Satu dua hari terakhir menyaksikan berita dan pembaruan kabar di televisi dan media sosial, terbanyak adalah isinya mengenai banjir – terutama di ibukota dan daerah sekitar (penyangga ibukota). Mungkin adalah drama antara tragedi bencana alam dan tragedi kemanusiaan. Bahkan dikabarkan korban nyawa telah berjatuhan.
Tidak hanya di Indonesia, di seluruh dunia, banjir merupakan bencana alam. Tapi untuk kasus Jakarta, saya kadang mengingat kembali bahwa Jakarta tidak terlalu berbeda dengan Belanda dalam hal posisi dengan laut. Bahkan Belanda tercatat dalam sejarah perlu waktu seribu tahun untuk menaklukan banjir.
Saya bukan ahli banjir, tapi bukan berarti saya bolos saat pelajaran terkait geografi, geologi, dan fisika ketika jadi anak sekolah dulu. Sehingga kita menyaksikan pelbagai pendapat yang ‘berseliweran’ di media sosila, saya bisa menalar mana yang memang masuk akal dan mana yang ‘abun’ (omong kosong).
Yang membuat saya sedih adalah, banjir sepertinya kemudian menjadi komoditas politik. Ketika bencana menjadi alat mencari, membenarkan, atau mempertahankan kekuasaan, maka rasanya sulit mempercayai bahwa masih ada kemanusiaan di situ.
Mungkin kita miskin, tidak bisa membangun mekanisme penakluk banjir ala negeri kincir angin. Tapi masa iya kita tidak bisa selesai buang sampah sembarangan? Mengurangi konsumsi plastik? Atau sejenisnya?
Beberapa diskusi di layar kaca oleh para pakar menunjukkan betapa kompleksnya benang kusut konsep penanganan banjir di Jakarta dan sekitarnya saat ini. Tapi yang saya tangkap justru bahwa mungkin mentalitas kita belum siap untuk berkorban demi kebaikan di masa depan.
Sedemikian hingga, mungkin sampai kapapun, kita tak akan pernah punya kemampuan mitigasi bencana banjir di Jakarta sebagaimana di negeri tulip.
Maka, saya pun berdoa, semoga bencana segera terlewati dan mereka yang tertimpa sengsara dapat pulih seperti sedia kala dan bahkan maju lebih jauh lagi.
Tinggalkan Balasan