Pelajaran Dari Siwa

Melanjutkan kembali edisi tulisan berjudul “Paid Bangkung” sebelumnya, saya telah menerima beragam masukkan dari berbagai suara. Tidak semua orang sepandang dengan saya, dan itu pun adalah kewajaran di dunia ini. Setiap mata bisa melihat hal yang berbeda tergantung sudut pandangnya, jika batas-batas sudut pandang tidak dibongkar, maka sekat-sekat itu masih ada. Ah…, tapi sudahlah, bukan topik itu kali ini yang hendak saya renungkan. Mari kita sedikit melongok ke dalam banyak relung klasik dalam budaya Hindu.

Hari ini kita akan menjenguk Siwa. Saya rasa nama ini tidak asing bagi kita, dalam banyak buku pelajaran di negeri ini Siwa sering disalahkaprahkan sebagai Dewa Perusak – pokoknya yang berfungsi sebagai perusak; padahal di sisi lain dalam pewayangan kita di tanah air, Siwa dikenal juga sebagai Bhatara Guru atau Dia yang berfungsi sebagai pendidik untuk mengarahkan para Dewa keluar dari kegelapan batin – ya, di banyak tradisi para Dewa tidak selalu disampaikan sempurna, mungkin karenanya mereka perlu pembimbing, seperti kita manusia. Beberapa sekte dalam Hindu memuja Siwa sebagai Dewa Tertinggi, mereka menyebutnya path to the light – penuntun menuju cahaya.

Lalu bagaimana mungkin Siwa Sang Perusak – dikenal juga sebagai Rudra yang Paling Ditakuti – menjadi guru dari semua guru. Kata Siwa dalam bahasa Sanskerta berasal dari kata Shiv, yang secara harfiah diterjemahkan sebagai “Kasih”. Dalam banyak kalimat kuno banyak disampaikan, ketika manusia (batin) memasuki kebebasan total, maka ia memasuki sebuah dimensi yang sama sekali berbeda, seakan-akan dia terlahir kembali, ia bukan lagi antara ada dan kasih, namun ialah lautan kasih itu sendiri. Sebelum “tiba” di sana, segala “kotoran batin” mesti hancur, sehingga batin bisa terbebas dari segala yang ia ciptakan dan kasih itu sendiri adalah permulaan dan akhir dari penghancuran itu.

Mengapa lalu takut? Bukankah kita mendambakan kasih yang sejati? Karena manusia terikat akan banyak hal, ikatan menyebabkan emosi melahirkan friksi, sedangkan friksi adalah awal dari kekerasan dalam hidup ini. Kita berteriak bahwa kasih itu mesti membebaskan, tapi kita selalu mengikatnya dengan banyak hal, dan kita takut kehilangan ikatan-ikatan ini.

Siwa adalah simbolisasi (jika boleh dikatakan demikian) dari kasih yang menghancurkan setiap keterikatan ini, dan ketika kekuatan maha dahsyat seperti ini bergerak maka tidak ada yang tidak hancur di sepanjang jalannya, setiap ego akan runtuh dengan sendirinya.

Namun, entah saya memandang lucu atau bagaimana (maaf), orang kemudian memuja Siwa dan berharap agar Beliau duduk tenang di puncak Kailash dan tidak membawa kehancuran bagi dunia. Ego mesti hancur, jika tidak orang tidak akan pernah bisa memahami apa itu kasih apa itu cinta. Sang Aku aku mesti mati sehingga pembebasan itu lahir dengan alaminya. Cinta itu adalah pembesan yang sejati, dan kebebasan yang sejati itulah cinta. Cinta dan kebebasan dua hal yang satu, dan itu berarti segalanya tidak apa-apa, kosong, tanpa aku, tanpa ego, tanpa kegelapan, namun kosong itulah segala esensi kehidupan.

Siwa dikatakan sebagai contoh ketenangan yang paling sempurna – ini menurut Purana, mengapa? Lihat saja keluarga besar Siwa, yang mungkin aneh bagi banyak orang. Di lengan Siwa ada ular yang melilit, demikian juga di leher, kepala dan pinggang-Nya, sementara salah satu putra Siwa, Dewa Kumara (di Bali dikenal sebagai Rare Kumara atau Dewa pelindung bayi, balita dan anak-anak) mengendarai Merak, dan kepercayaan kuno mengatakan Merak biasanya menyerang ular jika mereka bertemu. Paramadewa Ganesha (Dewa teragung Ganesha) yang diceritakan bereinkarnasi sebagai Putra Siwa berkepala Gajah yang tentunya bisa membangkitkan selera makan Singa yang menjadi kendaraan Dewi Durga (Pendamping Siwa – Ibu Alam Semesta) yang juga terlukiskan tidak terpisah dari Siwa dan merupakan separuh bagian kiri Siwa. Sedangkan singa sendiri biasanya tidak bersahabat dengan Lembu/Sapi Jantan yang menjadi kendaraan Siwa. Di dahi Siwa memancarkan api, sementara dari ubun-ubun-Nya memancar air yang dipercaya sebagai sumber Gangga (Ibu dari semua Sungai). Segala sesuatunya di Kailash sana tergambarkan saling bertentangan.

Namun segala yang ada di Kailash dalam pertentangan itu justru hidup secara harmonis. Keharmonisan itu berawal dari Siwa – dari Kasih dan berakhir pada lahirnya Kasih.

Kembali ke awal, saya rasa orang di Bali begitu takut dengan adanya paid bangkung, sering berkonflik dalam pernikahan antara kasta, dan lain sebagainya. Mengapa kita takut akan hal itu, mengapa kita khawatir, karena kita ragu akan terjadinya perubahan, karena perubahan menghantarkan kita pada ketidakpastian, dan ketidakpastian adalah hal yang paling mengerikan bagi orang yang terikat pada keterkondisiannya. Ya, kita orang buta akan keterikatan kita sendiri.

Ketika bertemu rupang Siwa, apakah Anda akan berkata, “Oh Siwa yang Agung, terimalah sembah sujud hamba yang hina ini, dan terimalah persembahan yang tidak berarti ini, mohon hindari kami dari bencana, berilah kemurahan hati-Mu, dan berkahilah kami.” Ketakutan bersumber dari batin yang terikat dan terkondisi, batin yang seperti ini tidak bebas, tidak mengenal cinta, apa pun yang terlahir darinya selalu terbatas dan tidak murni, bahkan untuk sebuah doa.

Siwa mesti menari – Siwa Nataraja – Kasih adalah tarian kehidupan yang paling indah, karena ia merupakan esensi kebebasan yang sejati. Namun di sisi lain sangat berbahaya dan ditakuti, karena ia menghancurkan setiap keterkondisian setiap ikatan akan berbagai kepercayaan dan ide yang dilahirkan batin, ia akan menyapu bersih batin dari apa yang diciptakan oleh batin itu sendiri. Jika batin telah kosong dari segala yang ia ciptakan, maka di situ ada keheningan yang luar biasa, sebuah dimensi yang tak terwakilkan oleh kata-kata. Jika ada kata yang sering digunakan untuk menggambarkannya, para guru berkata itulah Kasih, itulah Shiva, jika engkau bisa mencapai itu, itulah Aham Brahman Asmi (Akulah Brahman), itulah Tat Twam Asi (Akulah Itu). Ketika para guru berkata, Brahman tidak berawal tidak berakhir, maka Shiva adalah awal dan juga sekaligus akhir dari semuanya, dua hal yang sama terucap dengan cara yang berbeda. Namun perbedaan itu tidak berarti, karena dualitas berakhir di situ.

Ketika Buddha berkata bahwa di setiap diri manusia ada benih ke-Buddha-an, maka sama halnya dengan Shiva, ada sinar suci-Nya di dalam setiap manusia. Semuanya sekadar metafora sedemikian hingga tidak akan tampak rumit bagi kita. Buddha tidak datang dan membuat kita secara ajaib menjadi Bodhisatta, demikian pula Shiva tidak menyihir orang, namun jika orang bersedia belajar dalam makna yang sesungguhnya, mungkin ialah Siwa Raditya, yang selalu bersinar dan tiada lagi kegelapan akan berbagai hal ke mana pun ia memandang.

So when you met Shiva, what would you say, “Oh Lord, please stay still in Kailash, let be peace upon all of us” or kind of “So shall we dance?

Adaptasi dari Chinna Katha III-1

8 tanggapan untuk “Pelajaran Dari Siwa”

  1. ptroex,

    Maaf, saya hampir kelupaan ada tanggapan yang belum dijawab di sini – walau sejujurnya saya sendiri tidak memiliki jawabannya.

    So here is a little thing about life…

    Apakah inti sebuah kehidupan adalah hal sentral seperti patung batu di tengah lapangan? Jika ya, maka ia memiliki sebuah hal untuk dituju… – mungkin itu tujuan kehidupan.

    Apakah kehidupan memiliki kuil untuk datang dan dipuja? Jika ya, orang bisa berhenti di sana dan mengistirahatkan jiwanya dalam ruang itu.

    Ataukah kehidupan sesuatu yang bebas dan lepas, sehingga setiap kasih dan cinta bisa tumbuh di mana pun kaki-kaki kecil seorang insan berpijak, dan selalu mengalir bagaikan sungai yang tak pernah kering, lalu mungkin dengan demikian kehidupan tidak memiliki tujuan sama sekali, demikian juga kelahiran yang memberikan gerbang pembuka pada sebentuk kehidupan.

    Suka

  2. Ptroex,

    Sebuah tanggapan pun pada akhirnya merupakan buah pikiran, apa yang bisa saya sampaikan tentang kekosongan saat saya mengisinya dengan tanggapan-tanggapan saya :).

    Suka

  3. Hallo bli cahya….

    saya setuju dgn penjelasan anda, Siwa itu hanya lambang dr keterbatasan pikiran manusia untuk Tuhan, blm lagi perlambangan Tuhan dlm kehidupan di semesta lain, pastinya akan berbeda….

    Sama seperti pertanyaan "knp semua ini diciptakan?" beberapa menjawab karena Tuhan menginginkan adanya kehidupan, Tuhan menginginkan adanya ini itu, bla..bla..bla, karena Tuhan ingin…..

    Menurut saya, Tuhan itu lepas dari segala keinginan, keinginan=nafsu bukan?, sementara jika orang moksha saja harus melepaskan segala keinginannya, dan menyerahkan diri sepenuhnya kpada sang maha tunggal, "Mbang", jadi secara pendapat bodoh saya, orang moksha lbh tinggi derajatnya dr Tuhan. Maaf…itu cuma penafsiran bodoh.

    Semua ini adalah kosong, Tuhan itu adalah keseimbangan, baik buruk, hitam putih, suci jahanam adalah beliau sendiri.

    tlg tanggapanya bli….

    makasih….

    Suka

  4. ^_^ iya bli, sama2, saya masih banyak pertanyaan yang ingisn saya diskusikan disini, mungkin bisa tlng ditanggapi lg satu saja ya bli, hehehe…..

    “Kenapa manusia terlahir ke dunia?”, kalau dulu di SD kita diberitahu, manusia itu lahir ke dunia ialah untuk menebus dosa atau karma buruk mereka terdahulu. Kalau terus diputar terus ke belakang, hingga akhhirnya manuasia itu hanya Adam dan Hawa, lalu Adam dan Hawa itu lahir untuk menebus dosa siapa bli?

    tlng dijawab semampunya, salam kenal.

    Suka

  5. Wah, saya ndak bisa berkomentar banyak Mas Cahya. Saya cuma bisa mengacungkan dua jempol tangan saya untuk tulisan ini. Kata-katanya bagus banget. Anda ini kuliah kedokteran atau sastra? Tapi paling ndak, tulisan anda membuka wawasan saya tentang sedikit Siwa dan Hindu.Tapi kalau boleh menyampaikan kesimpulan dari tulisan anda, terkait dengan paid bangkung, bahwa sebenarnya cinta kasih itu ndak melihat “apa” dan “siapa” bukan? Koreksi saya kalau salah. 🙂

    Suka

    • Terima kasih untuk apresiasinya Mas Pushandaka, saya orang sastra yang kebetulan kuliah di Kedokteran (wealah… 😀 ).Jika cinta mesti melihat “apa” dan “siapa”, maka Bunda Theresa tidak akan bisa melangkah bebas ke pemukiman kumuh. Kahlil Gibran tidak akan bersuara untuk semua manusia; atau siapa pun itu…Boleh-lah ada “apa” dan “siapa” – karena seperti itulah dunia terbangun saat ini, tapi bukan dua hal itu yang menjadi landasan cinta untuk tumbuh dan hidup – mungkin demikian Mas Pushandaka?

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.