Saat kecil, Tarzan merupakan salah satu tokoh cerita dan film yang kental di ingatan hingga saat ini, bahkan adaptasinya pada masa itu ke dalam karya-karya lokal tidaklah sedikit. Namun seiring waktu, ikon Tarzan mungkin mulai memudar.
Film the Legend of Tarzan bisa dikatakan membangkitkan sedikit kenangan akan masa-masa lama itu.
Hanya saja, satu-satunya saya yang membuat saya kaget, karena mungkin belum membaca resensinya waktu itu, adalah film ini tidak mengisahkan awal ketika Tarzan kecil dan tumbuh besar di hutan. Namun kisahnya setelah dia pergi dan menetap di Inggris, kemudian karena sebab tertentu, dia bersama istrinya Jane kembali ke Kongo untuk menyelidiki masalah yang mungkin menimpa ‘rumah’-nya.
Film berlatar dasawarsa terakhir abad ke-19 ini meski pun saya berharap ditampilkan petualangan, namun entah kenapa saya merasa justru nuansa dramanya agak kental. Ada romantisme yang tertselubung indah, hingga sedikit adegan ranjang yang tak kentara.
Ini membawa saya ke dalam kisah Tarzan yang tidak pernah saya dengar sebelumnya (mungkin karena saya melewatkan sesuatu).
Menampilkan hanya sedikit hubungan antara Tarzan dan para hewan, sehingga kesannya sebagai ‘king of the jungle’ terasa hambar di sebagian besar jalan cerita. Titik berat kisah berada pada situasi pergulatan psikologis dari tokoh utama, yang mungkin membuat film tampak tidak menarik bagi mereka yang tidak terlalu berminat menikmati drama psikologi.
Bagi saya sendiri, apa yang ditampilkan dalam film the Legend of Tarzan tahun lalu, benar-benar menarik. Setidaknya sebagai film keluarga (tanpa anak kecil), film ini bisa mengisi liburan bersama.
Tinggalkan Balasan