Bhyllabus l'énigme

A Cahya Legawa's Les pèlerins au-dessus des nuages


Rumah Sakit dan Uang Jaminan

Kembali tentang cerita orang miskin yang dilarang sakit. Kali ini tentang isu rumah sakit yang meminta uang muka atau uang jaminan kepada pasien atau keluarganya sebelum mereka mendapatkan pelayanan medis. Hal ini membuat masyarakat miskin (atau yang merasa miskin) benar-benar tidak menyukai praktik rumah sakit seperti ini, dan ujung-ujungnya yang sering kena getah dari situasi seperti ini adalah tenaga medis seperti dokter di rumah sakit tersebut, atau bahkan secara umum – katakanlah, bilangnya dokter itu mata duitan.

Kita bisa menemukan bahasan seperti ini di mana-mana, forum dan blog banyak mengulasnya. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada sesama kolega dan para pengelola rumah sakit di tanah air, maka kita mungkin harus sepakat terlebih dahulu, bahwa praktik ini terjadi. Hanya saja, bisa jadi yang menyebabkan perdebatan hanyalah perbedaan sudut pandang antara pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarganya.

Sebelum melangkah jauh, ada baiknya kita juga menyimak tulisan narablog Anjari Umarjianto, dalam tulisannya “Boleh Saja Rumah Sakit Meminta Uang Muka, Asal…” Di sana kita akan menemukan dua prinsip uang jaminan/muka yang dibahas sesuai dengan kondisi. Pertama pada kondisi gawat darurat, mengancam nyawa, atau menyebabkan kecacatan, maka rumah sakit tidak boleh meminta uang muka atau jaminan kepada pasien sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Dan kedua, di luar kondisi tersebut, rumah sakit tidak terikat oleh suatu larangan menerapkan sistem meminta uang muka untuk pelayanan lainnya.

Rumah sakit, apalagi yang dikelola oleh swasta, kecuali di bawah payung yayasan sosial, maka bisa dikatakan sebagai unit bisnis di bidang kesehatan. Bisnis selalu berbicara tentang laba atau keuntungan, dan setidak-tidaknya tidak merugi. Jika rumah sakit tidak memiliki keuntungan finansial, maka rumah sakit tidak akan berkembang, bahkan malah bisa sebaliknya, memburuk dari waktu ke waktu, yang pada akhirnya memengaruhi pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan. Meskipun rumah sakit merupakan unit bisnis di ranah pelayanan kesehatan, tapi secara etis rumah sakit tidak boleh membisniskan kemanusiaan.

Rumah sakit memerlukan keuntungan finansial untuk tetap dapat bertahan dan berkembang menjadi lebih baik seperti badan usaha lainnya.

Saya berikan sebuah ilustrasi contoh kasus:

Sepasang suami istri membawa anak mereka yang mengalami diare sejak dua hari sebelumnya ke instalasi gawat darurat rumah sakit. Sehari sebelumnya, si anak sudah diperiksakan ke rumah sakit lainnya. Dokter triase yang memeriksa anak tersebut tidak menemukan kegawatan, dan kondisi anak cukup baik, sehingga diserahkan ke unit rawat jalan di poli umum. Dokter di unit rawat jalan menjelaskan bahwa anak dalam kondisi baik, bisa pulang dengan obat yang sudah didapatkan dari rumah sakit sebelumnya tanpa perlu obat tambahan, dan orang tua disarankan lebih telaten untuk merawat anak di rumah, serta menambah asupan nutrisi bagi si anak.

Setelah mendapatkan penjelasan dokter, orang tua si anak meminta agar anaknya rawat inap, karena menilai kondisi anak lemah. Dokter pun menyampaikan rawat inap bisa diberikan sebagai indikasi sosial atas permintaan orang tua, namun disampaikan kembali bahwa hal tersebut tidak diperlukan.

Setelah sejumlah diskusi, akhirnya si anak dirawatinapkan pada rumah sakit tersebut, Awalnya orang tua ingin menggunakan keringanan berupa jaminan kesehatan dari pemerintah daerah. Pihak rumah sakit menyampaikan bahwa hal tersebut tidak bisa dilakukan, karena kasus anak bukanlah kasus darurat dan tidak memiliki indikasi rawat inap sebagai pilihan terapi yang dikehendaki orang tua pasien, dan jika hendak memanfaatkan fasilitas tersebut, maka diinformasikan bahwa pasien bisa mendapatkannya di fasilitas pelayanan primer.

Setelah dua hari rawat inap sebagai pasien umum, orang tua anak kaget melihat tagihan rumah sakit. Dia marah-marah pada bagian administrasi keuangan, dan minta anaknya dipulangkan, jika bisa dia ingin mendapatkan tanggungan dari jaminan kesehatan setempat (yang ternyata si anak belum terdaftar dalam program jaminan kesehatan manapun), jika tidak bisa dia hanya mau membayar separuh saja tagihan rumah sakit karena alasan pendapatannya yang rendah.

Pasien hampir selalu ingat akan haknya, tapi kadang sesekali menyangkal kewajibannya, dan ini adalah hal yang manusiawi terjadi di rumah sakit.

Kasus di atas merupakan salah satu ilustrasi dari kausa terumum di mana pasien tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada rumah sakit dalam bentuk pembayaran tagihan atas pelayanan yang diberikan rumah sakit. Alasan ketidakmampuan finansial bukanlah satu-satunya faktor penyebab, Anda mungkin pernah mendengar tentang ibu melahirkan yang lari dari rumah sakit dan meninggalkan bayinya begitu saja.

Tapi apapun landasannya, rumah sakit sebagai unit bisnis akan memandangnya sebagai kerugian. Dan dalam upaya pencegahan kerugian seperti ini terulang lagi, akan ada sejumlah mekanisme atau sistem yang diberlakukan rumah sakit. Salah satunya adalah adalah pembayaran di depan sebelum pelayanan diberikan.

Selama sistem tersebut bisa disepakati antara pasien sebagai konsumen, dan rumah sakit sebagai penyedia jasa, saya rasa mekanisme pasar ini tidak akan bisa disangkal dan ditentang. Apalagi asas manfaat bagi kedua belah pihak bisa sama-sama terpenuhi.

Tapi karena sekali lagi, jasa kesehatan tidak melulu murah meriah, maka tidak semua orang akan sanggup mendapatkannya dengan serta merta, apalagi melakukan pembayaran di muka sebelum mendapatkan pelayanan – yang dalam catatan, pelayanan kesehatan dan kedokteran itu sendiri tidak memberikan jaminan – tidak semua orang bisa dan mau. Tidak seperti membeli sepeda motor yang jika dibayar di muka maka mendapatkan garansi kualitas yang baik. Sedangkan pelayanan kesehatan dan kedokteran yang dibayar di muka bisa jadi hasilnya tidak sesuai harapan pasien.

Ini masalah kompleks yang pada banyak situasi dan kondisi tidak memiliki celah keluarnya. Salah satu solusi yang biasanya saya berikan adalah bahwa setiap orang terlindung dalam suatu program jaminan kesehatan, baik dari pemerintah, maupun dalam bentuk asuransi dari swasta. Setidaknya asuransi ini – ketika digunakan secara benar dan sesuai – akan bisa mengganti uang jaminan yang sering menjadi masalah, dan urusan apakah nanti harus menambah lagi, bisa diselesaikan kemudian.

Iklan


Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

About Me

Hello, I’m a general physician by day and a fiction and blog writer by night. I love fantasy and adventure stories with a cup of tea. Whether it’s exploring magical worlds, solving mysteries, or fighting evil forces, I enjoy immersing myself in the power of imagination.

I also like to share my thoughts and opinions on various topics on my blog, where I hope to connect with like-minded readers and writers. If you’re looking for a friendly and creative person to chat with, feel free to message me.

Buletin

%d blogger menyukai ini: