- Pendahuluan
- Metabolisme Bilirubin
- Ikterus Fisiologis vs Patologis
- Etiologi Hiperbilirubinemia Patologis
- A. Produksi Bilirubin Berlebihan
- B. Penurunan Konjugasi Bilirubin
- 1. Defisiensi Enzim Herediter
- 2. Ikterus ASI (Breast Milk Jaundice)
- 3. Hipotiroidisme Kongenital
- 4. Obat-obatan
- C. Gangguan Ekskresi (Kolestasis)
- 1. Hepatitis Neonatal
- 2. Gangguan Metabolik
- 3. Obstruksi Bilier
- 4. Nutrisi Parenteral Total (TPN)-associated cholestasis
- 5. Sepsis Neonatal
- Toksisitas Bilirubin dan Kernikterus
- Patofisiologi Neurotoksisitas
- Spektrum Kernikterus (Kernicterus Spectrum Disorders)
- 1. Acute Bilirubin Encephalopathy (ABE)
- 2. Chronic Bilirubin Encephalopathy (Kernicterus)
- Faktor Risiko Neurotoksisitas Bilirubin
- Evaluasi Klinis dan Diagnostik
- Anamnesis
- Pemeriksaan Fisik
- Pemeriksaan Penunjang
- Evaluasi Awal:
- Evaluasi Lanjutan (jika diperlukan):
- Manajemen Hiperbilirubinemia: Guideline AAP 2022
- A. Pencegahan
- B. Indikasi Fototerapi
- C. Pelaksanaan Fototerapi
- D. Eskalasi Perawatan
- E. Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
- Follow-up dan Prognosis
- Follow-up Pasca-Pulang
- Prognosis
- Pertimbangan Khusus untuk Indonesia
- Epidemiologi Lokal
- Rekomendasi Adaptasi
- Kesimpulan
- Referensi Utama
Pendahuluan
Hiperbilirubinemia neonatal adalah salah satu kondisi klinis paling umum pada periode neonatal, mempengaruhi sekitar 60% bayi cukup bulan dan 80% bayi prematur dalam minggu pertama kehidupan. Meskipun sebagian besar kasus adalah fisiologis dan bersifat sementara, identifikasi dini hiperbilirubinemia berat sangat penting untuk mencegah komplikasi neurologis yang devastatif seperti ensefalopati bilirubin akut dan kernikterus.
Guideline terkini dari American Academy of Pediatrics (AAP) yang direvisi tahun 2022 memberikan rekomendasi berbasis bukti untuk manajemen hiperbilirubinemia pada bayi ≥35 minggu gestasi, dengan peningkatan threshold fototerapi yang aman untuk mengurangi overtretment tanpa meningkatkan risiko komplikasi neurologis.
Metabolisme Bilirubin
Produksi dan Sirkulasi
Bilirubin pada neonatus berasal dari dua sumber utama:
- Hemolisis sel darah merah yang beredar (~75%): Hemoglobin dari eritrosit yang sudah tua dipecah menjadi heme dan globin
- Eritropoiesis inefektif dan protein heme jaringan (~25%): Dari turnover sitokrom dan mioglobin
Proses Metabolisme
1. Pembentukan Bilirubin Tidak Terkonjugasi (Unconjugated/Indirect Bilirubin):
- Heme dikonversi menjadi biliverdin oleh enzim heme oxygenase di sistem retikuloendotelial
- Biliverdin direduksi menjadi bilirubin tidak terkonjugasi oleh biliverdin reductase
- Bilirubin tidak terkonjugasi bersifat larut lemak (lipophilic) dan tidak larut air
- Berikatan dengan albumin serum untuk transportasi ke hepar
- Potensi neurotoksik jika kadar bilirubin bebas (unbound) meningkat
2. Konjugasi di Hepar:
- Bilirubin diambil oleh hepatosit melalui carrier protein
- Dikonjugasi dengan asam glukuronat oleh enzim UDP-glucuronosyltransferase (UGT1A1)
- Menghasilkan bilirubin terkonjugasi (direct/conjugated bilirubin)
- Bersifat larut air (hydrophilic)
- Tidak toksik terhadap sistem saraf pusat
3. Ekskresi dan Sirkulasi Enterohepatik:
- Bilirubin terkonjugasi disekresikan ke dalam empedu
- Masuk ke usus melalui duktus biliaris
- Sebagian besar diekskresi melalui feses
- Enzim β-glucuronidase di usus menghidrolisis sebagian bilirubin terkonjugasi kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi
- Bilirubin tidak terkonjugasi ini direabsorpsi kembali ke sirkulasi portal (sirkulasi enterohepatik)
Mengapa Neonatus Rentan Hiperbilirubinemia?
- Produksi bilirubin meningkat:
- Masa hidup eritrosit neonatus lebih pendek (70-90 hari vs 120 hari pada dewasa)
- Hematokrit lebih tinggi saat lahir
- Eritropoiesis inefektif lebih tinggi
- Kapasitas konjugasi hepar terbatas:
- Aktivitas UGT1A1 rendah saat lahir, meningkat dalam beberapa hari hingga minggu
- Uptake hepatik bilirubin belum matur
- Peningkatan sirkulasi enterohepatik:
- Aktivitas β-glucuronidase usus tinggi
- Motilitas usus lambat, terutama jika intake oral tidak adekuat
- Flora usus belum established untuk mengkonversi bilirubin menjadi urobilinogen
- Kapasitas binding albumin dapat terganggu:
- Kadar albumin lebih rendah pada prematur
- Kompetisi dengan obat-obatan atau asam lemak bebas
Ikterus Fisiologis vs Patologis
Ikterus Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis adalah kondisi transien yang umum terjadi pada minggu pertama kehidupan tanpa indikasi penyakit yang mendasari.
Kriteria Ikterus Fisiologis:
- Waktu onset: Tidak muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
- Puncak kadar bilirubin:
- Bayi aterm: Puncak hari 3-4, kadar <12-13 mg/dL
- Bayi prematur: Puncak hari 5-7, kadar <15 mg/dL
- Kecepatan peningkatan: <5 mg/dL per 24 jam
- Bilirubin direk: <2 mg/dL atau <10% dari total bilirubin
- Durasi:
- Bayi aterm: Resolusi dalam 1 minggu
- Bayi prematur: Resolusi dalam 2 minggu
- Kondisi bayi: Sehat, menyusu baik, tidak ada tanda penyakit lain
Ikterus Patologis (Red Flags)
Harus dicurigai jika terdapat salah satu kriteria berikut:
- Ikterus muncul dalam 24 jam pertama kehidupan
- Peningkatan bilirubin total serum (TSB) >5 mg/dL per 24 jam atau >0,2 mg/dL per jam
- TSB melebihi percentile 95 pada normogram hour-specific bilirubin
- Bilirubin direk >2 mg/dL atau >20% dari total bilirubin
- Ikterus persisten >2 minggu (aterm) atau >3 minggu (prematur)
- Tanda klinis hemolisis, sepsis, atau penyakit lain
Etiologi Hiperbilirubinemia Patologis
A. Produksi Bilirubin Berlebihan
1. Penyakit Hemolitik
- Coombs-positif (tes antiglobulin direk positif):
- Inkompatibilitas Rh (penyakit hemolitik paling berat)
- Inkompatibilitas ABO (paling umum)
- Sensitisasi golongan darah minor lainnya (Kell, Duffy, dll)
- Coombs-negatif:
- Defek membran eritrosit: sferositosis herediter, eliptositosis, piknositosis
- Defek enzim eritrosit: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase, defisiensi heksokinase
Temuan lab: TSB ↑↑, bilirubin indirek ↑↑, retikulosit ↑, hemoglobin ↓, haptoglobin ↓
2. Penyebab Non-Hemolitik
- Ekstravasasi darah:
- Sefalhematoma besar
- Hematoma subgaleal
- Perdarahan intrakranial
- Memar ekstensif
- Polisitemia (hematokrit >65%)
- Peningkatan sirkulasi enterohepatik:
- Obstruksi intestinal
- Ileus
- Stenosis pilorus
- Intake oral inadekuat
Temuan lab: TSB ↑, bilirubin indirek ↑, retikulosit normal
B. Penurunan Konjugasi Bilirubin
1. Defisiensi Enzim Herediter
- Sindrom Crigler-Najjar Tipe I:
- Defisiensi UGT1A1 komplet, autosomal resesif
- Tidak respons terhadap fenobarbital
- Memerlukan fototerapi jangka panjang atau transplantasi hepar
- Sindrom Crigler-Najjar Tipe II:
- Defisiensi UGT1A1 parsial, autosomal dominan
- Respons terhadap fenobarbital
- Sindrom Gilbert:
- Defisiensi UGT1A1 ringan (~30% aktivitas normal)
- Biasanya asimtomatik, diagnosis insidental
2. Ikterus ASI (Breast Milk Jaundice)
- Onset setelah hari ke-4 hingga 7
- Bilirubin dapat mencapai 15-25 mg/dL
- Bayi sehat, menyusu baik, pertumbuhan adekuat
- Mekanisme: komponen ASI (β-glucuronidase, pregnanediol, asam lemak bebas) meningkatkan sirkulasi enterohepatik
- ASI tidak perlu dihentikan, kecuali bilirubin sangat tinggi (dapat dihentikan sementara 24-48 jam)
Bedakan dengan Breastfeeding Jaundice:
- Onset lebih dini (hari 2-4)
- Terkait intake ASI inadekuat, dehidrasi
- Penurunan berat badan >7-10%
3. Hipotiroidisme Kongenital
4. Obat-obatan
- Sulfonamid, ceftriaxone, dan obat yang berkompetisi dengan binding site albumin
C. Gangguan Ekskresi (Kolestasis)
Peningkatan bilirubin direk (conjugated) >2 mg/dL atau >20% dari total bilirubin
1. Hepatitis Neonatal
- Viral: CMV, HSV, hepatitis B, rubella, coxsackie
- Bakterial: sepsis neonatal, UTI
- Parasit: toxoplasmosis
2. Gangguan Metabolik
- Galaktosemia
- Tirosinemia
- Defisiensi α1-antitripsin
- Fibrosis kistik
3. Obstruksi Bilier
- Atresia bilier: Emergensi bedah, diagnosis harus ditegakkan sebelum usia 60 hari
- Kista koledokus
- Obstruksi ampula Vater
- Choledochal cyst
4. Nutrisi Parenteral Total (TPN)-associated cholestasis
5. Sepsis Neonatal
Evaluasi kolestasis neonatal memerlukan:
- USG abdomen
- Kadar enzim hepar, albumin, PT/INR
- Kultur darah dan urin
- Skrining metabolik
- Rujukan spesialis hepatologi/bedah anak
Toksisitas Bilirubin dan Kernikterus
Patofisiologi Neurotoksisitas
Bilirubin tidak terkonjugasi yang tidak terikat albumin (free/unbound bilirubin) bersifat lipofilik dan dapat melintasi blood-brain barrier, menembus membran sel neuron, dan menyebabkan kerusakan selular melalui:
- Disfungsi mitokondria dan gangguan produksi ATP
- Stres oksidatif
- Eksitotoksisitas
- Apoptosis neuronal
Target neuronal: Ganglia basalis (terutama globus pallidus dan subthalamic nucleus), hipokampus, nukleus subtalamikus, dan nuklei batang otak.
Spektrum Kernikterus (Kernicterus Spectrum Disorders)
1. Acute Bilirubin Encephalopathy (ABE)
Stadium Awal (24-48 jam pertama):
- Letargi, hipotonia
- Feeding difficulty, refleks hisap buruk
- Tangisan high-pitched (melengking)
Stadium Intermediate:
- Hipertonus progresif (rigiditas)
- Retrocollis, opistotonus (postur ekstensi punggung)
- Demam
- Kejang
Stadium Lanjut:
- Hipertonus berat
- Koma
- Kematian (jika tidak ditangani)
Reversibilitas: Jika diterapi agresif pada stadium awal, kerusakan neurologis mungkin dapat dicegah atau diminimalisir.
2. Chronic Bilirubin Encephalopathy (Kernicterus)
Jika ABE tidak tertangani atau kerusakan sudah terjadi, sekuel kronis dapat berkembang:
Manifestasi Klasik (Tetrad):
- Disfungsi ekstrapiramidal:
- Cerebral palsy atetoid
- Distonia
- Koreoatetosis
- Gangguan pendengaran:
- Tuli sensorineural bilateral
- Terutama frekuensi tinggi
- Auditory neuropathy spectrum disorder (ANSD)
- Palsy supranuklear gaze vertikal:
- Keterbatasan gerakan mata ke atas (upward gaze palsy)
- Displasia email gigi (terutama gigi susu)
Manifestasi Lain:
- Gangguan kognitif (IQ dapat normal hingga retardasi berat)
- Gangguan perkembangan motorik
- Gangguan perilaku
Faktor Risiko Neurotoksisitas Bilirubin
Meningkatkan risiko pada kadar bilirubin yang lebih rendah:
- Prematuritas
- Asfiksia, hipoksia
- Sepsis, infeksi
- Asidosis
- Hipoglikemia
- Hipoalbuminemia (<3 g/dL)
- Hemolisis
- Gangguan blood-brain barrier
- Defisiensi G6PD
Catatan penting: Risiko terjadinya kernikterus pada bayi tertentu tidak dapat ditentukan dengan pasti hanya berdasarkan kadar bilirubin. Pendekatan multifaktorial dengan mempertimbangkan faktor risiko neurotoksisitas sangat penting.
Evaluasi Klinis dan Diagnostik
Anamnesis
- Riwayat kehamilan dan persalinan
- Onset ikterus (kapan pertama kali terlihat kuning)
- Golongan darah dan Rh ibu dan ayah
- Riwayat ikterus pada anak sebelumnya
- Riwayat keluarga: defisiensi G6PD, sferositosis, penyakit metabolik
- Riwayat etnis: Asia Timur, Mediterania (risiko G6PD)
- Intake ASI: frekuensi, durasi, output (BAK, BAB)
- Obat-obatan yang dikonsumsi ibu
Pemeriksaan Fisik
Penilaian Ikterus:
- Metode Kramer: Progresivitas kraniokaudal
- Zona 1: Wajah dan kepala (bilirubin ~5 mg/dL)
- Zona 2: Sampai umbilikus (~10 mg/dL)
- Zona 3: Sampai lutut (~15 mg/dL)
- Zona 4: Sampai pergelangan kaki (~20 mg/dL)
- Zona 5: Telapak tangan dan kaki (>20 mg/dL)
Catatan: Penilaian visual ikterus tidak reliabel sebagai alat skrining untuk mendeteksi hiperbilirubinemia signifikan. Pengukuran objektif diperlukan.
Tanda Penyakit yang Mendasari:
- Pucat (anemia)
- Hepatosplenomegali (hemolisis, infeksi kongenital)
- Petechiae (trombositopenia, infeksi)
- Letargi, hipotonia, feeding difficulty (ensefalopati bilirubin)
Pemeriksaan Penunjang
Evaluasi Awal:
Bayi dari ibu dengan maternal antibody screening tidak diketahui (karena tidak ada skrining antibodi prenatal) atau positif harus menjalani direct antiglobulin test (DAT) serta penentuan golongan darah melalui darah tali pusat atau perifer.
Tes Esensial:
- Total Serum Bilirubin (TSB):
- TSB harus menjadi tes definitif untuk memandu fototerapi dan eskalasi perawatan, termasuk transfusi tukar
- BUKAN transcutaneous bilirubin (TcB) untuk keputusan terapi
- Bilirubin direk/terkonjugasi
- Golongan darah bayi dan ibu (ABO, Rh)
- Direct Antiglobulin Test (DAT/Coombs)
- Complete Blood Count (CBC):
- Hemoglobin, hematokrit
- Hitung retikulosit (evaluasi hemolisis)
- Morfologi eritrosit (sferositosis, fragmentasi)
- Hapusan darah tepi
Evaluasi Lanjutan (jika diperlukan):
Jika curiga hemolisis:
- Tes fragilitas osmotik (sferositosis)
- Assay enzim eritrosit (G6PD, piruvat kinase)
- Haptoglobin (↓ pada hemolisis)
- End-tidal CO (↑ pada hemolisis aktif)
Jika curiga sepsis:
- Kultur darah
- CRP, procalcitonin
- Pemeriksaan sepsis lengkap sesuai indikasi
Jika kolestasis (bilirubin direk meningkat):
- Fraksinasi bilirubin
- Enzim hepar (ALT, AST, GGT, alkaline phosphatase)
- Albumin, PT/INR
- USG abdomen
- Skrining infeksi TORCH
- Skrining metabolik expanded
Manajemen Hiperbilirubinemia: Guideline AAP 2022
A. Pencegahan
- Promosi ASI yang efektif:
- Hindari suplementasi oral dengan air atau air dekstrosa untuk pencegahan hiperbilirubinemia atau untuk menurunkan konsentrasi bilirubin (rekomendasi kuat)
- Pastikan frekuensi menyusui adekuat (8-12x/24 jam)
- Evaluasi teknik menyusui
- Monitor output: BAK ≥6x/hari, BAB
- Skrining universal:
- TSB atau TcB sebelum pulang dari rumah sakit
- Plot pada hour-specific bilirubin nomogram (Bhutani nomogram)
- Identifikasi bayi berisiko tinggi
- Edukasi orang tua:
- Berikan semua keluarga edukasi tertulis dan verbal tentang ikterus neonatal sebelum pulang
- Tanda bahaya: ikterus progresif, letargi, feeding difficulty
- Jadwal follow-up jelas
B. Indikasi Fototerapi
Guideline 2022 memperkenalkan peningkatan threshold fototerapi berdasarkan bukti bahwa threshold yang lebih tinggi aman dan mengurangi overtreament serta separasi ibu-bayi. Faktor-faktor seperti usia gestasi, risiko mengembangkan hiperbilirubinemia, dan risiko mengembangkan masalah neurologis diperhitungkan dengan lebih baik.
Kategori Risiko untuk Menentukan Threshold:
- Risiko Rendah: Bayi ≥38 minggu TANPA faktor risiko
- Risiko Sedang: Bayi 35-37⁶/⁷ minggu ATAU ≥38 minggu dengan faktor risiko
- Risiko Tinggi: Riwayat ABE atau ensefalopati dalam 72 jam; atau 2+ faktor risiko neurotoksisitas yang dikenali
Faktor Risiko Neurotoksisitas:
- Isoimunisasi hemolitik (DAT positif)
- Defisiensi G6PD
- Asfiksia
- Letargi signifikan
- Instabilitas suhu
- Sepsis
- Asidosis
- Hipoalbuminemia (<3 g/dL)
Threshold berdasarkan guideline 2022 (lebih tinggi dari guideline 2004):
- Untuk bayi ≥38 minggu tanpa faktor risiko, threshold fototerapi meningkat signifikan
- Contoh: Bayi 40 minggu pada usia 72 jam dengan risiko rendah, threshold ~18 mg/dL (vs ~15 mg/dL pada guideline 2004)
Catatan: Gunakan nomogram atau BiliTool untuk menentukan threshold yang tepat berdasarkan usia (dalam jam) dan faktor risiko.
C. Pelaksanaan Fototerapi
Mekanisme: Fototerapi menggunakan cahaya biru-hijau (panjang gelombang 460-490 nm) yang diabsorbsi oleh bilirubin di kulit dan jaringan subkutan, mengubah struktur molekular bilirubin menjadi isomer yang larut air (lumirubin) yang dapat diekskresi tanpa konjugasi.
Jenis Fototerapi:
- Fototerapi Konvensional/Standar:
- Lampu LED biru-hijau (preferensi saat ini, lebih efisien)
- Lampu fluorescent biru kompak
- Iradiansi: 15-30 μW/cm²/nm
- Fototerapi Intensif:
- Iradiansi tinggi: >30 μW/cm²/nm
- Multiple unit fototerapi (overhead + underpad)
- Jarak lampu lebih dekat
- Indikasi: TSB mendekati threshold transfusi tukar, kenaikan cepat meskipun fototerapi standar
Praktik Optimal:
- Maksimalkan area kulit yang terpapar
- Bayi hanya memakai popok, mata dilindungi
- Jarak lampu sesuai rekomendasi manufaktur
- Monitor suhu tubuh (risiko hipertermia atau hipotermia)
- Pastikan hidrasi adekuat
- ASI tetap dilanjutkan
- Interupsi fototerapi untuk menyusui dan bonding (jika bilirubin tidak sangat tinggi)
Monitoring:
- Pengukuran TSB ulang setiap 12-24 jam (tergantung keparahan)
- Evaluasi klinis teratur
- Fototerapi dihentikan jika TSB turun >2-3 mg/dL di bawah threshold memulai terapi
Efek Samping Fototerapi (umumnya ringan dan sementara):
- Ruam kulit (eritema, rash)
- Diare ringan (peningkatan motilitas usus)
- Dehidrasi ringan
- Bronze baby syndrome (pada kolestasis)
- Penurunan kontak ibu-bayi (dapat mengganggu bonding dan laktasi)
D. Eskalasi Perawatan
Guideline 2022 memperkenalkan istilah “escalation of care” (eskalasi perawatan), yang memformalkan prosedur untuk menurunkan kadar bilirubin pasien ketika mencapai 2 mg/dL di bawah threshold transfusi tukar. Ini adalah kedaruratan medis yang memerlukan perawatan agresif untuk mencegah kebutuhan transfusi tukar.
Indikasi Eskalasi Perawatan:
Eskalasi perawatan diperlukan ketika TSB bayi mencapai atau melebihi threshold eskalasi (2 mg/dL di bawah threshold transfusi tukar) untuk bayi tanpa faktor risiko neurotoksisitas yang diketahui, atau untuk bayi dengan TSB yang terus naik meskipun fototerapi atau bayi dengan setidaknya satu faktor risiko hiperbilirubinemia yang dikenali.
Tindakan Eskalasi Perawatan:
- Transfer ke NICU
- Fototerapi intensif maksimal:
- Multiple unit (overhead + biliblanket/fiberoptic pad)
- Iradiansi maksimal
- Continuous (tanpa interupsi)
- IV fluids: Hidrasi IV (jangan oral pada tahap ini)
- Pemeriksaan STAT:
- TSB dan bilirubin direk
- CBC lengkap
- Albumin serum
- Elektrolit dan kimia darah
- Blood typing dan crossmatch (persiapan transfusi tukar)
- Monitor TSB setiap 2 jam sejak inisiasi eskalasi hingga akhir eskalasi
- Pertimbangkan IV immunoglobulin (IVIG) jika hemolisis isoimun (DAT positif):
- Dosis: 0,5-1 g/kg IV over 2 jam
- Dapat mengurangi kebutuhan transfusi tukar
E. Transfusi Tukar (Exchange Transfusion)
Mekanisme: Mengganti darah bayi dengan darah donor untuk:
- Menghilangkan bilirubin
- Menghilangkan antibodi maternal (pada penyakit hemolitik isoimun)
- Koreksi anemia
Indikasi:
- TSB mencapai atau melampaui threshold transfusi tukar
- Tanda ensefalopati bilirubin akut pada kadar bilirubin berapa pun
- Kegagalan fototerapi intensif (TSB terus naik)
Threshold Transfusi Tukar:
- Bervariasi berdasarkan usia gestasi dan faktor risiko
- Umumnya TSB >20-25 mg/dL pada bayi aterm sehat
- Lebih rendah jika ada faktor risiko atau hemolisis
Prosedur:
- Dilakukan di NICU oleh tim berpengalaman
- Double volume exchange (2x volume darah = 2×80 mL/kg = 160 mL/kg)
- Menggunakan darah whole atau reconstituted (packed red cells + FFP)
- Monitoring ketat selama dan setelah prosedur
Komplikasi:
- Gangguan elektrolit (hipokalsemia, hiperkalemia)
- Asidosis, alkalosis
- Trombositopenia
- Hipotermia
- Risiko infeksi, reaksi transfusi
- Komplikasi kateter (perdarahan, trombosis)
- NEC
- Mortalitas: <1% di center berpengalaman
Catatan: Transfusi tukar adalah prosedur berisiko untuk menurunkan konsentrasi bilirubin dengan cepat dengan mengeluarkan darah dengan bilirubin tinggi dan menggantinya dengan darah donor segar. Transfusi tukar jarang dilakukan, dan kita ingin mencegah kebutuhan untuk perawatan seperti itu sedapat mungkin.
Follow-up dan Prognosis
Follow-up Pasca-Pulang
Timing:
- Bayi berisiko tinggi: 24-48 jam pasca pulang
- Bayi risiko sedang: 48-72 jam pasca pulang
- Bayi dengan bilirubin borderline saat pulang: 24 jam
Evaluasi:
- Pemeriksaan fisik (ikterus, hidrasi, feeding)
- Penilaian laktasi
- Pengukuran TSB atau TcB jika indikasi
- Evaluasi berat badan
Prognosis
Studi menunjukkan bahwa implementasi guideline AAP 2022 telah menghasilkan penurunan signifikan penggunaan fototerapi (penurunan 47-64%) dan pengukuran bilirubin serum tanpa peningkatan readmisi atau komplikasi.
Outcome Jangka Panjang:
- Ikterus fisiologis: outcome sempurna, tanpa sekuel
- Hiperbilirubinemia berat yang ditangani adekuat: umumnya baik
- Kernikterus: disabilitas neurologis permanen yang bervariasi dari ringan hingga berat
Pentingnya: Kernikterus adalah kondisi yang DAPAT DICEGAH. Identifikasi dini, monitoring ketat, dan intervensi tepat waktu sangat krusial.
Pertimbangan Khusus untuk Indonesia
Epidemiologi Lokal
- Defisiensi G6PD lebih tinggi di beberapa populasi (risiko hemolisis berat)
- Variasi akses layanan kesehatan (urban vs rural)
- Kepercayaan tradisional tentang ikterus (“kuning biasa”)
Rekomendasi Adaptasi
- Skrining universal G6PD pada populasi berisiko tinggi
- Edukasi masyarakat tentang bahaya ikterus berat
- Strengthen postnatal care: Kunjungan neonatal dini untuk deteksi ikterus
- Availability of treatment: Akses fototerapi di fasilitas kesehatan primer
- Referral system: Protokol rujukan jelas untuk kasus berat
Kesimpulan
Hiperbilirubinemia neonatal adalah kondisi umum yang memerlukan pendekatan sistematis untuk membedakan ikterus fisiologis dari patologis. Guideline AAP 2022 dengan peningkatan threshold fototerapi telah terbukti secara aman mengurangi hospitalisasi untuk ikterus (penurunan 42-68% dalam beberapa studi) dan intervensi yang tidak perlu, dengan manfaat kesehatan neonatal dan ekonomi jangka pendek maupun panjang.
Kunci keberhasilan manajemen meliputi:
- Skrining universal sebelum pulang
- Edukasi orang tua yang komprehensif
- Follow-up terstruktur
- Intervensi tepat waktu berdasarkan faktor risiko
- Sistem rujukan yang efektif
Dengan penerapan guideline berbasis bukti dan kolaborasi interprofessional, morbiditas dan mortalitas akibat hiperbilirubinemia berat dapat diminimalisir, berkontribusi pada outcome neonatal yang optimal.
Referensi Utama
- Kemper AR, Newman TB, Slaughter JL, et al. Clinical Practice Guideline Revision: Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2022;150(3):e2022058859.
- Slaughter JL, Kemper AR, Newman TB. Technical Report: Diagnosis and Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of Gestation. Pediatrics. 2022;150(3):e2022058865.
- Sarathy L, Chou JH, Romano-Clarke G, et al. Bilirubin Measurement and Phototherapy Use After the AAP 2022 Newborn Hyperbilirubinemia Guideline. Pediatrics. 2024;153(4):e2023063323.
- Jameel A, Richardson T, Slaughter JL. Impact of the 2022 AAP Guidelines on Neonatal Hyperbilirubinemia Admissions: A PHIS Study. Hosp Pediatr. 2025;15(7):537-544.
- Bhutani VK, Johnson L, Sivieri EM. Predictive ability of a predischarge hour-specific serum bilirubin for subsequent significant hyperbilirubinemia. Pediatrics. 1999;103(1):6-14.
- Maisels MJ, Watchko JF. Treatment of Jaundice in Low Birthweight Infants. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2003;88(6):F459-F463.
Artikel ini disusun berdasarkan guideline American Academy of Pediatrics 2022 dan literatur terkini hingga 2025. Untuk pengelolaan kasus individual, konsultasikan dengan dokter spesialis anak atau neonatologi.

Tinggalkan komentar