Bagian yang paling sulit dari eradikasi tuberkulosis di Indonesia mungkin adalah pola hidup masyarakat kita, serta kecerdasan dan kesadaran yang masih kurang, serta kepekaan yang belum terasah akan isu-isu kesehatan. Paradigma lama masih melekat jika saya boleh melihat secara sekilas, masyarakat kita masih jauh dari mengenali kesehatan dirinya sendiri dan lingkungan pada umumnya.
Masyarakat daerah perkotaan yang mendapatkan akses pendidikan dan promosi kesehatan yang lebih baik, mungkin lebih sedikit penyakit menular tropis seperti tuberkuluosis (TB) yang muncul; tapi masyarakat pedesaan akan menjadi sasaran yang lebih rentan sebagai tempat hinggapnya penyakit-penyakit ini.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri yang cukup membandel sejak zaman dulu kala, dan sampai saat ini belum menghilang, bahkan sejumlah laporan menyampaikan bahwa mulai terjadi kekebalan terhadap obat-obat yang biasanya digunakan. Karena umumnya kita pasti akan berjumpa dengan bakteri ini, maka langkah pencegahan awal adalah dengan vaksinasi, setidaknya vaksin BCG masih cukup efektif untuk melindungi anak-anak pada masa tumbuh kembangnya. Sayangnya, di desa-desa yang mulai marak menolak vaksinasi karena alasan tertentu seperti religius, anak-anak di sana menjadi semakin rentan terserang dan menjadi sarang penyakit ini.
Pencegahan berikutnya tentu dengan promosi kesehatan. Di sinilah letak potensi penggerakan kader-kader kesehatan untuk bergerak memberikan kabar yang benar mengenai tuberkulosis, jangan sampai ada orang yang telat terdeteksi, telat terobati, atau gagal berobat. Terdengar sih mudah, tapi kenyataan di lapangan tidak pernah sesederhana itu, karena banyak sekali tantangannya.
Penyakit tuberkulosis tidak serta merta muncul dan membuat sakit, ada proses yang dilalui, dan proses ini sering kali tanpa gejala; pun jika ada seperti gejala-gejala ringan yang dianggap orang bisa sembuh dengan sendirinya, padahal di sisi lain tuberkulosis adalah penyakit purba yang masih menyebabkan risiko kematian yang tinggi. Gejala sederhana seperti batuk lama yang tak kunjung membaik, demam ringan disertai keringat malam, penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan adalah tanda-tanda ringan yang berlangsung tidak dengan cepat.

<span class="embedly-powered" style="float:right;display:block"><a target="_blank" href="http://embed.ly/code?url=http%3A%2F%2Fwww.who.int%2Ftopics%2Ftuberculosis%2Fen%2F" title="Powered by Embedly"><img src="http://static.embed.ly/images/logos/embedly-powered-small-light.png" alt="Embedly Powered" /></a></span>
‘}”>
Sejumlah hal-hal mendasar membuat tuberkulosis sulit dibasmi, padahal target MDGs 2015 adalah salah satunya kesuksesan di dalam memerangi tuberkulosis, dan sepertinya dalam waktu yang dekat ini semakin sulit saja; tapi dari statistik setidaknya masih ada harapan.
Saya rasa dari segi penapisan, pelayanan dasar kita sudah cukup agresif menjaring tersangka penderita TB, karena setiap ada batuk berdahak lebih dari 2 minggu akan langsung dilakukan deteksi awal untuk kemungkinan tuberkulosis. Dan ketika terdeteksi, maka pengobatan gratis sudah disiapkan oleh pemerintah.
Tapi di sini kesulitan itu terjadi. Kadang tersangka tidak jadi memeriksakan diri, karena pelayanan di daerah pinggiran mungkin hanya ada sekali seminggu, pas ketika subjek yang dimasudkan sedang memiliki kesibukan lainnya, mereka enggan memeriksakan diri karena gejala keluhan awal sudah tidak dikeluhkan lagi. Sehingga petugas kesehatan kadang harus bergerak dari rumah ke rumah memberikan penyuluhan dan penggaetan.
Lalu ketika berobat, mungkin sebagian besar dari kita tahu bahwa pengobatan tuberkulosis tidak sebentar, minimal selama enam bulan meminum obat-obat yang itu-itu saja, dan obatnya tidak boleh telat sehari, jika telat atau lupa minum obat satu hari saja, maka harus mengulang dari awal. Pasien sering bosan di sini minum obat, maka harus ada pengawas minum obat yang merupakan orang terdekat pasien agar pasien tetap taat minum obat. Lalu belum lagi efek samping yang sering membuat tidak nyaman, sehingga pasien kadang malah rawat inap akibat efek samping obat yang dia tidak tahan, di sini perlu dokter untuk membimbing pasien cara konsumsi obat yang benar.
Kesehatan lingkungan dan budaya juga menjadi tantangan. Pasien yang mulai berobat setidak dianjurkan menggunakan masker setiap saat untuk melindungi dirinya sendiri dan lingkungan, tapi mengenakan masker mungkin menjadi isu sendiri bagi pasien maupun masyarakat lingkungan ini. Lalu pada kasus penderita tuberkulosis paru (flek paru) yang perokok, maka asap rokok wajib dihindari, baik pasien maupun lingkungannya harus bebas asap rokok; hanya saja walau pasien berhenti merokok, bukan berarti ketika berinteraksi dengan warga masyarakat lainnya, dia akan terbebas dari asap rokok.
Sistem kesehatan telah tersedia untuk menangani tuberkulosis di Indonesia, dan saya rasa kini saatnya masyarakat yang menjadi lebih awas dan mandiri dalam menjaga agar lingkungan tidak menjadi sarang penyakit tuberkulosis melalui kegiatan vaksinasi; dan membantu kesembuhan anggota masyarakatnya yang menderita tuberkulosis, baik dengan menjadi pengawas minum obat, memberikan dorongan moral, ataupun dengan mulai mengurangi atau melarang warga merokok selama ada kegiatan temu warga dan sejenisnya.
Tinggalkan Balasan