- Pendahuluan
- Metodologi Audit Insiden Keselamatan Pasien
- Pendekatan dan Metodologi Analisis Akar Masalah
- Studi Kasus dan Contoh Nyata Audit Insiden
- Tinjauan Literatur (Literature Review) dan Pembelajaran Global
- Komposisi Tim Investigasi dan Kualifikasi
- Indikator dan Metrik Evaluasi Efektivitas Audit
- Regulasi, Standar dan Framework Internasional
- Tabel Ikhtisar: Langkah-Langkah Audit Insiden Keselamatan Pasien dan Sumber Referensi
- Analisis Kritis dan Tantangan Implementasi
- Kesimpulan
Pendahuluan
Keselamatan pasien merupakan elemen krusial dalam pelayanan rumah sakit modern dan menjadi tolok ukur utama mutu layanan kesehatan. Dalam upaya mewujudkan pelayanan yang aman, rumah sakit di tingkat global maupun nasional menghadapi tantangan insiden keselamatan pasien (IKP) seperti kejadian tidak diharapkan, kesalahan medikasi, atau kejadian sentinel yang dapat berdampak fatal. Berdasarkan laporan World Health Organization (WHO), insiden akibat pelayanan kesehatan yang tidak aman menyumbang 2,6 juta kematian setiap tahun, sementara di Indonesia, pada 2019 tercatat 7.465 kasus insiden, dengan ragam cedera dan kematian sebagai output insiden. Kondisi ini menuntut sistem audit dan penanganan insiden yang komprehensif, terstruktur, dan berbasis evidence untuk menemukan akar masalah (root cause) secara efektif dan mencegah berulangnya insiden serupa.
Penelitian ini merangkum metodologi audit insiden keselamatan pasien, teknik-teknik identifikasi akar masalah yang diakui secara internasional termasuk Root Cause Analysis (RCA), Failure Mode and Effects Analysis (FMEA), Swiss Cheese Model, pendekatan Human Factors Engineering (HFE) dan Human Factors Analysis and Classification System (HFACS), serta kerangka regulasi, pedoman, dan studi kasus nyata di Indonesia maupun negara maju. Laporan ini juga membahas peran komposisi tim investigasi, pelaporan berbasis sistem, indikator evaluasi keefektifan audit, serta rekomendasi pengembangan budaya keselamatan pasien berkelanjutan.
Metodologi Audit Insiden Keselamatan Pasien
Kerangka Dasar Audit Insiden
Audit insiden keselamatan pasien adalah proses sistematis untuk mengevaluasi dan mengidentifikasi faktor-faktor penyebab insiden yang terjadi di fasilitas kesehatan dengan tujuan memperbaiki sistem dan mencegah insiden serupa. Proses ini mencakup pelaporan insiden, analisis data, identifikasi akar masalah, penyusunan rekomendasi, hingga tindak lanjut perbaikan (continuous improvement). Pendekatan audit tidak hanya fokus pada kesalahan individu, melainkan menekankan pada kegagalan sistem, budaya, lingkungan, proses kerja, serta faktor manusia dan organisasi sebagai penyebab utama kegagalan patient safety.
Audit internal dan eksternal diatur melalui regulasi nasional seperti Permenkes No. 11 Tahun 2017 mengenai pelaporan insiden yang harus dilakukan dalam waktu 2×24 jam, serta secara internasional melalui Joint Commission International, ISO 31000, ISO 9001, dan WHO Patient Safety Incident Response Framework (PSIRF). Setiap rumah sakit juga didorong untuk menerapkan sistem pelaporan insiden elektronik (SIM-RS), serta mengadopsi kerangka Plan-Do-Study-Act (PDSA) dalam mekanisme audit berkelanjutan.
Tahapan Audit Insiden
Berikut adalah tahapan utama yang menjadi fondasi metodologi audit insiden keselamatan pasien, yang telah diadopsi berbagai rumah sakit di dunia, termasuk rumah sakit di Indonesia yang mengacu pada pedoman KKP-RS maupun standar WHO:
- Identifikasi Insiden:
Segera setelah insiden terdeteksi, tim PMKP (Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien) atau KKP-RS menerima dan mendokumentasikan insiden dalam sistem pelaporan internal maupun eksternal. Laporan mencakup deskripsi singkat, waktu dan tempat kejadian, serta data pendukung seperti rekam medis dan kronologi . - Pembentukan Tim Investigasi:
Audit pada insiden serius membutuhkan tim investigasi yang terdiri dari para ahli multidisiplin yang kredibel, termasuk profesional klinis senior, ahli kualitas dan keselamatan, serta anggota eksternal untuk menjaga objektivitas. - Pengumpulan Data:
Data dikumpulkan melalui observasi lapangan, wawancara saksi dan pelaku terlibat, telaah dokumen dan rekam medis, serta bukti pendukung (foto, video, hasil lab, dsb). - Pemetaan Kronologi Insiden:
Membuat narasi kronologis, timeline tabular, atau grid orang-waktu untuk memahami urutan kejadian dan peran tiap individu. - Analisis Akar Masalah (Root Cause Identification):
Menggunakan satu atau kombinasi alat/teknik seperti RCA, FMEA, Swiss Cheese Model, HFACS, fishbone diagram, 5 Whys, analisis penghalang, atau change analysis untuk mengurai penyebab utama di balik insiden. - Formulasi Rekomendasi dan Tindak Lanjut:
Berdasarkan hasil analisis akar masalah, disusun rekomendasi sistemik yang kemudian diverifikasi dan dilakukan implementasi serta monitoring efektivitasnya. - Evaluasi Efektivitas dan Umpan Balik:
Pasca implementasi, dilakukan audit ulang, evaluasi indikator dan follow up untuk memastikan tindakan perbaikan benar-benar menurunkan risiko dan tidak terjadi pengulangan kasus serupa.
Ringkasan Tahapan Audit dan Sumber Referensinya
| Langkah Utama | Deskripsi | Sumber Referensi |
|---|---|---|
| Identifikasi Insiden | Deteksi dan pelaporan insiden, pengelompokan menurut jenisnya | KKP-RS, WHO, JCI, Permenkes 11/2017, NHS, PA-PSRS |
| Pembentukan Tim | Tim multidisiplin dengan keahlian audit, independen, profesional | JCI, Arjaty RCA, WHO, PSIRF |
| Pengumpulan Data | Observasi, telaah dokumen, wawancara, kronologi, evidence | WHO, RCA, FMEA, FISHBONE, HFACS, PSIRF, ISO 31000 |
| Pemetaan Kronologi | Narasi, timeline tabular, time-person grid, diagram peran | Arjaty RCA, WHO, JCI, PSIRF |
| Analisis Akar Masalah | RCA, FMEA, Fishbone, 5 Whys, Swiss Cheese, HFACS, Barrier Analysis | JCI, IHI, BMJ, ISO 31000, PSIRF |
| Formulasi Rekomendasi | Tindakan korektif preventif, rencana kerja | JCI, IHI, WHO, PSIRF |
| Implementasi dan Evaluasi | Implementasi perbaikan, monitoring indikator, audit ulang | JCI, IHI, WHO, NHS, PA-PSRS |
—
Pendekatan dan Metodologi Analisis Akar Masalah
Root Cause Analysis (RCA)
RCA adalah teknik yang paling banyak digunakan di rumah sakit di seluruh dunia—dan menjadi syarat dalam kebijakan Joint Commission International (JCI) dan National Patient Safety Foundation (NPSF)—untuk menelusuri hingga ke akar (root) dari masalah, bukan sebatas penyebab langsung saja.
Proses RCA dilakukan secara retrospektif setelah insiden terjadi, menggunakan tim multidisipliner yang netral, bertugas menganalisis sistem kerja, proses, faktor individu, dan lingkungan sekitar. RCA terdiri dari beberapa tahap berikut:
- Menetapkan fakta dan data kronologis insiden;
- Identifikasi immediate/proximate cause sebagai penyebab langsung;
- Identifikasi underlying/root cause yaitu faktor sistemik (latent conditions) dan faktor organisasi—apakah dalam desain sistem, kebijakan, prosedur, supervisi, sumber daya, atau budaya kerja;
- Analisis faktor manusia (kelelahan, stress, pelatihan, kompetensi, motivasi, dsb);
- Formulasi tindakan korektif dan tindak lanjut.
Kelebihan RCA adalah kemampuannya mendeteksi kegagalan pada tingkat sistem, membangun budaya pembelajaran dari kesalahan, dan memperkuat sistem pelaporan insiden. Namun, studi audit di negara maju (AS, Prancis, Hong Kong) menunjukkan implementasi RCA masih memerlukan penguatan training dan supervisi agar solusi yang dihasilkan betul-betul mencegah pengulangan insiden. Terdapat kelemahan berupa kecenderungan menghasilkan rekomendasi yang “lemah” jika proses analisis tidak menggali seluruh penyebab laten (latent conditions).
Failure Mode and Effects Analysis (FMEA)
Berbeda dengan RCA yang reaktif, FMEA adalah metode prospektif, digunakan untuk memetakan dan menilai potensi kegagalan sebelum insiden terjadi. Pendekatan ini berfokus pada identifikasi mode kegagalan (failure modes), penyebab potensial (failure causes), dan efek yang mungkin ditimbulkan (failure effects). FMEA biasanya dilakukan oleh tim multidisiplin dan terdiri dari tahapan:
- Identifikasi proses yang berisiko tinggi;
- Brainstorming kegagalan potensial tiap langkah proses;
- Penilaian risiko berdasar kemungkinan, deteksi, dan tingkat keparahan (Risk Priority Number – RPN);
- Rekomendasi modifikasi proses dan redesign untuk mengurangi risiko.
FMEA sangat dianjurkan untuk proses baru atau rentan gagal di area farmasi, penanganan pasien kritis, atau sistem teknologi informasi rumah sakit. Diakui oleh IHI (Institute for Healthcare Improvement) dan JCI sebagai salah satu best practice.
Swiss Cheese Model
Model Swiss Cheese dari James Reason digunakan secara luas untuk menganalisis insiden dengan menekankan gagasan bahwa kecelakaan bukanlah akibat satu kegagalan, melainkan akumulasi kegagalan berlapis—baik pada level sistem (latent conditions) maupun level individu (active failures). Setiap lapisan “keju” merepresentasikan pertahanan—kebijakan, pelatihan, perlengkapan, SOP, lingkungan—yang masing-masing pasti memiliki “lubang” (kekurangan).
Insiden hanya terjadi jika semua lubang (“holes”) pada tiap lapisan tersebut sejajar dan tembus—mengindikasikan kegagalan multi-level. Swiss Cheese Model mendorong evaluasi menyeluruh, memperbaiki kelemahan bukan hanya pada manusia, tetapi juga sistem dan budaya organisasi.
Human Factors Engineering dan HFACS
Analisis human factor menelaah secara sistematis interaksi antara manusia, sistem kerja, alat, dan lingkungan. Human Factor Analysis and Classification System (HFACS) adalah taksonomi untuk mengidentifikasi kegagalan pada empat lapisan: organizational influences, unsafe supervision, precondition for unsafe acts, dan unsafe acts. HFACS telah diadopsi di banyak rumah sakit untuk menganalisis kesalahan medikasi, transfusi, atau prosedur ICU.
5 Whys, Fishbone Diagram, dan Tools Lainnya
Teknik 5 Whys (Pertanyaan Lima Kali “Mengapa?”) efektif untuk pendalaman akar masalah hingga keluar dari lingkaran “symptom” dan “proximate cause”. Fishbone diagram (diagram sebab-akibat) memetakan kategori masalah—manusia, metode, mesin, material, lingkungan, kebijakan—dan mencari detail sub-penyebab yang terkait.
WHO Patient Safety Incident Response Framework (PSIRF)
Framework ini diperkenalkan NHS England sejak 2022 sebagai pendekatan sistem-pembelajaran (system-based learning), menggantikan bias culture of blame yang kerap berlaku pada metode investigasi insiden tradisional. PSIRF memuat prinsip keterlibatan pasien, keluarga dan staf, proporsionalitas dalam respons, serta mengadopsi variasi alat investigasi sesuai tipe insiden.
Studi Kasus dan Contoh Nyata Audit Insiden
Studi Kasus di Indonesia
1. RSUD Bendan Pekalongan (2020): Audit pelaporan insiden menggunakan SIM-RS dan PDSA menghasilkan pelaporan tepat waktu (100%) dan tercatat 61 insiden dalam setahun (KNC 77%, KTC 19%, KTD 3%). Evaluasi menggunakan matriks grading dan PDSA membantu mengefektifkan penyelesaian masalah.
2. RSUD Dr. Muhammad Zein Painan (2022): Laporan insiden triwulan menekankan pada grading risiko dan investigasi sederhana; menjadi contoh hospital benchmarking di Indonesia.
3. Studi RSUD Kabupaten Sidoarjo: Penerapan FMEA pada obat, pelayanan operasi, serta risiko pasien jatuh, mampu mengidentifikasi risiko sistemik dan memprioritaskan intervensi berbasis skor RPN.
4. RS Jiwa Atma Husada Mahakam: FMEA dikombinasikan dengan analisa akar masalah dan evaluasi kurun waktu pelaksanaan program PMKP.
Studi Kasus Internasional
1. Pennsylvania Patient Safety Reporting System (PA-PSRS), AS: Setiap tahun, lebih dari 287 ribu laporan insiden diterima, dengan 20% berupa insiden serius. Jenis yang paling umum adalah error related to procedure dan medication error.
2. National Health Service (NHS), Inggris: Implementasi PSIRF dan penggunaan sistem LFPSE (Learning From Patient Safety Events) memastikan keterlibatan pasien, keluarga, dan staf dalam proses investigasi dan pembelajaran dari setiap insiden, dengan strategi pembenahan sistem dan tidak sekadar mencari pihak yang “bersalah”.
3. Experience Feedback Committees (Prancis): Tim EFC di rumah sakit berbasis RCA melakukan pertemuan bulanan menelaah prioritas insiden untuk kemudian didesain tindakan korektif. EFC terbukti dapat meningkatkan budaya keselamatan walau dampak jangka panjang masih perlu penelitian lebih lanjut.
4. Studi RCA di Australia dan Norwegia: Studi-studi di Australia dan Norwegia menekankan pentingnya tindak lanjut rekomendasi RCA, keterlibatan penuh manajemen, dan dukungan psikologis untuk staf akibat beban emosional dari proses investigasi.
Tinjauan Literatur (Literature Review) dan Pembelajaran Global
Sumber dan Metodologi Literatur Review
Literature review pada bidang audit insiden keselamatan pasien memanfaatkan database jurnal terindeks Scopus, Pubmed, SAGE, Science Direct, serta repository nasional mau pun laporan organisasi internasional (WHO, NHS, JCI, IHI). Penggunaan SLR (systematic literature review) dan integrative review telah menjadi gold-standard untuk memastikan ketepatan, relevansi, dan kekomprehensifan referensi.
Temuan Utama Kajian Literatur
- Keterlibatan Multistakeholder:
Sukses audit sangat dipengaruhi oleh keterlibatan pemangku kepentingan—klinis, manajemen, auditor, hingga pasien dan keluarga pada proses investigasi dan follow-up. - Kekuatan Budaya Keselamatan:
Audit (terutama RCA) akan jauh lebih efektif bila didukung oleh budaya organisasi yang mendorong no naming, no blaming, no shaming serta fasilitasi pembelajaran dari kesalahan. - Kebutuhan Umpan Balik dan Evaluasi Berkelanjutan:
Literature menunjukkan banyak hasil RCA menghasilkan rekomendasi lemah atau tidak sistemik, sehingga monitoring dan audit berkelanjutan serta feedback kepada pelapor menjadi krusial. - Penguatan Integrasi Risk Management:
Penggunaan kerangka ISO 31000 atau ISO 9001 menegaskan kebutuhan integrasi manajemen risiko dalam sistem audit insiden—mulai dari identifikasi risiko, analisis, evaluasi, hingga monitoring dan pelaporan berkala. - Peningkatan Kapasitas Tim Audit:
Pelatihan intensif, pelibatan interprofesi, dan keberadaan guideline (RCF, FMEA, HFACS, dsb) menjadi kunci dalam memperkuat efektivitas audit dan hasil temuannya. - Dampak Positif Audit Internal:
Studi di Belanda menemukan audit internal berbasis PDCA/ PDSA yang konsisten mampu menurunkan frekuensi adverse event dari 36,1% menjadi 31,3% dan PAE (preventable adverse event) dari 5,5% menjadi 3,6%.
Komposisi Tim Investigasi dan Kualifikasi
Efektivitas audit sangat ditentukan oleh struktur, model kerja, dan kualifikasi tim investigasi. Joint Commission International dan guideline WHO merekomendasikan tim audit terdiri dari setidaknya 3–6 orang yang representatif dari berbagai profesi, baik dari unit terkait maupun pihak luar untuk menjaga objektivitas.
Tim audit yang baik mencakup:
- Pimpinan Audit yang memahami sistem dan prosedur, serta memiliki otorisasi dalam pengambilan keputusan.
- Ahli klinis senior dan manajer kualitas—memiliki pengalaman di kasus aduan dan pejabat yang memahami konteks lokasi kejadian.
- Staf bidang terkait (farmasi/keperawatan/laboratorium/dll)
- Tim IT atau analis data untuk audit sistem pelaporan digital
- Pasien/keluarga (jika relevan)
- Anggota eksternal, seperti auditor independen profesional atau konsultan kesehatan eksternal
Standar kompetensi yang diwajibkan:
- Training RCA/FMEA/HFMEA/HFACS & sertifikasi terkait,
- Pemahaman pedoman audit nasional/internasional,
- Penguasaaan teknik analisis data dan evidence-based decision making,
- Kemampuan komunikasi dan fasilitasi diskusi investigatif.
Indikator dan Metrik Evaluasi Efektivitas Audit
Evaluasi efektivitas audit pada proses penemuan akar masalah insiden keselamatan pasien dilakukan menggunakan beragam indikator kualitatif dan kuantitatif.
Beberapa indikator kinerja kunci (Key Performance Indicator – KPI) meliputi:
- Tingkat ketepatan waktu pelaporan insiden (≥ 95% dilaporkan 2×24 jam);
- Proporsi rekomendasi audit yang diimplementasikan (target ≥80%);
- Penurunan tren insiden berulang pada tipe insiden yang diaudit;
- Peningkatan tingkat pelaporan insiden (sebagai fungsi budaya open-reporting);
- Penurunan adverse event/PAE;
- Peningkatan skor indeks budaya keselamatan pasien (hasil survei budaya);
- Evaluasi RPN (Risk Priority Number) pada FMEA sebelum dan sesudah intervensi;
- Umpan balik dan kepuasan pasien serta staf sesudah audit.
Regulasi, Standar dan Framework Internasional
Berbagai organisasi profesi, badan akreditasi dan regulator telah mengembangkan standar, pedoman, dan framework yang menjadi rujukan dalam audit dan analisis akar masalah insiden keselamatan pasien, antara lain:
- Joint Commission International (JCI): Menetapkan 21 langkah RCA dan mewajibkan rumah sakit akreditasi melakukan investigasi pada setiap sentinel event.
- WHO—Patient Safety Incident Response Framework (PSIRF): Menekankan pada learning system, keterlibatan stakeholder, dan penggunaan berbagai metode investigasi secara proporsional dan sistemik.
- Institute for Healthcare Improvement (IHI): Menawarkan toolkit RCA2, FMEA, 5 Whys, Action Hierarchy, dan PDCA/PDSA.
- ISO 31000:2018—Risk Management: Menjadi dasar integrasi manajemen risiko dalam audit insiden dan diadaptasi oleh RS di Indonesia melalui Permenkes No. 25/2019 dan standar akreditasi nasional.
- ISMP Medication Safety Self Assessment®: Referensi global praktik terbaik dalam mitigasi error medikasi berbasis pelaporan dan pembelajaran sistemis.
- National Benchmarking (PA-PSRS, NHS England, Australia Sentinel Event Reporting): Menyediakan akses data insiden, tren, dan best practice audit yang relevan untuk pembelajaran lintas negara.
Tabel Ikhtisar: Langkah-Langkah Audit Insiden Keselamatan Pasien dan Sumber Referensi
| Langkah Kunci | Pendekatan/Teknik | Sumber Panduan/Penelitian Wahid |
|---|---|---|
| Identifikasi Insiden | Laporan insiden, SIM-RS, wawancara | WHO, KKP-RS, PA-PSRS, Permenkes, NHS |
| Pembentukan Tim | Tim multi-profei, pelatihan khusus | JCI, RCA Guide, PSIRF, Joint Commission |
| Pengumpulan Data | Observasi, rekam medis, wawancara | RCA2, PSIRF, FMEA, HFACS |
| Pemetaan Kronologi | Tabular Timeline, Time-Person Grid | JCI, Fishbone, RCA, FMEA |
| Analisis Akar Masalah | RCA, FMEA, Fishbone, Swiss Cheese, 5 Whys, HFACS | IHI, JCI, WHO, BMJ, ISO 31000, NPSF |
| Rekomendasi & Perbaikan | Tindakan korektif, redesign proses | IHI Action Hierarchy, RCA2, FMEA |
| Implementasi & Evaluasi | Audit ulang, metrik outcome, feedback | JCI, WHO, NHS, ISO 31000, BMJ |
Analisis Kritis dan Tantangan Implementasi
Hambatan Umum di Fasilitas Kesehatan
- Budaya Menyalahkan (Culture of Blame):
Masih banyak instansi dan staf yang ‘takut’ melaporkan insiden karena khawatir terkena sanksi, sehingga akuntabilitas proses audit terganggu. - Keterbatasan Kapasitas Tim/SDM:
Kurangnya pelatihan dan pengalaman tim investigasi menyebabkan identifikasi akar masalah tidak menyeluruh, menghasilkan rekomendasi lemah dan tidak berdampak jangka panjang. - Tantangan Logistik & Sistem Informasi:
Formulir pelaporan manual, kurangnya sistem digital, ketidaklengkapan data, dan keterlambatan laporan menyebabkan bias data dan kesalahan identifikasi masalah. - Kurang Integrasi Manajemen Risiko:
Audit kadang dikerjakan terpisah dari kerangka manajemen risiko organisasi, menimbulkan gap antara hasil audit dengan pengambilan keputusan strategis rumah sakit. - Variasi Implementasi Standar:
Antara rumah sakit dan antar negara, masih terdapat variasi pada penetapan threshold implementasi RCA/FMEA, keterlibatan pasien, dan tindak lanjut hasil audit.
Solusi, Rekomendasi, dan Best Practice
- Fasilitasi pelatihan intensif dan sertifikasi bagi tim audit dan manajemen risiko (RCA/FMEA/HFACS/PSIRF) sekaligus sosialisasi audit no-blame, learning-based, serta pemutakhiran regulasi internal.
- Integrasi sistem pelaporan digital, pengelolaan data insiden berbasis SIM-RS dan dashboard pemantauan insiden.
- Mendukung pembelajaran kolektif dari insiden melalui audit terbuka, keterlibatan pasien dan keluarga, serta audit eksternal untuk benchmarking.
- Kolaborasi lintas profesi dengan pendekatan RCA–FMEA–HFACS untuk mencapai gambaran akar masalah sistemik yang lebih luas dan prevensi berulangnya insiden.
- Implementasi budaya safety berkelanjutan, pelatihan interprofesional, audit internal periodik, dan survey budaya keselamatan pasien.
- Penguatan manajemen risiko rumah sakit mengacu pada ISO 31000, risk register hospital, dan kontrol maturitas SPIP secara berkala.
Kesimpulan
Audit insiden keselamatan pasien yang efektif tidak hanya memerlukan kerangka prosedural yang baku, tetapi juga transformasi budaya, pemanfaatan teknologi informasi, dan integrasi manajemen risiko secara menyeluruh. Proses investigasi akar masalah seperti RCA, FMEA, HFACS, dan Swiss Cheese Model mendukung pendekatan sistemik yang tidak menyalahkan individu, tetapi fokus pada perubahan sistem dan pencegahan kejadian berulang. Optimalisasi audit diwujudkan melalui keterlibatan multidisiplin, pelatihan, monitoring berkelanjutan, pembelajaran lintas praktik serta adaptasi terhadap regulasi dan standar global.
Panduan, laporan audit, serta best practice dari negara maju (NHS-UK, JCI, PA-PSRS-USA, Australia) dan Indonesia sendiri menunjukkan bahwa peningkatan berkelanjutan dalam audit insiden keselamatan pasien dapat dicapai bila semua elemen—manajemen, klinis, auditor, pasien, dan regulator—bersinergi dalam satu arah: menuju zero harm, learning system, dan patient-centered safety culture.

Tinggalkan komentar