Ketika saya asyik membuka-buka koran digital saya pada topik kesehatan, saya menemukan sebuah berita yang cukup hangat dibahas. Yaitu tentang potensi obat-obatan HIV yang menyebabkan penuaan dini atau premature aging. Tulisan aslinya dirilis pada jurnal Nature Genetics pada 26 Juni lusa, diulas di Welcome Trust dan sepertinya mendapatkan banyak respons.
Dikatakan bahwa banyak penderita HIV/AIDS yang menerima terapi obat antiretroviral menunjukkan usia yang relatif lebih tua daripada usia sesungguhnya. Semisal jika ia menjalani terapi selama 10 tahun, maka jika seharusnya pasien akan tampak 10 tahun lebih tua, maka justru akan terlihat sekitar usia 20 atau 30 tahun lebih tua.
Para peneliti yang mengamati sel-sel otot pasien HIV/AIDS, menemukan bahwa obat HIV zidovudine (AZT) yang termasuk dalam NRTIs menyebabkan kerusakan DNA pada mitokondria (pabrik energi pada sel-sel tubuh). Selama orang hidup, sel-sel tubuhnya membelah dan kemudian mati digantikan sel-sel baru, di mana mitokondria akan ikut tersalin secara berulang-ulang, semakin lama akan menimbun sejumlah kesalahan/kelainan (mutasi) dalam penyalinannya. Hal ini menjadi dasar salah satu proses penuaan. Meski sebenarnya belum jelas apakah mutasi mitokondria adalah penyebab atau hasil dari proses penuaan.
Mungkin inilah mengapa pada pasien HIV/AIDS dengan terapi antiretroviral tampak lebih tua. Tampaknya obat tersebut berakibat meningkatkan laju akumulasi kesalahan itu pada mitokondria, di mana misalnya dalam 10 tahun jumlah kesalahan yang diakumulasikan sebagai dampak obat tersebut sama dengan kesalahan yang terakumulasi secara alami dalam jangka waktu 20 – 30 tahun.
Obat jenis ini yang merupakan NTRIs generasi lama sudah tidak berlisensi lagi, sehingga cukup murah untuk diproduksi secara masal dan banyak digunakan di negara-negara berpenghasilan kecil, seperti di Afrika. Sedangkan obat-obat NTRIs generasi baru lebih umum digunakan di negara-negara maju yang berpenghasilan tinggi karena harganya cukup mahal dan memiliki potensi toksisitas dan efek samping yang lebih sedikit.
Ini tentu saja akan memberikan dilema bagi dunia kedokteran dan para praktisi kesehatan, memberikan obat murah & terjangkau namun dengan efek samping yang cukup signifikan. Atau memberikan obat yang jauh lebih mahal dengan efek samping yang lebih rendah. Meski kembali pilihan terapi ada pada pasien, namun tetap tidak memungkinkan memberikan terapi yang mahal pada negara yang berpenghasilan rendah. Seperti Afrika misalnya, di mana infeksi HIV sangat tinggi, dan banyak merupakan wilayah-wilayah miskin.
Meski obat ini memiliki efek samping, setidaknya obat ini memberikan harapan hidup lebih panjang sekitar 20 hingga 30 tahun lagi, di mana tanpa medikasi pasien HIV/AIDS bisa saja telah meninggal dunia. Kini sedang diupayakan mencari solusi untuk mengatasi efek samping penuaan dini (kerusakan mitokondria) ini, salah satu yang cukup efektif tampaknya dengan membuatkan program olahraga yang teratur bagi para pasien.
Tinggalkan Balasan