Apa Itu Akreditasi Rumah Sakit?
Akreditasi rumah sakit merupakan suatu pengakuan yang diberikan kepada rumah sakit setelah dinilai telah memenuhi standar pelayanan yang telah ditetapkan. Bayangkan akreditasi sebagai “rapor” bagi rumah sakit yang menunjukkan bahwa pelayanan yang diberikan kepada pasien sudah memenuhi standar mutu dan keselamatan yang baik.
Di Indonesia, akreditasi rumah sakit menggunakan standar yang disebut STARKES (Standar Akreditasi Kesehatan) 2023, yang merupakan pembaruan dari SNARS (Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit) versi sebelumnya. Akreditasi ini bersifat wajib bagi seluruh rumah sakit berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2020.
Apa Itu PPRA?
PPRA adalah singkatan dari Program Pengendalian Resistensi Antimikroba. Untuk memahaminya, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan resistensi antimikroba.
Antimikroba, terutama antibiotik, adalah obat yang digunakan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi. Namun, jika antibiotik digunakan secara tidak tepat—misalnya dosisnya kurang, durasinya terlalu singkat, atau digunakan tanpa indikasi yang jelas—maka bakteri dapat menjadi “kebal” terhadap antibiotik tersebut. Kondisi inilah yang disebut resistensi antimikroba.
Resistensi antimikroba merupakan ancaman serius bagi kesehatan global karena dapat menyebabkan infeksi yang sulit diobati, meningkatkan biaya perawatan, memperpanjang masa rawat inap, bahkan meningkatkan risiko kematian pasien.
Oleh karena itu, PPRA hadir sebagai upaya sistematis dan terstruktur untuk mengendalikan penggunaan antibiotik agar tetap efektif dan mencegah timbulnya bakteri yang resisten.
Mengapa PPRA Menjadi Bagian dari Akreditasi?
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kesehatan telah menetapkan PPRA sebagai program prioritas nasional sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015. Program ini kemudian diintegrasikan ke dalam standar akreditasi rumah sakit, khususnya pada standar PKPO (Pelayanan Kefarmasian dan Penggunaan Obat) nomor 8 dalam STARKES 2023.
Dengan dimasukkannya PPRA ke dalam standar akreditasi, maka setiap rumah sakit yang ingin mendapatkan atau mempertahankan status akreditasinya wajib melaksanakan program ini dengan baik dan terukur.
Komponen Penilaian PPRA dalam Akreditasi
Sebagai staf rumah sakit, Anda perlu memahami bahwa penilaian PPRA dalam akreditasi terdiri dari empat komponen utama. Mari kita bahas satu per satu dengan bahasa yang sederhana.
Komponen 1: Rumah Sakit Harus Menyelenggarakan PPRA Sesuai Peraturan
Komponen pertama ini menekankan bahwa rumah sakit tidak boleh hanya “pura-pura” menjalankan PPRA, tetapi harus benar-benar melaksanakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku, yaitu Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015.
Ini berarti rumah sakit harus memiliki komitmen penuh dari jajaran direksi hingga pelaksana di lapangan untuk menjalankan program ini secara konsisten dan berkelanjutan.
Komponen 2: Regulasi Internal Harus Tersedia
Rumah sakit harus memiliki aturan internal yang jelas untuk menjalankan PPRA. Regulasi ini meliputi:
Kebijakan PPRA: Surat keputusan dari Direktur rumah sakit yang menyatakan komitmen pelaksanaan PPRA.
Panduan Pengobatan Antibiotik: Buku panduan yang berisi pedoman kapan antibiotik boleh diberikan, jenis antibiotik apa yang sesuai untuk infeksi tertentu, berapa dosisnya, dan berapa lama harus diberikan.
Pembentukan Tim/Komite PPRA: Surat keputusan yang menunjuk siapa saja yang menjadi anggota tim PPRA beserta tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Standar Prosedur Operasional (SPO): Petunjuk teknis langkah demi langkah tentang bagaimana melaksanakan berbagai kegiatan PPRA.
Dokumen-dokumen ini penting karena akan menjadi acuan bagi seluruh staf dalam menjalankan program dan juga akan diperiksa oleh surveyor akreditasi.
Komponen 3: Program Kerja PPRA Harus Disusun dan Dilaksanakan
Ini adalah komponen yang paling substantif karena berisi kegiatan-kegiatan konkret yang harus dilakukan. Program kerja PPRA terdiri dari lima pilar utama:
Pilar 1: Peningkatan Pemahaman dan Kesadaran
Semua orang di rumah sakit—mulai dari dokter, perawat, farmasis, staf administrasi, hingga pasien dan keluarganya—perlu memahami pentingnya penggunaan antibiotik secara bijak.
Caranya melalui:
- Pelatihan berkala untuk tenaga kesehatan
- Sosialisasi kepada staf non-medis
- Edukasi kepada pasien dan keluarga tentang bahaya penggunaan antibiotik yang tidak tepat
Contoh sederhananya: pasien sering meminta antibiotik untuk batuk pilek biasa yang sebenarnya disebabkan oleh virus (bukan bakteri). Tugas kita adalah mengedukasi bahwa antibiotik tidak efektif untuk virus dan justru dapat menimbulkan resistensi jika digunakan tanpa indikasi yang tepat.
Pilar 2: Optimalisasi Penggunaan Antimikroba Melalui Penatagunaan Antimikroba (PGA)
Penatagunaan Antimikroba atau PGA adalah strategi untuk memastikan antibiotik digunakan dengan tepat. Beberapa strategi yang diterapkan antara lain:
Pengelompokan Antibiotik: Antibiotik dibagi menjadi dua kelompok—yang bebas digunakan (non-restricted) dan yang harus mendapat persetujuan khusus (restricted). Antibiotik lini pertama biasanya bebas, sementara antibiotik spektrum luas atau antibiotik cadangan harus mendapat persetujuan dari konsultan penyakit infeksi atau tim PPRA.
Penggunaan Spektrum Sempit: Prinsipnya adalah gunakan antibiotik yang paling spesifik untuk bakteri target, bukan langsung menggunakan antibiotik spektrum luas yang dapat membunuh banyak jenis bakteri sekaligus.
Streamlining/De-eskalasi: Jika pasien awalnya diberikan antibiotik spektrum luas karena kondisi kritis, setelah hasil kultur dan uji kepekaan keluar, antibiotik harus diganti dengan yang lebih spesifik dan spektrum sempit.
Automatic Stop Order: Pemberian antibiotik tidak boleh berlangsung terus-menerus tanpa evaluasi. Harus ada batas waktu tertentu (misalnya 3-5 hari) untuk melakukan evaluasi apakah antibiotik perlu dilanjutkan atau dihentikan.
Pilar 3: Surveilans Penggunaan Antimikroba
Surveilans artinya memantau atau mengawasi. Dalam konteks PPRA, kita perlu memantau berapa banyak dan bagaimana antibiotik digunakan di rumah sakit.
Ada dua jenis surveilans:
Surveilans Kuantitatif: Menghitung berapa banyak antibiotik yang digunakan dalam periode tertentu. Metode yang umum digunakan adalah DDD (Defined Daily Dose) per 100 hari rawat. Dengan cara ini, kita bisa mengetahui apakah penggunaan antibiotik di rumah sakit meningkat atau menurun dari waktu ke waktu.
Surveilans Kualitatif: Menilai apakah penggunaan antibiotik sudah tepat atau tidak. Salah satu metode yang digunakan adalah metode Gyssens, yaitu mengkaji kasus per kasus apakah pemilihan antibiotik, dosis, cara pemberian, dan durasi pengobatan sudah sesuai dengan pedoman.
Pilar 4: Surveilans Resistensi Antimikroba
Selain memantau penggunaan antibiotik, kita juga harus memantau pola resistensi bakteri di rumah sakit. Caranya adalah dengan:
Pemeriksaan Kultur dan Uji Kepekaan: Laboratorium mikrobiologi melakukan pemeriksaan untuk mengidentifikasi jenis bakteri penyebab infeksi dan menguji kepekaannya terhadap berbagai antibiotik.
Penyusunan Antibiogram: Data dari kultur dan uji kepekaan dikumpulkan dan dianalisis untuk membuat peta pola kepekaan bakteri di rumah sakit. Antibiogram ini diperbaharui secara berkala (biasanya setiap 6 bulan atau 1 tahun) dan digunakan sebagai acuan untuk memilih antibiotik empirik.
Monitoring MDRO (Multi-Drug Resistant Organism): Memantau munculnya bakteri yang resisten terhadap banyak jenis antibiotik, misalnya MRSA (Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus) atau bakteri penghasil ESBL (Extended-Spectrum Beta-Lactamase).
Pilar 5: Peningkatan Mutu Tata Laksana Infeksi Melalui FORKKIT
FORKKIT adalah singkatan dari Forum Kajian Kasus Infeksi Terintegrasi. Ini adalah forum pertemuan rutin yang melibatkan berbagai disiplin ilmu—dokter klinisi, apoteker, mikrobiolog, spesialis penyakit infeksi, dan perawat—untuk membahas kasus-kasus infeksi yang kompleks atau bermasalah.
Contohnya: seorang pasien dengan sepsis yang sudah mendapat berbagai antibiotik tetapi tidak ada perbaikan. Dalam FORKKIT, tim akan mendiskusikan kemungkinan penyebabnya—apakah pemilihan antibiotiknya kurang tepat, apakah ada sumber infeksi yang belum diatasi, apakah ada faktor penyulit lain—dan merumuskan rekomendasi pengelolaan yang lebih baik.
FORKKIT juga berfungsi sebagai media pembelajaran bagi seluruh staf untuk meningkatkan kompetensi dalam mengelola kasus infeksi.
Komponen 4: Pelaporan Pelaksanaan Program
Komponen terakhir adalah kewajiban rumah sakit untuk membuat laporan berkala tentang pelaksanaan PPRA. Laporan ini mencakup:
Laporan Kegiatan Pelatihan dan Sosialisasi: Dokumentasi pelatihan apa saja yang sudah dilakukan, siapa pesertanya, kapan dilaksanakan, dan apa hasilnya.
Laporan Surveilans Penggunaan Antibiotik: Data kuantitatif (DDD) dan kualitatif (hasil evaluasi metode Gyssens) yang menunjukkan tren penggunaan antibiotik di rumah sakit.
Laporan Surveilans Resistensi: Data antibiogram dan jumlah kasus MDRO yang ditemukan.
Laporan FORKKIT: Dokumentasi kasus-kasus yang dibahas, rekomendasi yang diberikan, dan tindak lanjutnya.
Laporan-laporan ini akan diperiksa oleh surveyor akreditasi untuk memastikan bahwa program PPRA tidak hanya ada di atas kertas, tetapi benar-benar berjalan dan memberikan dampak nyata.
Siapa Saja yang Terlibat dalam Tim PPRA?
PPRA bukan hanya tanggung jawab satu orang atau satu unit, tetapi merupakan kerja sama tim yang melibatkan berbagai profesi. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 8 Tahun 2015 dan SNARS, tim PPRA minimal harus terdiri dari:
- Dokter Klinisi: Perwakilan dari berbagai bidang spesialisasi (bedah, penyakit dalam, anak, dll.) yang memahami praktik pemberian antibiotik di lapangan.
- Perawat: Sebagai pelaksana yang memberikan antibiotik kepada pasien dan melakukan monitoring efek samping.
- Apoteker/Farmasis: Berperan dalam meracik, menyiapkan, dan mendistribusikan antibiotik, serta melakukan pemantauan penggunaan obat.
- Staf Laboratorium Mikrobiologi: Melakukan pemeriksaan kultur, uji kepekaan, dan menyusun antibiogram.
- Komite/Tim PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi): Berkolaborasi karena pencegahan infeksi dan pengendalian resistensi antimikroba saling berkaitan erat.
- Komite/Tim Farmasi dan Terapi: Terlibat dalam penyusunan formularium dan kebijakan penggunaan obat, termasuk antibiotik.
Sebagai staf baru, Anda mungkin akan terlibat dalam salah satu atau beberapa kegiatan PPRA sesuai dengan posisi dan tugas Anda. Yang terpenting adalah memahami bahwa PPRA adalah tanggung jawab bersama untuk mencegah ancaman resistensi antimikroba yang dapat membahayakan pasien kita.
Penutup
Akreditasi dengan standar STARKES 2023 memberikan kerangka kerja yang jelas bagi rumah sakit untuk menjalankan PPRA secara sistematis dan terukur. Keempat komponen penilaian—penyelenggaraan sesuai regulasi, ketersediaan regulasi internal, pelaksanaan program kerja, dan pelaporan—merupakan satu kesatuan yang saling mendukung.
Keberhasilan PPRA tidak hanya akan meningkatkan status akreditasi rumah sakit, tetapi yang lebih penting adalah memberikan manfaat nyata bagi pasien melalui penggunaan antibiotik yang lebih bijak, pencegahan resistensi antimikroba, dan peningkatan keselamatan pasien secara keseluruhan.
Sebagai bagian dari keluarga besar rumah sakit, kontribusi Anda—sekecil apapun—sangat berarti dalam menyukseskan program ini.
Dapatkan bagan interaktif untuk tulisan ini di Artefak Claude.

Tinggalkan komentar