Jika Anda mengunjungi dokter untuk berobat karena sakit, atau sekadar berkonsultasi karena keluhan kesehatan tertentu. Biasanya dokter memiliki banyak sekali pertanyaan yang diajukan, terutama seputar gejala-gejala yang Anda rasakan atau keluhkan. Bahkan tidak jarang waktu bertanya lebih lama secara relatif dibandingkan waktu pemeriksaan oleh dokter itu sendiri.
Kadang pasien bisa kesal dalam hati, kenapa yang ditanyakan kok bermacam-macam, bahkan kadang hingga ke kehidupan personal pasien yang mungkin agak risih untuk diinformasikan. Apalagi jika pasien berkunjung bersama orang lain yang mengantarnya.
Pertanyaan-pertanyaan itu penting bagi dokter untuk mendapatkan jawabannya, metode ini disebut seni anamnesis. Seni membedah dan melihat ke dalam masalah kesehatan melalui kondisi yang dapat disampaikan secara lisan. Mungkin seorang dokter akan berpikir layaknya Sherlock Holmes, melihat apa yang terjadi pada pasiennya, menguraikan simpul-simpul masalah, mengumpulkan poin-poin penting, menguji hipotesis, melakukan eliminasi kemungkinan yang tidak terlalu mungkin, melakukan deduksi secara lebih mendalam, dan mengambil simpulan yang disebut sebagai diagnosis awal.
Melalui seni anamnesis seorang dokter mempelajari pasien beserta dengan keluhannya. Dokter mesti dapat menangkap apa yang disebut sebagai gambaran klinis.
Francis Weld Peaboy (1881-1927) berkata, “Apa yang disebut sebagai gambaran klinis bukan hanya sebuah potret seorang sakit yang berbaring di tempat tidur; ia merupakan lukisan impresionis dari pasien yang dikelilingi oleh rumahnya, pekerjaannya, sanak keluarganya, teman-temannya, kegembiraannya, kesedihannya, harapan-harapannya, serta ketakutan-ketakutannya.”
Dan percayalah, tidak mudah menangkap apa yang dikatakan sebagai gambaran klinis. Karena untuk ini seorang dokter harus membuka perhatian sepenuhnya pada pasien. Belum lagi mengingat stres kerja seorang dokter tidaklah ringan, bekerja di instalasi kesehatan dengan berbagai tekanan akan memicu stres yang luar biasa. Dokter tidak berurusan dengan elektronik yang jika salah reparasi bisa ditutupi dengan garansi, dokter bekerja dengan sesuatu yang disebut kesehatan yang kita tak akan pernah menemukan garansi apa pun jika terjadi kesalahan.
Ada kadang pasien yang tidak hendak mengungkapkan apa masalah sebenarnya secara mendetail, beberapa bagian bisa jadi dikaburkan karena mungkin dianggap tabu atau memalukan. Namun jika bagian yang kabur itu ternyata salah satu poin kunci, maka kesalahan diagnosis bisa terjadi, dan kesalahan diagnosis akan mengarah pada kesalahan terapi, kemudian kesalahan terapi akan mengarah pada perburukan prognosis (perjalanan penyakit).
Saya menjumpai kasus-kasus seperti ini terutama di rumah sakit pendidikan. Ketika dokter muda datang dan melakukan anamnesis bersama pasien, pasien memberikan keterangan A. Kemudian pada senior dokter spesialis muda akan memberi keterangan B, dan akhirnya pada staf ahli akan memberi keterangan C. Maka staf ahli akan menegur dokter spesialis muda karena tidak becus melakukan anamnesis, dan dokter spesialis muda akan menegur dokter muda karena hal serupa. Ibaratnya sudah jatuh tertimpa tangga pula, sudah mendapatkan hasil yang tidak pas, malah menambah jam “kuliah” yang membuat “kuping panas”. Tapi tanpa semua itu tidak ada warna dalam pendidikan dunia kedokteran yang kadang lebih mengerikan dibandingkan militer.
Beberapa pasien menganggap rumah sakit pendidikan sebagai “kandang” uji coba calon-calon dokter yang belum siap – walau saya sendiri menemukan lebih banyak pasien dan keluarganya yang terbuka dan bersedia bekerja sama. Dan mereka yang mungkin menutup diri, tidak akan bersedia membuka diri sepenuhnya.
Saya rasa hal ini bukanlah kesalahan pasien atau pun keluarga. Kerahasiaan pasien adalah haknya yang penuh yang tak bisa diganggu gugat. Jika seorang dokter tidak dapat meyakinkan pasien bahwa kerahasiaan ini dapat terjamin, maka dokter tidak akan dapat menanyakan apa pun dalam anamnesis guna membantu pasien. Kepercayaan dan komunikasi yang baik adalah dua hal mutlak yang diperlukan oleh kedua belah pihak.
Anamnesis yang baik akan memerlukan jam terbang yang tinggi. Dokter yang masih baru kadang kesulitan mencapai tingkat efektivitas suatu anamnesis, tapi bukankah pratice makes perfect? Dosen saya dulu pernah berkelakar seperti ini, “Dokter yang masih baru akan menaruh banyak sekali pertanyaan ke dalam anamnesis, seperti kapan sakit dimulai, apa ada keluhan lain yang menyertai, apa di sekitar rumah ada yang sakit serupa, keluarga, ibu, ayah, kakak, adik, kucingnya?” Lalu beliau melanjutkan, “Dokter yang masih muda akan menanyakan semua hal secara mendetail kecuali yang hal-hal yang penting.”
Dalam buku “The Common Symptom Guide: a guide to the evaluation of common adult and pediatric symptoms” Edisi keenam (2009) oleh John H. Wasson. Disebutkan sepuluh poin mendasar pertanyaan-pertanyaan yang (harus) diajukan dokter seputar gejala.
Pertama, seorang dokter harus selalu ingat menanyakan usia pasien. Mengapa? Terkadang ada orang-orang yang tampak lebih tua dari usia aslinya atau tampak lebih muda dari usia aslinya. Tentu ada hal-hal dalam kesehatan yang dipertimbangkan, mengapa seseorang tampak lebih tua misalnya, adakah hubungan dengan keluhannya saat ini, atau dapatkah temuan ini membantu “mencerna” keluhan pasien saat ini.
Pertanyaan lain akan meliputi onset suatu gejala, dalam pemaknaan kapan gejala itu dimulai, atau kapan mulai disadari oleh pasien. Bagaimana gejala hadir pada pasien, seperti lokasi gejala, dan bagaimana penyebarannya – semisal rasa sakit pada pasien penderita masalah jantung. Apa yang dapat meringankan atau justru memperberat gejala yang dirasakan oleh pasien. Apakah pasien sudah pernah mendapatkan terapi atau pengobatan sendiri sebelumnya, dan bagaimana hasil dari terapi tersebut. Dan bagaimana dampak gejala yang dirasakan pasien terhadap kehidupan sehari-harinya.
Daftar di atas adalah sedikit dari sekian banyak bagian dari seni anamnesis yang bisa diolah untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi pada pasien. Para ahli kesehatan percaya, bahwa anamnesis yang baik sudah memberikan lebih dari 80% arah penegakan diagnosis suatu penyakit. Seni pemeriksaan fisik akan memberikan bagian terbesar kedua, setelahnya adalah pemeriksaan penunjang dasar, barulah pemeriksaan penunjang yang canggih.
Sebenarnya jika seseorang berkunjung ke dokter, ia tidak perlu terburu-buru berharap akan dirujuk untuk pemeriksaan lab super canggih, ia mungkin sama sekali tidak memerlukannya – karena kunci penegakan diagnosis tetap ada pada seni anamnesis yang baik. Atau kadang seorang pasien datang pada dokter dengan membawa hasil lab yang banyak sekali – ia begitu kreatif dengan memeriksakan dirinya lebih awal – tapi kemudian menjadi kecewa karena hasil-hasil yang sudah dibayar mahal itu ternyata tidak memberi jawaban apa-apa.
Ada kadang pasien yang memaksa dokternya untuk memberikan pemeriksaan lab yang canggih – sementara dokter sudah memberikan jawaban diagnosisnya melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik sederhana. Mungkin karena si pasien mendengar bahwa pemeriksaan itu jitu untuk menguji kebenaran diagnosis si dokter.
Kadang ada dilema bagi seorang dokter dalam situasi seperti ini, tidak etis merujuk pasien untuk pemeriksaan yang lebih banyak dan lebih mahal ketika itu dinilai tidak diperlukan, dan jika dilakukan pun tidak menambah temuan medis secara bermakna. Dan walau dengan banyak penjelasan, kadang pasien atau keluarga masih tetap kukuh seolah kata-kata si dokter masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Sehingga kadang kita bisa menemukan dokter yang “bersitegang” dengan pasien atau keluarga karena ia memegang prinsip etis ini, ada dokter yang mengalah daripada (mungkin) daripada “telinganya panas” diteriaki melanggar hak asasi – namun tetap izin pemeriksaan tidak melalui rekomendasi dokter.
Hal-hal seperti ini sedapat mungkin selayaknya dihindari. Dan sekali lagi, kepercayaan dan komunikasi yang baik antara dokter dan pasien adalah kemutlakan untuk berlangsungnya fungsi pelayanan kesehatan yang baik dan bermanfaat bagi semua.
Tinggalkan Balasan