Dalam pertemuan mengenai pembahasan masalah TB RO – Tuberkulosis Resistan Obat, terdapat sejumlah kekhawatiran yang dapat diungkapkan. Kemunculan kasus-kasus Tuberkulosis Resistan Obat seperti MDR-TB (multidrug resistant) dalam wujud XDR-TB (extensively drug resistant) – sebuah istilah yang pertama kali digunakan pada Maret 2006, disusul oleh TDR/XXDR – TB (totally drug resistant / extremely drug resistant) menjadi tanda bahwa perang melawan tuberkulosis akan lebih panjang lagi.
XDR-TB melibatkan kekebalan kuman tuberkulosis terhadap dua obat TB paling kuat, isoniazid dan rifampicin, dengan tambahan kebal terhadap salah golongan fluoroquinolones (seperti levofloxacin atau moxifloxacin), dan setidaknya kebal terhadap salah satu dari tiga obat injeksi lini kedua (amikacin, capreomycin atau kanamycin). Baik MDR-TB maupun XDR-TB memerlukan waktu lebih panjang untuk diobati, dan wajib menggunakan obat anti-TB lini kedua yang mana lebih mahal dan memiliki efek samping lebih banyak dibandingkan obat lini pertama (World Health Organization (WHO), 2016).
Pelbagai upaya dan terobosan metode tatalaksana baru dibuat untuk menghadapi infeksi tuberkulosis resistan obat ini. Baik dari segi preventif, edukatif, hingga kuratif. Metode kuratif sendiri mengalami banyak tantangan, selalu ada update mengenai panduan tata laksana bagi TB RO, misalnya yang terakhir pada tahun lalu (World Health Organization, 2016).
Preventif berpatokan pada penemuan dan pengobatan kasus tuberkulosis, serta meningkatkan budaya hidup sehat pada masyarakat. Penemuan dan pengobatan dapat menjaring penderita TB untuk segera diobati dan mencegah potensi penularan dari penderita ke orang lain sedini mungkin. Sementara, pola hidup yang sehat memang dinilai mampu mencegah penularan infeksi TB, bahkan mungkin berperan dalam mencegah penderita TB beralih menjadi MDR-TB (Mulyanto, 2014).
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan sumber daya tenaga kesehatan yang amat terbatas. Beruntungnya, di Indonesia memiliki sistem kader kesehatan yang dapat diaktifkan untuk membantu menemukan kasus-kasus tuberkulosis di masyarakat, dan tentunya para kader kesehatan perlu dibekali terlebih dahulu agar dapat menemukan kasus tuberkulosis secara efektif, efisien dan tetap aman (Ni Putu Sumartini, 2014; Wahyuni & Artanti, 2013).
Sistem penyaringan lain juga dapat kita pertimbangan, secara klasik dalam pencegahan penyakit, semakin awal penyakit dideteksi akan semakin baik hasilnya jika diobati secara dini. Namun apakah penapisan (screening) baik individu maupun komunitas menjadi efektif? Kita mungkin mendapatkan pertimbangan yang kurang meyakinkan mengenai manfaat penapisan kasus tuberkulosis (Kranzer et al., 2013). Namun untuk kasus-kasus di mana tenaga kesehatan menemukan risiko kemungkinan seseorang/individu rentan terhadap tuberkulosis, misalnya pada individu dengan gangguan sistem imunitas, maka penapisan akan layak dipertimbangkan (Lönnroth et al., 2013), termasuk pada penderita diabetes (Baker, Lin, Chang, & Murray, 2012; Kesehatan Masyarakat, Dian Saraswati, & Kesehatan Masyarakat, 2014) walau kadang para penderita ini dipicu untuk dapat batuk guna melakukan pemeriksaan awal (Mtwangambate et al., 2014), atau pada anggota keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan tuberkulosis (Augustynowicz-Kopeć et al., 2012; Shah, Yuen, Heo, Tolman, & Becerra, 2014). Tentunya melakukan penapisan juga layaknya tersedia fasilitas diagnostik yang memadai dan terstandar serta aman (World Health Organization, 2015).
Penemuan-penemuan kasus tuberkulosis kemudian akan membawa kita menuju proses terapi dan edukasi kepada pasien. Termasuk dukungan dari keluarga pasien itu sendiri akan sangat memengaruhi hasil pengobatan (J. & R., 2014).
Tentu saja ada banyak tantangan kemudian dalam proses terapi tuberkulosis, misalnya ketaatan berobat, komitmen untuk berhenti merokok , stigma masyarakat, pemenuhan makanan bergizi seimbang, keberadaan penyakit sekunder lain (diabetes, HIV), jenis dan kategori tuberkulosis, efek samping obat dan masih banyak lagi.
Cuplikan laporan WHO tahun 2016 menunjukkan bahwa pada kasus MDR-TB, tingkat keberhasilan terapi adalah 52%, sementara 17% pasien meninggal dunia, dan 9% pasien mengalami kegagalan terapi (sementara 22% hilang kontak atau tidak diikuti) (WHO, 2016). Situasi ini tentu mengkhawatirkan kita semua, dan dapat membuat penderita menjadi putus asa. Kita mungkin sedang mengalami status quo dalam menghadapi situasi tuberkulosis yang resistan obat (Zumla et al., 2015), dan bertanya apa yang dapat kita lakukan?
Akankah kita kemudian kembali kepada jawaban yang diplomatis? Kita berusaha sebaik mungkin. Tentu saja demikian, mulai dari upaya untuk mengeliminasi faktor-faktor yang berpotensi memunculkan kasus tuberkulosis (Sejati & Sofiana, 2015), meningkatkan determinan sosial yang menjadi sisi berlawanan bagi peningkatan kasus tuberkulosis (Wardani, 2014), melakukan tata laksana kasus tuberkulosis sesuai dengan pedoman yang ada di Indonesia (Departemen Kesehatan RI, 2007; PDPI, 2011), serta dukungan pemerintah dalam menciptakan akses bagi pengendalian kasus tuberkulosis nasional (Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI, 2011).
Dan setelah segala daya upaya, bolehlah kita sedikit berharap bahwa upaya kita dalam menghadapi kasus tuberkulosis – termasuk TB RO akan berbuah manis.
*Catatan: Penulis mengetahui bahwa TB RO ada yang ditulis sebagai Tuberkulosis Resisten Obat, namun untuk menyesuaikan dengan KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), maka penulis yang lebih tepat adalah Tuberkulosis Resistan Obat.
Bibliografi
Augustynowicz-Kopeć, E., Jagielski, T., Kozińska, M., Kremer, K., van Soolingen, D., Bielecki, J., & Zwolska, Z. (2012). Transmission of tuberculosis within family-households. Journal of Infection, 64(6), 596–608. https://doi.org/10.1016/j.jinf.2011.12.022
Baker, M. A., Lin, H.-H., Chang, H.-Y., & Murray, M. B. (2012). The risk of tuberculosis disease among persons with diabetes mellitus: a prospective cohort study. Clinical Infectious Diseases : An Official Publication of the Infectious Diseases Society of America, 54(6), 818–25. https://doi.org/10.1093/cid/cir939
Departemen Kesehatan RI. (2007). Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Indonesia. https://doi.org/616.995.24 Ind P
Dirjen P2&PL Kementerian Kesehatan RI. (2011). Terobosan Menuju Akses Universal, Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2010-2014. Stop TB, 1–80. Retrieved from http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-2014.pdf
J., D., & R., A. (2014). Determination of family support of clients with tuberculosis. Nepal Journal of Epidemiology. Retrieved from http://www.nepjol.info/index.php/NJE/article/view/10171/8287%5Cnhttp://ovidsp.ovid.com/ovidweb.cgi?T=JS&PAGE=reference&D=emed13&NEWS=N&AN=72088314
Kesehatan Masyarakat, J., Dian Saraswati, L., & Kesehatan Masyarakat, F. (2014). Prevalens Diabetes Mellitus Dan Tuberkulosis Paru. Kemas, 9(92), 192–196. Retrieved from http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas
Kranzer, K., Afnan-Holmes, H., Tomlin, K., Golub, J. E., Shapiro, A. E., Schaap, A., … Glynn, J. R. (2013). The benefits to communities and individuals of screening for active tuberculosis disease: A systematic review. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 17(4), 432–446. https://doi.org/10.5588/ijtld.12.0743
Lönnroth, K., Corbett, E., Golub, J., Godfrey-Faussett, P., Uplekar, M., Weil, D., & Raviglione, M. (2013). Systematic screening for active tuberculosis: Rationale, definitions and key considerations. International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. https://doi.org/10.5588/ijtld.12.0797
Mtwangambate, G., Kalluvya, S. E., Kidenya, B. R., Kabangila, R., Downs, J. A., Smart, L. R., … Peck, R. N. (2014). “Cough-triggered” tuberculosis screening among adults with diabetes in Tanzania. Diabetic Medicine, 31(5), 600–605. https://doi.org/10.1111/dme.12348
Mulyanto, H. (2014). Hubungan lima indikator perilaku hidup bersih dan sehat dengan tuberkulosis. Jurnal Berkala Epidemiologi, 2(3), 355–367. http://repository.unair.ac.id/id/eprint/23819.
Ni Putu Sumartini. (2014). Penguatan Peran Kader Kesehatan Dalam Penemuan Kasus Tuberkulosis (Tb) Bta Positif Melalui Edukasi Dengan Pendekatan Theory of Planned Behaviour (Tpb). Kesehatan Prima , 8, 1246–1263.
PDPI. (2011). Pedoman Penatalaksanaan TB (Konsensus TB). In Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (pp. 1–55). https://doi.org/10.5860/CHOICE.41-4081
Sejati, A., & Sofiana, L. (2015). Faktor-Faktor Terjadinya Tuberkulosis. Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, 10(2), 122–128.
Shah, N. S., Yuen, C. M., Heo, M., Tolman, A. W., & Becerra, M. C. (2014). Yield of contact investigations in households of patients with drug-resistant tuberculosis: Systematic review and meta-analysis. Clinical Infectious Diseases. https://doi.org/10.1093/cid/cit643
Wahyuni, C. U., & Artanti, K. D. (2013). Pelatihan Kader Kesehatan untuk Penemuan Penderita Suspek Tuberkulosis. Kesmas: Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8(2), 85–90.
Wardani, D. W. S. R. (2014). Peningkatan Determinan Sosial dalam Menurunkan Kejadian Tuberkulosis Paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 9(1), 39–43. https://doi.org/10.21109/kesmas.v9i1.454
WHO. (2016). Mdr-Tb. Burden, Global Treatment, Enrollment O N Mdr-Tb Outcomes, Treatment, 2015–2016.
World Health Organization. (2015). Implementing tuberculosis diagnostics: A policy framework. Geneva: World Health Organization, 39. https://doi.org/WHO/HTM/TB/2015.11
World Health Organization. (2016). WHO treatment guidelines for drug-resistant tuberculosis. Geneva, Switzerland: https://doi.org/NLM classification: WF 300
World Health Organization (WHO). (2016). Drug-resistant TB: XDR-TB FAQ.
Zumla, A., Chakaya, J., Centis, R., D’Ambrosio, L., Mwaba, P., Bates, M., … Migliori, G. B. (2015). Tuberculosis treatment and management-an update on treatment regimens, trials, new drugs, and adjunct therapies. The Lancet Respiratory Medicine. https://doi.org/10.1016/S2213-2600(15)00063-6
Tinggalkan Balasan