Lagi-Lagi Pulang Dengan Bus

Untuk menghadiri perjamuan pesta rakyat di kampung halaman, dan sebagai warga negara yang baik, saya pun memilih izin sejenak dan melaksanakan kewajiban saya pulang. Dan disebabkan oleh kelelahan yang menumpuk, kali ini saya tidak ingin menggunakan sepeda motor untuk menempuh jarak 200 Km.

Pengalaman sebelumnya mengajarkan, saya sebaiknya menghindari bus biasa – karena tidak kuat dengan asap rokok yang menghiasi setiap sudut pandang. Saya sebenarnya ingin mencoba bus DAMRI, tapi apa boleh buat yang lewat justru PO Ak*s As*i, karena tidak ingin terlalu malam tiba di rumah, nekat pun menjelma memasuki lorong kecil di antara tempat duduk yang mendingin dan berhimpitan.

Perjalanan saya dengan bus ekonomi antar provinsi ber-AC pun dimulai. Saya tidak berharap bus ini bersih, karena demikianlah kondisi nyata di negeri ini. Tapi begitu mau mengambil tempat duduk yang tersisa, lantai di bawahnya dihiasi mozaik bekas muntahan penumpang sebelumnya, dan sudah mengiring karena AC yang begitu menggigilkannya, menghasilkan relief dengan corak khas jeli kering dan aroma yang lebih khas lagi. Saya tidak ingin membahasanya lebih lanjut, karena mungkin akan merusak  selera makan Anda sekalian.

Yah, saya pun lagi-lagi menyingkir ke sisi yang aman, dari tiga kursi berjejer sempit yang kini saya kuasai semuanya – puas memang setidaknya ini tidak berjejalan – pun karena saya sepertinya memiliki sedikit keberuntungan.

Tak lama berselang, bus melaju dari Kota Genteng ke Kota Jajag, suasana sayup membuat saya segera memejamkan mata saya. Tak lama berselang, ada sesuatu yang membuat saya merasa tidak nyaman. Suara berdendang, awalnya dalam kondisi setengah sadar, saya kira itu adalah suara VCD atau sejenisnya yang diputar untuk para penumpang, karena beberapa saat sebelumnya – entah kapan dari kesadaran saya yang sayup – hujan mulai turun.

Ternyata itu adalah sekumpulan gendang yang dipukul – mungkin – berirama, dan suara bongsor yang saya tidak jelas dengar. Saya kembali terlelap, sampai ada siluet tangan bertato tiba-tiba muncul, dan ternyata bukan dari mimpi saya. Dengan acak saya mengambil recehan yang ada di saku jas saya, dan memang disiapkan untuk pengamen. Tapi kemudian dikembalikan oleh si pengamen, sepertinya (kondisi setengah sadar), saya dengar dia mengatakan “ini seratus mas” – ah, mungkin dari koin acak yang saya berikan, ternyata di dalam ada seratus perak.

Mungkin tidak semua orang pernah merasakan bekerja keras dengan bayaran yang sedikit, atau bekerja untuk orang lain tanpa dibayar sekali pun. Pun demikian, tidak berarti semua pengamen itu melulu mengganggu. Pengamen terakhir yang terakhir naik, mengikuti bus sampai beberapa kilometer, dia melantunkan lagu yang berlomba berderu dengan suara mesin tua yang saling meniadakan. Hanya saja petikan gitarnya masih bisa terdengar dengan sangat jelas, dan ia tampak begitu menikmati dirinya yang bernyanyi – untuk yang ini, saya bisa sisihkan lebih banyak.

Sesekali berhenti di terminal atau halte tak resmi (saya sebut demikian karena memang tidak ada bentuk fisik haltenya). Kadang tidak hanya penumpang, para penjaja asongan juga naik, saya rasa ini adalah keunikan di Pulau Jawa, karena saya tahu apa terjadi juga di tempat lainnya. Yah, di Bali ada, tapi tidak seramai di Jawa.

Intinya perjalanan dengan bus ekonomi, kecuali jika sudah melewati batas lelah, jarang sekali bisa beristirahat dengan lelap. Bagi yang memiliki watak yang selalu was-was, maka bisa jadi lebih tidak bisa tidur lagi. Karena terlelap sebentar, barang bawaan bisa hilang.

Sebenarnya, setidaknya saya ingin terlindung dari hujan dan bebas asap rokok. Tapi ternyata, harapan memang tidak seindah kenyataan. AC yang disetel super dingin hanya dengan beberapa penumpang membuat saya menggigil, saya memang orang yang tidak tahan dingin. Dan ternyata, setelah menyeberang ke Bali, saya mencium aroma rokok yang khas. Saya tidak bisa menemukan pelakunya, karena asap rokok terdispersi dengan cepat di dalam ruang ber-AC, jadi meski hanya menyala untuk dua tiga kali hisapan, aromanya akan menyebar ke seluruh penjuru ruangan dengan merata.

Kepala saya sudah pening dan jalanan di daerah Tabanan membuat semuanya semakin tidak mengenakan. Perjalanan dari pukul 15.00 WIB berakhir sudah di Terminal Mengwi pada pukul 23.00 WITA. Jika saya perkirakan, mungkin ini tidak berbeda dengan mengendarai sepeda motor, perlu waktunya juga sama saja, hanya saja sepeda motor jika tidak yang tua seperti saya, mungkin bisa lebih cepat lagi.

Saya dijemput adik dan tidur di pondok di persawahan tidak jauh dari terminal provinsi. Bentangan Bima Sakti di angkasa begitu hanya sedikit tertutup awan, sehingga malam itu begitu menyegarkan. Pukul 00.00, saya memilih tertidur, dan paginya disambut oleh awan cerah di Timur Laut.

Sunrise
Pagi disambut dengan lembayung menyala di ufuk Timur Laut. Seperti wajah Budha yang menyambut matahari.

4 tanggapan untuk “Lagi-Lagi Pulang Dengan Bus”

  1. Saya selalu menghindari naik bus mas. Jarak kampung saya dari kota tempat tinggal saya sekarang itu lebih 300 km. Kalau mau pulang dengan bus saya akan berpikir 2 kali, sekalipun dengan bus AC yang bersih. Selama ini saya lebih suka naik motor, meskipun kecapean duduk lama, tapi masih lebih baik dibanding harus mual2 hingga muntah di perjalanan 😀
    Salam kenal 🙂

    Suka

    • Kalau sedang cerah, saya juga akan memilih menggunakan sepeda motor. Karena benar-benar pilihan yang buruk menggunakan bus. Ada sih travel, tapi rasanya terlalu malam untuk perjalanannya.

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.