
Belakangan santer isu mengenai akan adanya pendidikan dokter layanan primer (DLP). Di mana dokter-dokter ini akan menjadi ujung tombak di pelayanan primer seperti puskesmas, klinik pratama, hingga dokter praktik mandiri. Lalu apa konfliknya?
Sebelum mengulas secara singkat, saya sendiri dan banyak dokter umum lainnya sudah memiliki sertifikasi dokter layanan primer. Dan tentu saja sertifikasi bukan ijazah, jika ternyata itu yang dimasukkan dalam konteks dokter layanan primer.
Apa bedanya dokter umum dan dokter layanan primer? Dokter umum adalah dokter yang lulus dari fakultas kedokteran dan menguasai kompetensi menangani kasus-kasus umum sebagai disebut dalam kompetensi dokter umum di Indonesia. Sedangkan DLP adalah dokter umum yang sekolah lagi mengambil spesialis/ahli umum (atau dihalusbahasakan sebagai generalis).
Jika ada yang bertanya pada saya, saya terus terang belum memahami apa yang membedakan dokter umum dan dokter ahli umum ini? Sepintas jujur saya akui tidak masuk akal.
Jika melihat alasan mengapa DLP diperlukan. Alasan itu saya rasa sudah bisa dipenuhi oleh kompetensi dokter umum. Tapi mengapa setelah ada banyak dokter umum ternyata kebutuhan akan alasan itu tidak bisa atau sulit terpenuhi? Alasannya saya rasa sederhana, yaitu kurangnya sumber daya manusia – dalam hal ini dokter di layanan primer.
Anda bisa bayangkan ada puluhan bahkan ratusan orang mengantre setiap jam kerja di sebuah puskesmas yang hanya memiliki dua orang dokter. Jangan berbicara masalah preventif, promotif, atau deteksi dini, bahkan sisi kuratif dan edukatif pun sering kali terabaikan.
Kedua pendidikan masyarakat tentang kesehatan rendah. Bayangkan jika orang yang sakit tapi tidak sadar dirinya sakit tidak akan menemui dokter, atau orang yang sakit tapi bisa berobat mandiri berduyun-duyun datang ke dokter. Masyarakat yang belum cukup dewasa memahami masalah kesehatan adalah bahaya laten penurunan kualitas kesehatan sebuah negeri. Untuk hal ini, saya rasa pendidikan kesehatan memerlukan sebuah prioritas besar di kurikulum pendidikan kita. Jika hanya mengandalkan pencetakan dokter, rasa-rasanya kok selama ini belum akan pernah bisa mencukupi ya.
Lalu jika masalah ilmu pengetahuan kedokteran yang selalu berkembang. Sudahlah, kecuali seorang oknum dokter malas belajar sepanjang hayat melalui continuing medical education (CME ), maka mau disekolahkan seperti apapun akan sia-sia saja. Di era informasi elektronik seperti saat ini, jurnal baru mudah diakses, ada banyak aplikasi cerdas yang bisa membantu dokter – dan masih banyak lagi yang dikembangkan, baik di dalam maupun di luar negeri. Yang bisa dilakukan pemerintah saya rasa adalah membantu kemudahan akses ini bagi para dokter (dan juga tentunya tenaga kesehatan lain).
Saya tidak menentang pendidikan berkelanjutan bagi dokter umum, karena itu penting. Namun membuat sekat pemisah di antara hal-hal yang esensinya sama adalah berbahaya. Saya tidak ingin profesi dokter menjadi seperti anggota dewan terhormat, yang meminta tunjangan lebih banyak untuk kinerja yang lebih baik akan menjadi tunjangan semu ketika kinerja tidak berubah; dokter yang dicekoki strata pendidikan semu mungkin bisa bernasib sama.
Untuk kesehatan dan untuk Indonesia, mari kita berintropeksi sejenak mengenai hal ini.
Tinggalkan Balasan