27 Desember 2025
Setiap tanggal 27 Desember, dunia memperingati Hari Kesiapsiagaan Epidemi Internasional (International Day of Epidemic Preparedness), yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB pada 7 Desember 2020 sebagai respons terhadap pandemi COVID-19 (TRVST United Nations). Peringatan ini bukan sekadar seremonial, tetapi panggilan untuk bertindak: apakah kita siap menghadapi ancaman epidemi berikutnya?
Mengapa Kesiapsiagaan Epidemi Itu Penting?
Data WHO menunjukkan bahwa pandemi COVID-19 telah menginfeksi 776 juta orang dan menyebabkan 7 juta kematian secara langsung. Sejak 1959, HIV/AIDS telah menginfeksi lebih dari 88 juta orang dan merenggut 42 juta nyawa. Wabah SARS pada 2003 saja menelan biaya ekonomi global sekitar $54 miliar dalam satu tahun. Pandemi influenza 1918 menginfeksi sepertiga populasi dunia dan menyebabkan sekitar 50 juta kematian (TRVST).
Penyakit infeksi dan epidemi besar memiliki dampak menghancurkan pada kehidupan manusia, merugikan pembangunan sosial dan ekonomi jangka panjang. Krisis kesehatan global mengancam sistem kesehatan yang sudah terbebani, mengganggu rantai pasokan global, dan menyebabkan kehancuran yang tidak proporsional terhadap mata pencaharian masyarakat, termasuk perempuan dan anak-anak, serta ekonomi negara-negara termiskin dan paling rentan (United Nations).
Yang lebih mengkhawatirkan: lebih dari 100 wabah terjadi di seluruh dunia setiap hari, dan dapat menyebar ke seluruh dunia hanya dalam 36 jam karena meningkatnya perjalanan global (TRVST). Tanpa perhatian internasional yang memadai, epidemi di masa depan dapat melampaui wabah sebelumnya dalam hal intensitas dan dampaknya.
Target Global 7-1-7: Standar Baru Kesiapsiagaan
Target global 7-1-7 sedang mengubah kesiapsiagaan pandemi dengan tolok ukur yang jelas: mendeteksi wabah dalam 7 hari, memberi notifikasi kepada otoritas dalam 1 hari, dan meluncurkan respons awal dalam 7 hari (Resolvetosavelives CDC).
Pendekatan 7-1-7 menyediakan kerangka kerja sistem yang memungkinkan negara menilai kapabilitas kesiapsiagaan epidemi mereka di tingkat komunitas, fasilitas kesehatan, tingkat menengah, dan nasional (The Lancet). Target ini melengkapi pengukuran kesiapsiagaan yang ada dengan mengidentifikasi hambatan dan pendorong respons yang tidak tertangkap oleh alat evaluasi tradisional.
Implementasi di Dunia Nyata:
Sepuluh tahun setelah wabah Ebola Afrika Barat yang menewaskan lebih dari 11.000 jiwa, Sierra Leone telah membuat kemajuan signifikan. Analisis 7-1-7 terhadap 16 wabah dari 2020-2023 menunjukkan negara tersebut mampu mendeteksi wabah dalam tujuh hari dan memberi notifikasi dalam satu hari. Meskipun demikian, waktu respons masih rata-rata 63 hari karena keterlambatan konfirmasi laboratorium (CDC).
Dari 41 kejadian kesehatan masyarakat yang dinilai di lima negara, 54% memenuhi target deteksi 7 hari, 71% memenuhi target notifikasi 1 hari, dan 49% memenuhi target respons awal 7 hari. Hanya 27% kejadian yang memenuhi target 7-1-7 lengkap (PubMed). Data ini menunjukkan masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Kesiapsiagaan Epidemi Indonesia: Di Mana Kita Berdiri?
Indonesia menerima dana US$25 juta dari Pandemic Fund untuk memperkuat kapabilitas pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons (PPR) serta meningkatkan ketahanan terhadap pandemi, yang memobilisasi tambahan US$21,6 juta co-financing dan US$227,5 juta co-investment (Thepandemicfund).
Tantangan yang Dihadapi:
Geografi Indonesia yang membentang lebih dari 17.500 pulau, kepadatan populasi manusia dan hewan, serta efek perubahan iklim memperburuk risiko penyebaran penyakit, terutama di komunitas pedesaan dan terpencil (Thepandemicfund). Pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa Indonesia memiliki kapasitas surveilans yang tidak memadai untuk menangani krisis kesehatan besar (WHO).
Sistem surveilans Indonesia menghadapi tantangan karena sifatnya yang beragam dengan lebih dari 40 sistem tingkat nasional, masing-masing dengan metode pengumpulan dan pemrosesan data yang unik. Sementara itu, lebih dari 10.000 fasilitas kesehatan, laboratorium, dan kantor kesehatan pelabuhan menghasilkan data surveilans, namun analisis komprehensif di tingkat subnasional masih menjadi tantangan (WHO).
Upaya Perbaikan yang Sedang Berlangsung:
1. Penguatan Sistem Surveilans
Kementerian Kesehatan dan WHO pada 2023 mengembangkan rencana transisi untuk memperkuat dan meningkatkan sistem surveilans Indonesia. WHO membantu Kemenkes melakukan 18 batch pelatihan tentang National Early Warning and Response System (EWARS) di 2023, memungkinkan petugas surveilans dari berbagai puskesmas, Dinas Kesehatan Kabupaten, dan laboratorium kesehatan masyarakat untuk menggunakan EWARS untuk deteksi dini, notifikasi awal, dan berbagi data (WHO.
2. Pendekatan One Health untuk Dengue
Pada 28-30 April 2025, Kemenkes dan WHO mengadakan workshop nasional di Semarang untuk meninjau implementasi multisource collaborative surveillance (MSCS) untuk dengue. Workshop ini menandai langkah terakhir dari kerangka MSCS WHO, menjadikan Indonesia negara pertama di Wilayah Asia Tenggara WHO yang menyelesaikan siklus MSCS penuh untuk dengue (WHO).
Pada pertengahan 2024, dengue melonjak hingga hampir 150.000 kasus dan 884 kematian di seluruh Indonesia. Jawa Tengah adalah salah satu provinsi yang paling terdampak, mencatat 17.636 kasus dan 144 kematian sepanjang tahun (WHO). MSCS menggabungkan data dari berbagai sektor—kesehatan, iklim, entomologi, dan manajemen bencana—untuk membangun gambaran yang lebih lengkap tentang ancaman kesehatan masyarakat.
3. Surveilans Berbasis Komunitas
Program USAID CP3 yang diimplementasikan oleh IFRC bersama PMI memperkuat kemampuan komunitas, masyarakat sipil, dan mitra lainnya untuk mencegah, mendeteksi, dan merespons ancaman penyakit. Program ini mendukung Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan paket pelatihan surveilans berbasis komunitas yang disebarkan kepada lebih dari 1.400 pelatih dan relawan, serta mendidik lebih dari 90.000 orang tentang risiko kesehatan (ReliefWeb).
4. Revisi Rencana Kesiapsiagaan Pandemi
Indonesia mengenali influenza sebagai bahaya prioritas dan berkomitmen memperkuat proses kesiapsiagaan pandemi, termasuk kepatuhan terhadap International Health Regulations (IHR). WHO bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk merevisi National Influenza Pandemic Preparedness Plan (NIPP) dan memperluas situs surveilans sentinel influenza-like illness (ILI) dan severe acute respiratory infection (SARI) (WHO).
Prinsip Kesiapsiagaan yang Efektif
Penting untuk memperkuat pencegahan epidemi dengan menerapkan pelajaran yang dipelajari tentang manajemen epidemi dan cara mencegah penghentian layanan dasar, serta meningkatkan tingkat kesiapsiagaan untuk memiliki respons paling awal dan memadai terhadap epidemi yang mungkin muncul. Kita juga perlu mengakui nilai pendekatan One Health terintegrasi yang mendorong integrasi kesehatan manusia, kesehatan hewan, kesehatan tanaman, serta sektor lingkungan dan relevan lainnya (United Nations United Nations).
Pilar-Pilar Kesiapsiagaan:
1. Sistem Surveilans yang Kuat
- Deteksi dini melalui EWARS dan sistem monitoring multi-sumber
- Integrasi data dari berbagai sektor (kesehatan, lingkungan, veteriner)
- Pelatihan berkelanjutan untuk petugas surveilans
- Analisis dan komunikasi data yang efektif
2. Kapasitas Laboratorium yang Memadai
- Akses ke diagnostik yang cepat dan akurat
- Rantai pasokan reagen yang stabil
- Kemampuan sekuensing genomik untuk identifikasi patogen
- Jaringan laboratorium yang terintegrasi
3. Sistem Respons yang Responsif
- Tim respons cepat yang terlatih di semua tingkatan
- Sistem manajemen insiden untuk koordinasi stakeholder
- Stok countermeasure medis dan APD yang memadai
- Rencana kontinjensi yang terperinci
4. Komunikasi Risiko yang Efektif
- Informasi yang akurat dan tepat waktu untuk publik
- Strategi untuk melawan misinformasi
- Keterlibatan komunitas dalam pencegahan
- Transparansi dalam komunikasi pemerintah
5. Kemitraan dan Solidaritas Global
Kerjasama internasional dan multilateralisme memainkan peran penting dalam respons terhadap epidemi. Kita perlu menekankan signifikansi kemitraan dan solidaritas di antara setiap individu, komunitas dan negara, serta organisasi regional dan internasional, di semua tahap manajemen epidemi (United Nations United Nations).
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Di Tingkat Individu:
- Tetap terinformasi tentang pedoman kesehatan dan wabah
- Praktikkan kebersihan yang baik: cuci tangan teratur, gunakan masker saat sakit
- Ikuti program vaksinasi yang direkomendasikan
- Laporkan gejala penyakit yang tidak biasa kepada fasilitas kesehatan
- Dukung sistem kesehatan dengan perilaku yang bertanggung jawab
Di Tingkat Fasilitas Kesehatan:
- Tingkatkan kewaspadaan klinis terhadap penyakit yang dapat menjadi epidemi
- Pastikan sistem pelaporan berfungsi dengan baik
- Latih staf dalam protokol pencegahan dan kontrol infeksi
- Jaga stok APD dan perlengkapan medis esensial
- Berpartisipasi dalam sistem surveilans nasional
Di Tingkat Kebijakan:
- Investasi berkelanjutan dalam sistem kesehatan masyarakat
- Penguatan laboratorium dan kapasitas diagnostik
- Dukungan untuk penelitian epidemiologi dan virologi
- Alokasi anggaran yang memadai untuk kesiapsiagaan
- Komitmen pada kerjasama regional dan global
Pelajaran dari COVID-19: Peluang Transformatif
COVID-19 adalah tragedi kemanusiaan. Namun ia juga menciptakan peluang generasional—kesempatan untuk membangun kembali dunia yang lebih setara dan berkelanjutan. Respons terhadap pandemi harus didasarkan pada Kontrak Sosial Baru dan Kesepakatan Global Baru yang menciptakan peluang setara untuk semua dan menghormati hak dan kebebasan semua orang (United Nations).
Pada Hari Kesiapsiagaan Epidemi Internasional ini, negara-negara diimbau untuk memperhatikan pelajaran dari keadaan darurat kesehatan masa lalu untuk membantu mempersiapkan yang berikutnya. Ini berarti membangun sistem perawatan kesehatan publik dan primer yang tangguh serta memenuhi janji Universal Health Coverage. Ini berarti melakukan investasi berani dalam pemantauan, deteksi, dan respons pandemi. Dan ini berarti memastikan akses yang adil ke alat-alat penyelamat nyawa seperti vaksin, perawatan, dan diagnostik (UNIS).
Komitmen Kita Bersama
Kesiapsiagaan epidemi bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau petugas kesehatan—ini adalah tanggung jawab bersama. Setiap individu, komunitas, dan negara memiliki peran untuk dimainkan.
Di Indonesia, dengan tantangan geografis yang unik dan risiko penyakit yang beragam, kesiapsiagaan epidemi adalah keharusan eksistensial. Investasi yang sedang berlangsung dalam sistem surveilans, penguatan laboratorium, dan kemitraan internasional adalah langkah-langkah yang tepat. Namun, implementasi yang konsisten, alokasi sumber daya yang memadai, dan komitmen jangka panjang tetap menjadi kunci.
Target 7-1-7 memberikan kita tolok ukur yang jelas: deteksi dalam 7 hari, notifikasi dalam 1 hari, respons dalam 7 hari. Ini bukan hanya angka—ini adalah janji untuk menyelamatkan nyawa, melindungi mata pencaharian, dan mencegah kehancuran yang disebabkan oleh epidemi yang tidak terkendali.
Di Hari Kesiapsiagaan Epidemi Sedunia ini, mari kita berkomitmen untuk:
- Berinvestasi dalam sistem kesehatan yang tangguh
- Belajar dari pengalaman pandemi masa lalu
- Berkolaborasi lintas sektor dan lintas batas
- Bertindak dengan kecepatan dan ketepatan saat ancaman muncul
- Melindungi yang paling rentan dalam masyarakat kita
Karena kesiapsiagaan bukan tentang apakah epidemi berikutnya akan datang—tetapi tentang seberapa siap kita saat itu terjadi.
Referensi:
- United Nations International Day of Epidemic Preparedness
- WHO Indonesia – Building a Robust Health Shield (2024-2025)
- CDC Global Health Protection – International Day of Epidemic Preparedness (2024)
- The Lancet Global Health – Implementation of 7-1-7 Target (2023)
- USAID CP3 Program Indonesia
- The Pandemic Fund – CARE-I Project Indonesia
#EpidemicPreparedness #HariKesiapsiagaanEpidemi #717Target #GlobalHealthSecurity #OneHealth #KesehatanGlobal #PreparednessDay #IndonesiaSehat

Tinggalkan komentar