Terapi Lintah – Sebuah Opini

Siapa sih yang tidak kenal lintah (entahlah)? Rasanya ingin bertanya seperti itu, tapi saya rasa belakangan ini akan sangat sulit mengungkapkannya. Dulu saya tinggal di daerah persawahan, ketika masih dalam usia TK atau awal SD, setiap kali bermain ke dalam petak sawah yang basah atau bermain di sungai-sungai kecil, pastilah tidak lama kemudian ketika kaki sudah terangkat ke tanah yang kering akan ada setidaknya beberapa ekor lintah yang menempel. Ah…, ini adalah hal yang wajar ketika masa-masa itu.

Menurut definisi umum di , sebagai berikut:

Leeches are annelids comprising the subclass Hirudinea. There are freshwater, terrestrial, and marine leeches. Like the Oligochaeta, they share the presence of a clitellum. Like earthworms, leeches are hermaphrodites. Some, but not all leeches are hematophagous.

Secara umum lintah dikenal sebagai hewan penghisap darah yang “menjengkelkan” karena agak susah dilepaskan, tubuhnya bisa menjadi gemuk setelah menghisap banyak darah.

Beberapa waktu yang lalu, saya menonton sebuah acara televisi yang menayangkan mengenai terapi menggunakan lintah. Seorang terapis menempelkan seekor atau beberapa ekor lintah di permukaan kulit pasien dengan hati-hati. Beginilah cara sederhana terapi dengan lintah dilakukan.

Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru. Terapi lintah sudah dikenal sejak lama, saya tidak tahu kapan persisnya. Namun di abad pertengahan di Eropa, hal ini sudah dikenal secara meluas, istilah yang digunakan adalah Hirudotherapy, karena menggunakan spesies lintah yang diberi nama Hirudo medicinalis atau dikenal juga sebagai European Medicinal Leech.

Penggunaan lintah di masa lalu, diceritakan secara singkat di Wikipedia sebagai berikut:

In medieval and early modern medicine, the medicinal leech (Hirudo medicinalis and its congeners Hirudo verbana, Hirudo troctina and Hirudo orientalis) was used to remove blood from a patient as part of a process to “balance” the “humors” that, according to Galen, must be kept in balance in order for the human body to function properly. (The four humors of ancient medical philosophy were blood, phlegm, black bile, and yellow bile.) Any sickness that caused the subject’s skin to become red (e.g. fever and inflammation), so the theory went, must have arisen from too much blood in the body. Similarly, any person whose behavior was strident and “sanguine” was thought to be suffering from an excess of blood.

The first recorded use of leeches in medicine was in 200 BC by the Greek physician Nicander in Colophon.[1] Hirudotherapy, the use of medicinal leech for medical purposes, was later popularised by Avicenna in The Canon of Medicine (1020s). He considered the application of leech to be more useful than cupping in “letting off the blood from deeper parts of the body.” He also introduced the use of leech as treatment for skin disease. Leech therapy became a popular method in medieval Europe, namely the leeches from Portugal and France, due to the influence of his Canon. A more modern use for medicinal leech was introduced by Abd-el-latif al-Baghdadi in the 12th century, who wrote that leech could be used for cleaning the tissues after surgical operations. He did, however, understand that there is a risk over using leech, and advised patients that leech need to be cleaned before being used and that the dirt or dust “clinging to a leech should be wiped off” before application. He further writes that after the leech has sucked out the blood, salt should be “sprinkled on the affected part of the human body.”[2] The use of leeches began to become less widespread towards the end of the 19th century.[1]

Dalam tulisan ringkas tersebut, dapat kita ketahui bahwa banyak sekali pemanfaatan lintah untuk pengobatan sejak zaman dulu, walau mungkin prinsip-prinsip yang mendasarinya berbeda-beda. Dan tampak peningkatan dan penyempurnaan dalam metode penerapan terapi lintah, seperti menjaga kesterilan lintah.

Kini pun lintah di dunia kedokteran modern juga dimanfaatkan terutama dalam ranah bedah mikro, fungsinya dalam mencegah pembekuan darah juga bermanfaat juga bermanfaat dalam mempertahankan aliran darah di daerah sambungan pada operasi rekonstruksi. Sebagaimana artikel di atas di sambung sebagai berikut:

Medicinal leeches are now making a comeback in microsurgery. They provide an effective means to reduce blood coagulation, relieve venous pressure from pooling blood (venous insufficiency), and in reconstructive surgery to stimulate circulation in reattachment operations for organs with critical blood flow, such as eye lids, fingers, and ears.

Selain dalam dunia medis di Indonesia, terapi dengan lintah juga disediakan melalui jalur pengobatan alternatif. Karena dalam kesehariannya, tidak banyak aplikasi medis yang menggunakan hewan yang satu ini. Terapi ini umumnya ditujukan untuk mencegah dan mengobati kelainan jantung dan pembuluh darah, dalam beberapa praktek ada yang dikombinasikan dengan pengobatan herbal. Penderita yang diterapi sebagaimana disebutkan oleh salah satu klinik alternatif adalah:

Penderita masalah gangguan jantung, Penyempitan / Penyumbatan pembuluh darah jantung. sumbatan Aterosklerosis, Jantung koroner, Jantung bengkak, Lemah jantung, dan Jantung bocor

Apakah benar terapi lintah bisa mengobati kondisi-kondisi itu? Sebenarnya apa sih yang menyebabkan lintah begitu berguna dan bahkan dipercaya? Ataukah kepercayaan itu berlebihan?

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, sifat antikoagulasi-nya yang begitu diperlukan. Hmmm…, tunggu dulu, apa sih sifat anti koagulasi itu? Secara sederhana sifat antikoagulasi bisa diterjemahkan sebagai anti penjendelan darah atau anti pembekuan darah.

Secara normal darah memiliki kemampuan untuk menjendal/membeku secara alami. Semisal jika jari kita luka tertusuk jarum, maka dengan cepat darah yang tadinya keluar setelah tertusuk akan berhenti dengan sendirinya, karena darah mampu membeku dan menutup area luka di pembuluh darah dengan bekuannya. Tentunya hal ini melibatkan apa yang disebut sebagai faktor-faktor pembekuan darah.

Prinsip pembekuan darah ini mirip pada semua jenis hewan yang memiliki peredaran darah tertutup, seperti pada vertebrata. Dan ini dikenal sebagai haemostasis:

Hemostasis merupakan pristiwa penghentian perdarahan akibat putusnya atau robeknya pembuluh darah, sedangkan thrombosis terjadi ketika endothelium yang melapisi pembuluh darah rusak atau hilang. Proses ini mencakup pembekuan darah (koagulasi ) dan melibatkan pembuluh darah, agregasi trombosit serta protein plasma baik yang menyebabkan pembekuan maupun yang melarutkan bekuan.

Saya petikan artikel tersebut dari sebuah sumber, untuk lebih lengkapnya mengenai bagaimana pembekuan darah ini bekerja dan faktor-faktor apa saja yang terlibat, silakan baca di sini.

Nah, si lintah memiliki sebuah zat pada kelenjar saliva (ludah)-nya yang disebut hirudin yang bersifat antiprotease poten dan sepsifik terhadap thrombin (salah satu faktor pembekuan darah yang mengubah fibrinogen menjadi benang-benang fibrin). Jadi ketika si lintah “menggigit” korbannya, ludahnya akan masuk ke pembeluh darah dan melepaskan hirudin yang menyebabkan thrombin menjadi “macet” dan darah pun menjadi tidak membeku, sehingga si lintah bisa menghisap terus darah korbannya tanpa macet.

Jadi demikianlah mengapa lintah dimanfaatkan.

Lalu mengapa hal ini bisa dimanfaatkan untuk pengobatan berbagai penyakit jantung? Terapi alternatif di Indonesia sebagaimana yang saya sebutkan di atas memberikan pengobatan untuk berbagai penyakit jantung dengan lintah, apa benar bisa menyembuhkan?

Penyakit jantung koroner dan pembuluh darah disebabkan secara umum oleh penyumbatan pembuluh darah arteri atau pun koroner oleh plak aterum, disebabkan oleh penumpukan kolesterol dan lemak pada dinding pembuluh darah, serta rusaknya dinding bagian dalam pembuluh darah, dan membentuk berbagai jaringan , pengapuran dan pembekuan darah.

Penyakit ini disebabkan oleh adanya penyempitan dan penyumbatan di pembuluh arteri koroner. Hal ini disebabkan oleh penumpukan zat-zat lemak (kolesterol, trigliserida) di dinding pembuluh nadi bagian paling bawah (endotelium). Setelah lemak menumpuk, aliran darah akan tersumbat dan tak mampu menuju jantung sehingga mengganggu kerja jantung dalam memompa darah. Efek yang paling dirasakan adalah hilangnya pasokan oksigen dan nutrisi menuju jantung karena aliran darah ke jantung berkurang.

Mungkin hirudin difungsikan sebagai suatu bloodletting (membiarkan darah mengalir dengan lancar), sehingga pembekuan darah salah satu faktor pembentukan plak dapat ditahan lajunya. Apakah ini menyembuhkan? Saya tidak berkompeten membenarkannya, namun jika ditinjau dari segi faktor-faktor penyebab jantung koroner sendiri, yaitu:

  • Kadar Kolesterol Total dan LDL tinggi
  • Kadar Kolesterol HDL rendah
  • Tekanan Darah Tinggi (Hipertensi)
  • Merokok
  • Diabetes Mellitus
  • Kegemukan
  • Riwayat keturunan penyakit jantung dalam keluarga
  • Kurang olah raga
  • Stress

Tidak ditemukan faktor pembekuan darah sendiri secara bermakna dalam kasus jantung koroner. Jika menurut saya sendiri, alangkah bijaksananya jika kita mulai menangani faktor-faktor di atas, sebagaimana selalu ditekankan, sebaik apa pun metode pengobatan, maka pencegahan jauh lebih ideal. Mengurangi merokok, mengelola kadar gula dan kolesterol darah, menjaga berat badan sehat sebagaimana saya sebutkan sebelumnya di 5 Cara Sederhana Hidup Sehat akan sangat bermakna.

Kembali pada masalah penggunaan hirudin, memang bisa membantu darah agar tidak membeku ketika melewat pembuluh darah yang rusak oleh plak secara teori, dan ini memberikan sirkulasi yang lebih baik.

Pada beberapa penelitian, hirudin dapat mencegah kematian pada penderita dengan serangan jantung (miocard infarction) dan memiliki efek yang hampir mirip dengan heparin. Namun penelitian lebih lanjut tetap diperlukan sebagaimana disebutkan di seloken.com:

Which should be used in preference; hirudin, or LMWH? The studies of hirudin have included over 22,000 patients, and there have been over 7,000 patients treated with enoxeparin. Both sets of studies show between 10% and 18% reduction in death/MI, the absolute reduction across the studies being virtually identical (9.0% hirudin vs. 8.1% enoxeparin). So, further developments are awaited.

Namun saya tidak menelusuri apakah hirudin yang digunakan berasal dari lintah atau tidak, namun kemungkinan besar zat hirudin ini didapat dari rekayasa DNA rekombinan, sebagaimana yang diberikan pada pasien-pasien yang menjalani coronary angioplasty. Jadi ketika terapi alternatif dengan lintah secara manual untuk menolong penderita penyakit jantung, jangan heran jika dunia kedokteran modern telah menerapkannya dengan teknologi terkini guna mendapatkan hirudin untuk mencegah banyak kematian akibat serangan jantung tanpa menggunakan lintah.

Lalu bagaimana dengan fungsi untuk mengobati jantung bocor? Apakah itu bisa membantu?

Jantung bocor sendiri merupakan salah satu kondisi kongenital (terjadi dari masa kandungan), sekat-sekat ruang jantung tidak menutup secara sempurna dan menimbulkan lubang antar sekat. Kondisi inilah yang secara umum disebut sebagai jantung bocor (coba klik tautan di atas untuk melihat artikel tentang penyebab jantung bocor).  Ketika saya membaca bahwa seseorang yang digigit lintah bisa sembuh dari kondisi jantung bocor ini, wah, terus terang saya berpikir ini kok konyol sekali.

Secara teori tidak ada kaitannya dengan jantung yang bocor bisa menutup kembali karena digigit lintah, atau pun memasukkan sejumlah hirudin ke dalam vena pasien. Lha, jika tidak bisa sembuh apa iklan pengobatan alternatif seperti itu menipu dan menyesatkan?

Tunggu dulu, jangan buru-buru tiba pada simpulan itu, namun jangan juga buru-buru membantahnya.

Mereka dengan congenital heart disease, biasanya cenderung menderita trombosis.

Dalam sebuah jurnal yang diterbitkan oleh American Society of Hematology dengan judul New Anticoagulants in Children oleh Guy Young pada 2008, disebutkan sebagai berikut:

Central venous catheters (CVC) are a major cause of thromboembolic disease in children and thus children in intensive care units or those with malignancies and congenital heart disease account for a large proportion of those who develop thrombosis.

Jadi ada beberapa kategori penyebab tersering trombosis pada anak-anak, mereka dengan penyakit jantung bawaan adalah salah satunya. Jika kita mencari dengan mesin pencari Google di internet, hasilnya cukup banyak artikel dan jurnal serupa.

Sedangkan penyakit jantung kongenital itu sendiri sangat banyak jenisnya. Mulai dari yang asianotik hingga yang sianotik. Secara sederhana, saya sarankan untuk membaca di MedlinePlus lebih banyak mengenai hal ini.

Pada prinsipnya, untuk mencegah thrombosis pada pasien dengan penyakit jantung bawaan (PJB), maka diperlukan terapi antikoagulan. Secara umum diberikan terapi heparin yang lebih awal ditemukan. Kembali saya tampilkan cuplikan jurnal yang sama untuk lebih membuat kita memahaminya:

Thrombosis has been recognized in children for over 100 years;1 however, the first reports on the use of anticoagulants in children were not until much later. Heparin was discovered in 1916, human trials were conducted in 1935 and widespread human use began in 1937. The first reported use of heparin in children appeared in a case report from 1954 in 2 children with cavernous sinus thrombosis.2 Coumarins were discovered in 1929 and warfarin was developed in 1948; however, it was not used as an anticoagulant until 1954. The first publication on warfarin use in children was in 1976, though the authors state their initial use in patients less than 18 was in 1962.3 Low-molecular-weight heparins (LMWH) were initially described in the 1970s and brought to clinical use in the 1980s. The widespread use of LMWH in children began in the 1990s.4 While the leech protein hirudin was discovered in 1884, it was not until the 1950s that its mechanism of action as a direct thrombin inhibitor was discovered and not until 1997 that the recombinant form, lepirudin, was approved in Europe (1998 in the US). The first report on the use of a direct thrombin inhibitor (lepirudin) in children was in 1999.5 Fondaparinux (initially called pentasaccharide) was first synthesized in 1985 and was approved in 2001. The first report on its use in a child was in 2004.6

Kemudian dalam perkembangannya ditemukan kasus-kasus di mana ada pasien-pasien yang mengalami HIT (Trombositopenia yang diinduksi oleh heparin). Di mana nilai trombosit menjadi turun dan justru meningkatkan risiko trombosis. Jika hal ini terjadi, maka terpai heparin harus dihentikan dan diupayakan peralihan ke penghambat trombin secara langsung (direct thrombin inhibitor), dan dipilih hirudin. Ada beberapa sediaan salah satunya dikenal dengan Lepirudin.

Dari penjelasan di atas kita dapat simpulkan, bahwa terapi antikoagulan pada penderita jantung bocor sesungguhnya berfungsi untuk mencegah terjadi proses trombosis yang bisa mengakibatkan banyak permasalahan kesehatan lainnya secara berantai. Namun hal ini tidak berarti menyembuhkan kondisi jantung bocor itu sendiri.

Jadi jika ada yang bertanya apakah terapi lintah bermanfaat pada penderita jantung bocor, ya…, secara teori bisa bermanfaat. Tapi apakah terapi ini bisa menyembuhkan penyakit jantung bocor, hmmm…, saya rasa itu bukanlah terapi yang bisa menyembuhkan kondisi tersebut. Namun harus kita ingat, jika seseorang sudah mendapatkan terapi antikoagulan dari pihak medis kemudian juga diterapi dengan lintah di pengobatan alternatif, saya tidak menemukan apakah ada dampak buruknya. Namun antikoagulan berlebihan dalam tubuh seseorang justru berbahaya secara umum, karena perdarahan sangat mudah terjadi, seperti pada kasus demam berdarah (walau mekanismenya berbeda, pada demam berdarah adalah kekurangan faktor koagulasi yaitu trombosit). Apakah bisa sampai separah itu atau tidak, saya belum menemukan jawabannya.

Selayaknya kita bijaksana, bahwa setiap tindakan pengobatan ada risikonya, bahkan dengan teknologi terbaik sekali pun. Nah, apakah terapi lintah ini sepenuhnya aman?

Siapa saya yang berani menjamin bahwa suatu terapi sepenuhnya aman. Namun alangkah bijaksananya jika kita. Kita mungkin bertanya-tanya apakah tidak seperti nyamuk yang bisa menjadi vektor (pembawa) terhadap penyebaran berbagai penyakit seperti demam berdarah, malaria atau filariasis (penyakit kaki gajah), apakah ini mungkin kerena mereka sama-sama menghisap darah dari orang ke orang?

Dalam sebuah jurnal di PubMed mengenai kemungkinan lintah sebagai vektor berbagai patogen (kuman) pada hewan dan manusia, menyimpulkan bahwa dimungkinkan seekor lintah menjadi vektor pada banyak patogen, terutama di area endemik. yang dipublikasikan pada tahun 1994 ini mengambil contohnya adalah lintah Afrika yang berada di Kameron. Berikut adalah petikan abstraknya:

The presence and survival of pathogens inside the gut of leeches were studied by means of light and electron microscopy. In African leeches from Cameroon, blood was serologically positive for human immunodeficiency virus (HIV) and hepatitis B; blood of Hirudo medicinalis bought in German pharmacies contained up to 11 different species of bacteria. In experiments done at low (3 degrees C) and high (22 degrees, 32 degrees C) temperatures, it was shown that ingested red and white blood cells survive for long periods. The time was prolonged to at least 6 months in cases in which the leeches were stored at 3 degrees C. The same effect occurred with pathogens. Bacteriophages (viruses of bacteria) and bacteria persisted in large numbers for at least 6 months in the gut of experimentally infected leeches. Protozoan parasites such as Toxoplasma gondii, Trypanosoma brucei brucei, or Plasmodium berghei were even capable of reproducing inside the gut of the leech. In the case of Plasmodium parasites, this proceeded at low (3 degrees C) and high (22 degrees C) temperatures until all erythrocytes were used up. These parasites survived as long as the erythrocytes and lymphocytes were of good shape, i.e., around 5-6 weeks p.i. Single stages survived longer, especially at low temperatures. However, electron microscopy studies gave no hint of penetration of such pathogens into the unicellular salivary glands, which would initiate a direct transmission. Such transmission, however, is possible–many fish leeches directly transmit several blood parasites–when the leeches are squeezed during skin attachment or when they are manipulated by dropping salt solution on their backs while they are sucking. Consequently, the leech is a potential vector of many pathogens, especially in regions with an endemic spread of human and/or animal pathogens.

Namun dari yang disampaikan, bahwa tentunya yang disediakan pada pusat terapi alternatif dinyatakan sebagai lintah yang diternakkan dan bersih dari berbagai penyakit.

Saya senang jika ada banyak terapi alternatif yang terjangkau oleh masyarakat luas, dan bermanfaat bagi kesehatan kita. Setelah mengetahui bagaimana sesungguhnya sebuah terapi bisa berperan baik, apa keunggulannya dan di mana letak kelemahannya, kita dapat secara bijaksana menerapkannya.

Namun ingat sebuah terapi sepenuhnya menjadi tanggung jawab pasien. Karena hak penuh atas suatu terapi ada di tangan pasien, apakah ia memilih atau tidak menggunakan terapi tersebut. Jika seorang pasien menerima sebuah terapi, maka dia sudah mengetahui dan memahami manfaat serta risiko terapi tersebut, sehingga secara sadar memilih terapi tersebut untuk kesembuhannya dan siap menerima risiko yang mungkin atau pasti ditimbulkan oleh terapi tersebut.

Ah…, namun ngomong-ngomong, saya sebenarnya agak rindu juga turun ke persawahan, bermain di lumpur atau di selokan kecilnya yang masih asri, dengan beberapa lintah menempel di kaki seperti dulu. Sayangnya…, tapi sekarang entah kenapa lintah dan belut serta banyak hewan persawahan yang dulu ada, kini sudah sangat langka, apakah ekosistem kita sudah begitu rusak? Mereka hanya banyak di lokasi peternakan.

7 tanggapan untuk “Terapi Lintah – Sebuah Opini”

  1. Mmmm…tapi saya sendiri sepertinya akan takut dan menolak jika harus diterapi memakai lintah ini bli dokter 😀

    Suka

  2. Nonik,

    Setahu saya terapi lintah (hirudoterapi) hanya memanfaatkan zat anti penjendelan darah yang dimiliki lintah untuk beberapa kepentingan medis, namun tidak ada yang terkait dengan menyembuhkan hepatitis atau pun memperbaiki kondisi jaundice (kekuningan).

    Namun ada bagian dari terapi penderita hepatitis C yang menggunakan prinsip 'bloodletting' guna mengurangi kadar serum aminotransferase dan kelebihan zat besi pada penderita hepatitis C kronis. Dan terapi ini tampaknya bermanfaat. Hanya saja yang digunakan adalah metode phlebotomy dan bukan menggunakan hirudinea (lintah) (sumber: http://www.hepatitis-central.com/hcv/iron/effect…..

    Saya kurang tahu jika lintah bisa digunakan untuk prinsip terapi yang sama, karena sama-sama menciptakan 'bloodletting'.

    Mohon maaf juga, saya tidak bisa membalas lewat ponsel, dan mohon juga lain kali tidak menyertakan nomor ponsel di kolom komentar/tanggapan, guna menghindari penipuan dan hal-hal yang tidak diinginkan lainnya.

    Semoga jawaban singkat ini dapat membantu.

    Suka

  3. apakah lintah bisa menyembuhkan hepatitis? setidaknya bisa menghilangkan warna kekuningan yg ada pada tubuh penderita hepatitis? tlg jawab k hp saya 085655070***

    Suka

  4. Apakah ada resiko tertular penyakit dari lintah yang sudah digunakan untuk mengobati pasien sebelumnya?

    Suka

    • Ani Widyastuti,

      Ada kemungkinan, namun tidak selalu. Saya belum menelusuri jika ada penelitian terbaru mengenai masalah ini. Coba mencari di PubMed atau BMJ, biasanya mereka memiliki koleksi jurnal untuk isu-isu seperti ini.

      Suka

  5. Anda butuh lintah untuk pengobatan / terapi? pengobatan tradisional? atau Kosmetika?
    Kami memberikan layanan suplai lintah dalam jumlah besar s/d 5000 ekor/mingguterapi hub kami 081385009663 087870529718

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.