mereka yang mampu menjangkau teknologinya.
Kecanduan jejaring sosial dunia maya adalah sebuah masalah yang belakangan ini sering dikhawatirkan oleh banyak pihak. Anak-anak atau remaja pada usia sekolah adalah yang paling rentan dalam hal ini, mereka sedang dalam masa-masa ingin menemukan sesuatu di dunia yang luas, Anda boleh bilang itu seperti “semangat petualangan” yang masih menyala-nyala.
![]()
Permasalahannya adalah kontrol untuk waktu yang dihabiskan pada jejaring sosial, mereka yang sering menggunakan jejaring sosial tentunya memahami berapa banyak waktu yang diperlukan untuk berinteraksi dengan orang-orang lain di dunia maya, meski hanya sekadar berceloteh. Memang menyenangkan sehingga orang bisa lupa waktu.
Berbagai penelitian menunjukkan kecenderungan pelajar untuk terobsesi dengan jejaring sosial dari waktu ke waktu meningkat, hal ini sering kali berdampak pada daya belajar mereka. Anak-anak di masa sekarang mungkin menemukan bahwa jejaring sosial adalah sesuatu yang tak terhindari, sebagaimana anak-anak pada masa lalu menemukan bahwa turut serta dalam permainan petak umpet adalah sesuatu yang tak terhindari – dari segi psikologi sosial yang ditimbulkan.
Ketika interaksi virtual menjadi sebuah kebutuhan bagi pelajar, terutama anak-anak, hal ini bisa jadi mengganggu hubungan emosi anak-anak pada kehidupan nyata, atau bahkan pada kasus-kasus tertentu membatasi perkembangan anak-anak secara sosial dan emosional.
Beberapa anak kesulitan membangun keseimbangan antara kehidupan virtual dan kehidupan dunia nyata, misalnya saja karena perlu membalas banyak pesan dan celoteh di jejering sosial, anak-anak kadang terburu-buru menyelesaikan PR-nya dari sekolah, sehingga mereka kehilangan esensi belajar itu sendiri. Meski tampaknya anak bisa menyelesaikan PR-nya, tapi tidak selalu berarti mereka memahami apa yang mereka kerjakan – apalagi jika PR bisa diselesaikan hanya dengan menyontek dari buku pelajaran saja, tentu saja jika dalam benak anak sudah ada rencana menjelajah jejaring sosial setelah ini, maka proses menyalin ini hanya akan jadi proses mekanis tanpa adanya unsur pembelajaran di dalamnya.
Dan memang sering kali tidak bisa dipungkiri bahwa jejaring sosial membuat pelajar dan anak-anak mengalami kesulitan mengimbanginya dengan kegiatan belajar atau sekolah. Pelajar memerlukan cukup ruang untuk menyerap informasi pendidikan, sedangkan jejaring sosial adalah sebuah ruang virtual yang dibanjiri oleh pelbagai informasi. Kurikulum sekolah saat ini saja sudah padat informasi, lalu bisa Anda bayangkan bagaimana jika banjir informasi juga memasuki dunia anak-anak?
Itulah mengapa dibangun sebuah konsep “age restriction for social networking web” atau pembatasan usia untuk pengguna jejaring sosial. Konsep ini dibangun dengan memandang unsur usia sebagai kematangan psikologis untuk mampu mengelola jejaring sosial secara bijaksana dan bertanggung jawab, mampu memahami dan mengerti bahaya jejaring sosial seperti unsur-unsur kejahatan web, penipuan, pemerasan dan lain sebagainya.
Banyak jejaring sosial baru mengizinkan memiliki akun setelah usia 16 atau 18 tahun, di mana remaja atau pelajar dinilai sudah bisa mengelola jejaring sosialnya secara bijaksana dan bertanggung jawab. Itu adalah usia pada akhir masa sekolah, di mana akumulasi hasil pendidikan diharapkan membuat anak menjadi cukup mengerti hak dan kewajibannya.
Sedangkan yang terjadi di sekitar kita kadang jauh dari itu. Anak-anak mencoba mengakali jejaring sosial seperti mencuri umur sehingga diizinkan bergabung, orang tua diam saja dan kadang bangga dengan anak mereka yang seakan-akan melek teknologi tanpa menyadari “bahaya” jejaring sosial, bahkan sering kali mendukung dengan menyediakan teknologi untuk itu. Maka mungkin Anda tidak akan heran menemukan anak SMP membawa ponsel pintar dan asik ber-facebook-an atau ber-twitter-an.
Salah satu jejaring sosial buatan anak negeri – jika tidak salah bernama “Saling Sapa”, bahkan mengizinkan anak usia 6 tahun untuk mendaftar dan memiliki akun. Mungkin karena penciptanya adalah anak-anak, sehingga ia ingin membagi ini pada anak-anak di seluruh dunia, dan juga agar anak-anak tidak perlu berbohong tentang usianya saat mendaftar. Tapi apakah Anda tahu, bahkan di negara-negara maju ada aturan batasan usia berapa tahun seorang anak baru bisa menyerahkan data dirinya di Internet guna melindungi anak itu sendiri?
Orang-orang dari biro keamanan seperti FBI percaya, bahwa ketika orang tua memberikan akses dunia maya pada anaknya yang masih berusia dini, maka ia sudah membuka pintu rumahnya sendiri untuk dimasuki pemangsa yang bisa membahayakan keluarganya. Bahkan Microsoft sendiri memberikan konsen pada orang tua dalam melindungi anak-anaknya di dunia maya, sebagaimana ditulis dalam “How to help your kids use social websites more safely”.
Ketika orang tua tidak memahami bagaimana melindungi anak-anaknya pada jejaring sosial, maka terjadilah kasus-kasus yang tidak diinginkan – seperti penculikan oleh orang yang dikenal anak melalui jejaring sosial seperti facebook, sebagaimana ada dalam tulisan Agus Siswayo.
Situs jejaring sosial mungkin hal yang menyenangkan bagi anak, namun dampak negatif pada daya belajar dan bahaya potensial yang dimilikinya bukanlah sesuatu yang bisa dipahami apalagi disadari oleh anak-anak pada umumnya. Sehingga saya setuju jika jejaring sosial pada anak dibatasi tentunya dengan pendekatan dan edukasi yang tepat dan efektif, kecuali orang tua siap dengan segala risiko yang mungkin ditimbulkannya.

Tinggalkan komentar