Belakangan ini mendengarkan kabar mengenai penerapan royalti bagi penggunaan karya musik (lagu) untuk kegiatan penyiaran dan bisnis lainnya cukup banyak diperbincangkan di dunia maya. Terutama kemungkinan akan mematikan sejumlah usaha, salah satunya adalah radio yang pendapatannya makin sedikit dan tidak kuat bayar royalti, bahkan ada kabar tidak sedikit pemilik radio yang hendak menjual usahanya.
Tidakkah ada titik temu dalam permasalahan ini?

Saya memikirkan beberapa kemungkinan jalan keluar, tapi tentu saja ada sesuatu yang lebih besar menghadang.
Pertama, royalti hanya ditujukan bagi penggunaan musik/lagu yang bersifat komersial. Padahal banyak sekali tempat usaha yang memanfaatkan musik atau lagu untuk menambah kenyamanan konsumen mereka. Mulai dari tempat makan/restoran, tempat pijat/spa, sarana transportasi publik, hingga tempat layanan publik seperti di ruang rumah sakit.
Kedua, tidak ada layanan lain yang bisa menyiarkan musik ke masyarakat/publik sebaik media massa elektronik – terutama radio. Kenapa, karena media lain tidak diizinkan untuk penyiaran publik, baik itu mulai dari media digital seperti CD Audi, Kaset, hingga yang berbentuk layanan streaming seperti Spotify, Deezer, YouTube dan sebagainya. Media tersebut hanya diizinkan untuk konsumsi perorangan, bukan untuk disiarkan, jadi Anda tidak boleh memutar Spotify atau YouTube untuk pelanggan rumah makan Anda. Ini berarti Anda juga tidak boleh memutar CD-Audio/MP3 untuk penumpang angkutan Anda, dan lain sebagainya, karena dihalangi oleh izin komersial dari media tersebut.
Ketiga, ini bermakna siaran media massa seperti radio dapat melakukan monopoli penyiaran musik kepada publik. Karena hal yang sama tidak bisa dilakukan oleh media modern lain oleh karena keterbatasan hak siar.
Radio bisa membayar royalti kepada pencipta musik, dan hanya radio yang bisa menyiarkan musik kepada masyarakat baik untuk dikonsumsi secara personal maupun massal. Anda bisa memutar radio di rumah makan atau di dalam bus untuk pelanggan. Hal ini masih masuk akal, kecuali ada aturan lain yang kemudian membatasinya – tapi setahu saya tidak ada. Silakan koreksi jika saya keliru.
Ketika media digital modern merambah ke penyiaran musik bagi pribadi/perorangan, maka radio masih memiliki keunggulan dalam penyiaran publik. Dan ini sebuah pasar yang cukup besar.
Tantangannya adalah bahwa masyarakat Indonesia masih melekat dengan jiwa pembajakan, tidak peduli dengan keringat pencipta karya. Siapa yang akan memastikan bahwa lagu yang diputar di sebuah rumah makan di pinggir jalan atau yang diputar di dalam bus antar kota antar provinsi sudah bayar royalti atau tidak? Razia atau sistem informasi elektronik? Saya ragu itu akan cukup efektif.
Sehingga, saya melihat bahwa radio mungkin tidak akan mati karena royalti, tapi karena masyarakat kita dan pelaku usaha tidak peduli akan royalti itu apa.
Itu cuma musik, kenapa mesti bayar?
Untuk menyelamatkan industri radio, masyarakat sendiri yang pertama-tama harus mengubah pandangan kita terhadap pentingnya karya cipta. Tentu saja radio juga harus berbenah, karena pangsa pasar publik itu tidak seluas pangsa pasar perseorangan.
Ini adalah dekade yang penuh perubahan, jika tidak cepat beradaptasi, kita akan tergerus.
Tinggalkan Balasan