Terlalu Banyak Doa?

Saat saya mengoceh (mengeluh?) tentang demam saya semalam di jejaring sosial twitter dan facebook. Tidak usah ditanya lagi (bagi manusia yang memang makhluk sosial), saya dapat ucapan semoga lekas membaik baik secara lisan maupun tulisan. Dan tentu saja saya berterima kasih untuk itu walau kemarin malam saya tidak sempat balas apa-apa karena sudah asyik meriang sendirian.

Saya sendiri (sudah) jarang berdoa, atau setidaknya karena saking jarangnya tidak ingat kapan lagi saya pernah berdoa. Salah satu hal yang dapat membuat saya tersenyum-senyum sendiri adalah doa yang terkabulkan, kalau tidak terkabulkan sih tidak masalah, hmm…, memangnya ada yang tidak terkabulkan?

In every wish there is a prayer, in a pure wish there is the answer of a prayer.

Ya, dan akhirnya doa pun terjawab, saya bangun pagi dengan tanpa demam dan tanda-tanda flu-pun tidak ada lagi. Namun bahu kanan saya malah nyeri sekali. Hah…, saya menghela napas panjang, di hari Minggu pagi malah terserang “acute soft tissue injury”, saya kira akan mereda dengan cepat sambil bersih-bersih kamar mandi, barulah saya tersadar bahwa ini tidak akan membaik malah memburuk.

Setelah dikompres air hangat, keadaan belum membaik. Ditambah dengan gel Ibuprofen, juga tidak membaik (padahal diimpor dari Spanyol). Kalau di rumah saya bisa tenang, karena ada sejumlah cendana untuk diambil airnya. Akhirnya saya hampir seharian bersama tangan kiri saya.

Jadi mungkin belum saatnya saya bebas dari rasa sakit, saya masih berjodoh dengan rasa sakit. Tapi karena (saking) banyaknya doa dan harapan yang menyebabkan jenis sakit yang pertama melangkah pergi, dan datanglah si sakit jenis kedua karena memang perjodohan dengan rasa sakit belum usai.

Saya berusaha untuk menjaga kesehatan, saya tidak ingin sakit (lha, sakit kok kepingin), walau saya akui saya sering teledor. Tapi jika memang ternyata sakit yang datang, ya diterima saja, menerima bukan dalam artian pasif, sadari sakit ada dalam diri saya, maka saya akan bergerak untuk melakukan apa yang baik bagi tubuh saya.

Jika saya merasa demam, maka saya akan terima demam itu, sapalah si demam, dan tanyakan mengapa dia datang. Oh…, ternyata dia datang karena saya kurang minum air (cairan) sehingga tubuh dehidrasi dan suhu tubuh meninggi, maka saya akan minum air yang banyak dengan segera. Oh…, ada tanda flu dan infeksi virus ringan, mungkin saya akan menambah asupan buah dan sayuran yang tinggi vitamin untuk menambah kekebalan tubuh.

Tapi jika saya cuek pada si demam (menerima dalam artian pasif), saya tidak akan pernah mengenalnya, saya bisa jadi membiarkannya dan berpikir nanti juga akan membaik, tapi siapa tahu malah dehidrasi saya tambah parah. Atau saya main “hajar” dengan antipiretik (anti demam) dan antibiotik sembarangan, mungkin itu justru menambah beban tubuh saya.

Saya tidak ingin sakit, jika saya sakit saya ingin sembuh, that is my simple wish and that is a prayer…. Ketika saya sakit, saya ingin dapat menerima si sakit, memahaminya, karena ia bagian dari diri saya, ia bagian dari kehidupan saya, that wish even deeper, maybe I would find an answer within….

Ketika nyeri di bahu kanan saya tidak tertahankan, bahkan untuk setiap tarikan napas terasa sakitnya. Saya bisa melihat diri saya yang bergulat dengan setiap rasa itu, saya bisa melihat rasa tidak suka muncul dari dalam diri saya, saya melihat bahwa ada keterdesakan dan harapan yang melompat ganas seakan ingin melahap habis rasa sakit ini hingga lenyap seketika. Saya melihat diri saya yang tidak sering saya jumpai.

Akan ada saat di mana saya tertawa pada diri saya sendiri, “oh…, begini toh ternyata diriku” – dan ya semua keinginan itu akan hilang dengan sendirinya ketika saya mulai tersenyum sendiri. Rasa sakit itu adalah bagian dari saya, dan saya adalah rasa sakit itu, saya tak mungkin memisahkannya, hanyalah ego saya yang ingin melahap semua itu dan membuatnya lenyap, tapi bagaimana bisa saya melenyapkan diri saya sendiri – menolak diri saya sendiri? Tentunya melihat kekonyolan itu saya pun tersenyum geli, kini haruskah saya membuat daftar doa lebih banyak lagi?

Itulah mengapa saya tidak berdoa untuk menghilangkan rasa sakit karena ia bagian dari saya, namun penyebabnya bisa ditanggulangi. Saya akan bergerak untuk menanggulangi si penyebab, jika berhasil ya rasa sakit itu akan memudar dengan sendirinya, tapi toh jika ternyata tidak bisa, ya lanjutkan saja berbincang dengan rasa sakit walau sampai meringis dengan meneteskan air mata.

Tubuh manusia memiliki batasan, karena itu selayaknya dijaga dengan baik. Pun demikian saya dari kecil memang sudah sering keluar masuk rumah sakit untuk opname, dari sekadar pasang infus karena di rumah muntah terus, atau hingga nyawa nyaris melayang.

Jika sudah melakukan yang terbaik untuk menjaga kesehatan, tapi toh sakit juga, ya diterima. Kalau sakit toh dengan berbagai upaya tidak membaik juga, ya diterima. Kalau sudah tidak ada perbaikan dengan upaya yang sungguh-sungguh keadaan memburuk terus, ya diterima juga.

Semuanya memiliki perjalanan alami, penyakit juga demikian, satu penyakit yang sama dampaknya bisa berbeda pada individu yang berbeda. Misalnya virus dengue, satunya mungkin hanya terserang demam dengue biasa, lainnya bisa menjadi demam berdarah dengue, bahkan ada yang bermanifestasi hingga dengue shock syndrome yang berakhir dengan kematian. Jika kita sungguh-sungguh sedari awal namun pada akhirnya tidak berdaya, haruskah kita menolaknya atau haruskah kita menerimanya?

Saya tidak bisa memaksakan pendapat apa pun pada siapa pun. Bagi masing-masing oranglah untuk menemukan jawabannya sendiri-sendiri.

Saya bukan orang yang kuat menahan sakit, bahkan saya termasuk orang yang sangat rapuh. Ha ha…, mungkin karena saya anak yang manja. Tapi kadang doa yang terlalu banyak memberikan saya masalah baru karena berhasil menyelesaikan masalah lama. Dan itu sama-sama menyakitkan. Nah…, tapi itulah kehidupan bukan, duka adalah nama lain dari suka, ya… suka duka kehidupan. Tidak dapat dipungut satu saja tanpa menyertakan yang lain yang sesungguhnya dirinya juga.

Begitu juga saya dan rasa sakit, it is my deepest wish to understand myself completly, then the prayer shall vanishing just like that, since the answer already within.

18 tanggapan untuk “Terlalu Banyak Doa?”

  1. 🙂 doa,, setiap apapun yg kita harapkan itu doa…

    setiap apapun yg kita ucapkan itu juga doa 😀

    HIDUP!!! ^_^

    Suka

  2. berdo'a seperlunya dan secukupnya agar tidak menjadi beban. Ntar kalau mintanya kebanyakan yang memberi juga bingung, permintaan pertama belum dipenuhi sudah mengajukan permintaan baru. 😀

    Suka

  3. Huaaaah, sakit emang gak enak ya, Mas Cahya… 😦

    *iya lah, kalo sakit enak, rumah sakit bakal penuh* LOL

    Jangan remehkan kekuatan doa. 🙂

    Suka

  4. di saat tulisan ini terbit moga sudah tidak sakit lagi. virus-virus penyakit itu pergi menjauh 🙂

    Suka

  5. Kamipun ikut berdoa, semoga rasa sakit yang dialami segera sembuh dan cepat pulih seperti sedia kala ya…

    Suka

  6. Doa itu seperti layaknya curhat kita kepada Tuhan ( Pencipta Kita )

    Berdoa , meminta , memohon, berterima kasih, bersyukur, hanyalah komunikasi kita kepada Tuhan

    sedangkan Berbuat Baik tanpa Komunikasi adalah hampa 🙂

    Suka

  7. blessing in disguise… 😀

    Doa untuk cahya..
    Tuhan..walaupun temanku ini jarang berdoa pada-MU tapi bukan berarti dia mengabaikan-MU..jadi sembuhkanlah dia dari sakit yang dideritanya melalui cara-MU..amin 🙂

    Suka

  8. ini namanya antivirus yang terkena virus…jd inget sama perumpaan mas-mas yg servis laptopku..sesaat aku bingung dan dia bilang "seperti dokter yang sedang sakit…" jadi harus instal ulang.. loh..kalo dokter??? wkwkkwkwkkw

    Suka

  9. ya..yang penting sudah sembuh ya pak dr. ternyata penyakitnya tidak tahu malu juga ya? sudah tahu pak dr. masih juga dia hinggap, just kiding, sukses selalu buat pak dr.

    Suka

  10. Dr. Cahya, mohon dihapus komentar saya yang pertama. Tak sengaja saya mengirim dua kali karena perbaikan sebuah kata. Terima kasih, Dok.

    Suka

  11. Doa adalah sebuah permintaan Apalagi yang kita minta? Karena semuanya sudah otomatis sesuai hukum Tuhan; menanam kebaikan menuai kebaikan, menanam keburukan menuai keburukan. Semuanya terakumulasi otomatis dalam lapis tubuh kita.

    Kita tidak tahu seberapa karma yang bisa membuat kita jatuh lagi ke dunia ini dan menjalani samsara 🙂 Semuanya memang harus dibayar. Hidup hanyalah tabungan dan hutang.

    Suka

  12. Mengapa engkau gemar sekali menumpuk doa? Apakah kamu tidak percaya bahwa Tuhan sudah mendengar suara-mu yang satu itu sejak hatimu ucapkan untuk pertama kalinya?

    Ide yang menarik.

    Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.