Orang-orang biasanya menghindari stres, tapi beberapa mungkin tidak akan bisa menghindarinya dan memilih menghadapi serta beradaptasi dengannya. Banyak penyakit datang dari stres, orang mungkin sering mendengarnya, tapi kadang terlalu meremehkannya.
Dalam situasi klini, saya sering kali menemukan pasien-pasien yang menyadari bahwa diri mereka sedang stres. Kesadaran ini sebenarnya baik, akan tetapi kemudian banyak yang melihat bahwa diri mereka tidak bisa lari dari stres tersebut. Tentu saja, saya setidaknya bisa sedikit banyak paham situasi mereka, karena meskipun oleh pencetus yang berbeda, saya tetaplah manusia yang selalu mendapatkan tantangan dan tekanan. Kalau dikembalikan, mungkin itulah kehidupan.
Mengenali stres adalah hal yang baik, setidaknya lebih baik daripada tidak menyadarinya atau menyangkalnya, itu menurut saya. Tapi mengenali stres tidaklah cukup, karena itu tidak akan membuat kita menyelesaikan isu ini. Jika ada kesempatan berikutnya, saya tertarik untuk berbagi dan mendapatkan masukkan bagaimana sebaiknya kita mengatasi stres.
Kali ini, saya sedikit fokuskan tentang, mengapa stres berdampak buruk pada kesehatan kita.
Era saat ini, manusia memiliki kesibukan yang sedemikian padatnya. Stres sudah bisa dikatakan pendamping keseharian. Tapi kita tidak perlu berpikir bahwa stres harus hilang. Mekanisme stres sering menyalamat kita di saat kita mungkin tidak menyadarinya, misalnya saat gempa bumi, stres membuat kita bisa bereaksi dengan segera mencari tempat perlindungan yang aman.
Sayangnya, hal-hal lain seperti tugas kantor, ujian di sekolah, cicilan kredit, hingga hubungan asmara yang memburuk bisa menimbulkan respons yang sama. Jika pencetusnya bersifat jamak dan berada dalam periode waktu yang sama, maka inilah stres yang menumpuk. Anda mungkin pernah mendengar kematian karena kerja berlebihan?
Secara psikologi banyak orang tidak bisa menyingkirkan stres dari pikiran mereka, ini membuat hormon stres (seperti kortisol) bekerja secara berkelanjutan. Ibaratnya sebuah lampu yang dinyalakan, manusia tidak menemukan saklar untuk mematikan respons stres mereka. Kita bisa membawa stres sepanjang hari, bahkan hingga saat tertidur. Padahal ini memengaruhi banyak hal dalam tubuh, mulai dari detak jantung hingga ketegangan otot-otot.
Cukup sederhana jika masalahnya hanya sampai pada pundak yang terasa sering tegang dan letih, kelelahan yang berkepanjangan. Di balik itu, stres juga mengancam kita dengan menurunkan sistem kekebalan tubuh, menurunkan jumlah sel-sel darah putih serta reaksi peradangan yang mendukungnya. Hal ini akan membuat seseorang rentan terhadap penyakit dan sakit. Bahkan dunia medis menduga, stres juga berkaitan dengan lebih mudahnya seseorang terserang kanker (tumor ganas).
Saya dengar sejumlah penelitian menunjukkan mereka yang stres memiliki plak di dalam pembuluh darahnya lebih tebal dibandingkan yang bisa mengelola stres mereka dengan baik. Hal ini tentu saja berimplikasi bahwa mereka dengan stres akan lebih mudah terkena serangan jantung. Dan jika stres juga memengaruhi fungsi sistem saraf di otak, terutama area ingatan dan belajar; jadi ada alasan bagus kenapa jika orang takut ujian, dia malah bisa lebih sulit belajar dan mudah lupa apa yang sudah dipelajari. Apalagi jika stres juga mengganggu kualitas tidur seseorang.
Satu cerita lagi, di dalam DNA kita terdapat bagian yang bernama telomere, bagian ini akan semakin memendek ketika sel membelah, dan inilah bagian yang berperan dalam proses penuaan. Mereka yang stres mengalami pemendekan telomere lebih cepat dari pada yang tidak begitu stres. Dan jika Anda bertanya kenapa orang yang hidupnya stres lebih cepat tampak tua dan meninggal, mungkin DNA kita menyimpan jawaban untuk itu.
Lalu bagaimana kita “melawan” stres ini? Ah, mungkin jawaban klasik selalu ada, karena “cinta” menyelamatkan semuanya. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kita mungkin akan membahas hal tersebut lain kali. Dan berikut adalah video yang membuat saya terinspirasi menulis tentang hal ini.
Tinggalkan Balasan