Setahu saya memang BBM non-subsidi, seperti Pertamax harganya selalu fluktuatif – berubah-ubah sesuai harga (entahlah, mungkin) minyak dunia dan produksinya. Dan ini selalu terjadi dari waktu ke waktu.
Tapi mengapa kemudian banyak orang panik (di antara kesimpangsiuran berita)? Termakan kabar palsu (hoax)?
Saya rasa sejak ‘diterbitkannya’ pertalite, maka kini BBM non-subsidi juga memiliki kelas paket ‘murah meriah’, dengan harga yang cukup bersaing dengan BBM bersubsidi premium.
Banyak yang beralih dari BBM jenis premium ke pertalite. Dan menjadi mereka yang sudah tidak disubsidi lagi oleh pemerintah.
Saya ingat dulu pembicaraan ketika masih menjadi mahasiswa dengan sesama teman mahasiswa. Karena kami melihat bahwa kenyataannya banyak BBM bersubsidi ternyata tidak tepat sasaran. Pemilik mobil pun yang dalam catatan adalah kalangan masyarakat mampu menggunakan BBM bersubsidi. Dan hanya sedikit yang ‘rela’ atau ‘eling’ menolak apa yang bukan menjadi hak-nya sebagai masyarakat yang mampu. Tentu saja kita juga bisa menemukan sejumlah tulisan muncul di masa-masa itu yang mengkritisi subsidi BBM membebani keuangan negara dan dinikmati oleh kalangan yang sesungguhnya tidak memerlukan.
Ini bukan tentang apakah negara sanggup memberikan subsidi atau tidak. Namun kami melihat bahwa ini tentang tantangan terhadap semangat kemandirian rakyat. Dan bahwa dana yang berlebih itu bisa dialihkan untuk hal-hal yang lebih berdaya guna.
Dalam pola pandang ini, kami memahami bahwa BBM bersubdi selayaknya bisa ditujukan untuk mereka yang benar memerlukan, bukan mereka yang sekadar menginginkan.
Kembali ke saat ini.
Premium masih tersedia? Iya, premium masih tersedia di beberapa SPBU. Tapi tidak semua. Ini adalah fakta di lapangan. Sehingga ada potensi distribusi relatif tidak merata.
Mengapa tidak tersedia di semua SPBU? Ini menggelitik sebenarnya.
Sepertinya ada suatu mekanisme kontrol di mana setiap SPBU diwajibkan untuk melaporkan penjualan BBM bersubsidi mereka kepada Pertamina. Saya pikir ini mungkin untuk melakukan kontrol apakah BBM bersubsidi tepat sasaran atau tidak. Tentu saja jika ada yang ingin tahu isu ini lebih lanjut, saya tidak dapat menyediakan informasi lebih lanjut.
Apakah kemudian kondisi tersebut membuat ‘enggan’ sebagian SPBU untuk menyediakan BBM bersubsidi oleh karena ‘enggan’ terikat dengan laporan berkala (yang bisa jadi rumit)?
Saya bisa melihat sebagian besar sediaan BBM secara eceran di pinggir jalan saat ini (di wilayah saya tentunya) sangat jarang yang menyediakan BBM bersubsidi, kebanyakan yang menjadi ‘favorit’ adalah pertalite dan pertamax. Saya bertanya-tanya, mungkin ini disebabkan oleh pengetatan penjualan BBM bersubsidi oleh SPBU-SPBU, di mana pembelian dengan jirigen sudah tidak ditemukan bagi para pedagang eceran. Dan memang di SPBU sudah tertempel pengumuman (poster) yang tidak memperkenankan pembelian menggunakan jirigen.
Jika ada yang mengeluh kemudian BBM bersubdi menjadi langka, maka saya rasa itu tidak aneh.
Jika saya menjadi pemilik SPBU (walau tidak pada kenyataannya), saya juga akan memilih bagaimana pasar BBM dan daya beli masyarakat sekitar, dan nilai pasar dari BBM bersubsidi. Jika menyediakan BBM bersubdi mendatangkan lebih banyak pekerjaan dibandingkan hasil dan pasar yang tepat sasaran (pada masyarakat yang memerlukan) juga tidak banyak, maka saya juga akan enggan menyediakan BBM bersubdi.
Nah demikian saja.
Life always has its hardship, running away is not the exact solution.
Tinggalkan Balasan