The landing turtle beach – Sukamade, merupakan salah satu yang akan menjadi berlian dari three diamonds yang dimiliki Provinsi Jawa Timur di samping Bromo dan Plengkung. Sukamade menjadi sebuah ekowisata yang menarik, karena di dunia tidak banyak pantai pendaratan penyu yang memiliki spesies penyu yang cukup banyak, baik yang asli maupun “tamu”.
Masih dalam bagian Taman Nasional Meru Betiri, maka untuk mencapai Sukamade dari sewaktu saya masih di Banyuwangi tetap melewati jalur yang juga mengantarkan kami ke Pantai Teluk Hijau (Green Bay). Saya kira tidak sempat mengunjungi pantai Sukamade ini, tapi berkat dr, Laili dan famili, saya bersama dr. Dina & dr. Irma bisa menikmati liburan di sini.Ini akan menjadi tulisan kenangan dengan sejumlah foto (yang narsis). Kisah kami berawal dari Kota Genteng di Banyuwangi, berangkat menggunakan kendaraan Jeep™ 4WD, karena medan yang dituju sudah tidak ramah lagi untuk kendaraan bermotor (sebenarnya saya kira masih bisa lewat, tapi kesulitannya untuk motor biasa bisa membuat stres jika tidak sedang mencari ketegangan).
Awal perjalanan kami singgah di Pantai Rajegwesi. Udara segar dan tentu saja beraroma laut, sebentar di sini untuk melemaskan kaki adalah ide yang baik.
Pemberhentian berikutnya adalah kembali di Teluk Hijau. Pas ketika tiba pada siang hari, menjadi tempat yang nikmat untuk melakukan santap siang. Sayangnya mendung tebal dan gerimis sudah memburu kami ketika itu, padahal jalur naik turun untuk mencapai Teluk Hijau lumayan membuat perut yang terisi menjadi kosong kembali.
Perjalan di medan yang berat berlangsung cukup lama, keluar masuk hutan dan perkebunan lokal, beberapa dusun kecil yang mungkin tidak memiliki aliran listrik dan jelas tidak ada sinyal telepon seluler di sini. Sehingga bagi Anda yang pergi berkunjung ke Sukamade, pastikan bahwa Anda tidak memiliki janji menelepon atau menerima telepon selama itu.
Objek wisata Sukamade memiliki wisma atau penginapan yang cukup terawat, memiliki satu kantin yang saya rasa cukup menyelamatkan ketika pun hanya tersedia mie instan di sana. Anda mungkin ingin membawa air minum mineral sendiri dari rumah, hanya saja dipastikan agar sampahnya juga tidak merusak lingkungan.
Setibanya di sana, saya kelelahan dan terlelap sebentar (foto waktu tidur sengaja tidak ditampilkan demi menjaga selera makan pembaca), lalu sorenya sudah siap untuk berpose kembali.
Bangunan penangkaran tukik memastikan setiap telur penyu yang menetas merupakan proses penetasan yang semi natural, dibuat seperti di alam mereka sendiri, hanya saja di bangunan yang terlindung dari para predator di luar sana. Bagaimana pun pengembangan aktivitas manusia telah mengurangi ruang hidup bagi para predator di alam liar, sehingga mereka terdesak ke pinggiran pantai dan balik mengancam ekosistem penyu yang ada di sana.
Petugas penangkaran akan memilih tukik-tukik yang siap dilepas ke alam mereka. Dan ini adalah ekowisata yang menarik banyak wisatawan, baik lokal maupun internasional.
Dari area penangkaran, kami berjalan membelah hutan sekitar satu kilometer lagi menuju Pantai Sukamade. Di sini pantai yang indah menunggu kami. Jarang sekali ada pantai yang benar-benar terlihat tidak terjamah peradaban manusia, walaupun banyak manusia lalu lalang di sini.
Pantai ini tampak tersembunyi, dan saya mungkin masih belum tahu, kenapa para penyu memilih mendarat di sini, padahal mungkin banyak pantai serupa.
Maka singkat cerita, ritual melepas tukik pun berlangsung. Begitu dilepas, tukik-tukik ini akan mulai merangkak menuju laut. Mereka mungkin tidak akan bergerak dengan cepat, terkadang berhenti sejenak. Petugas yang mendampingi kami mengatakan bahwa mereka memang dilepas agak jauh dari bibir pantai. Tukik-tukik ini perlu mengunggah dulu karakter pantai yang akan mereka tinggalkan, dan suatu saat ingatan yang mereka bentuk akan membuat mereka bisa kembali lagi ke pantai ini.
Kadang sangat baik rasanya membantu mereka segera sampai di pantai, apalagi begitu dilepas predator alami seperti elang akan langsung berdatangan. Pun demikian, elang bisa datang 2-4 kali dan menyambar beberapa ekor tukik, baik yang masih merangkak di pasir ataupun yang sudah berenang di lepas pantai. Membawa anak tukik ini cepat ke pantai tidak akan menolong mereka dari predator, tapi justru bisa membahayakan mereka jika mereka tidak sempat mengingat pantai di mana mereka harus kembali.
Tukik-tukik kecil ini lucu & menggemaskan, Anda mungkin ingin memilikinya satu di rumah. Tapi rumah kita bukanlah rumah di mana mereka bisa tinggal. Entah berapa dari tukik-tukik kecil ini yang kami lepas di sore itu akan tumbuh menjadi penyu dewasa, dan berhasil kembali untuk bertelur lagi di pantai Sukamade. Jika 20 tahun lagi kami kembali ke sini, mungkin kami beruntung menemukan salah satu dari mereka datang kembali bertelur, meski kami mungkin tak akan mengenalinya.
Predator akan senantiasa memburu mereka, dan predator yang paling berbahaya mungkin adalah kita, manusia. Penyu merupakan salah satu komiditas pangan yang marak diperjual belikan di daerah pantai. Di Bali sendiri, tempat asal saya, daging penyu merupakan salah satu menu masakan laut yang paling lezat, jadi tidak heran peminatnya banyak. Tapi kini keberadaan penyu makin terancam, sudah waktunya kita membatasi menjadikan penyu sebagai komoditas ekonomi kita.
Ketika sore berlalu, dan tukik-tukik sudah seluruhnya meninggalkan pantai (baik yang ke laut ataupun ke alam lainnya), maka yang tersisa adalah suara deburan ombak dan ketenangan pantai yang dibalut senja. Meluruskan kaki atau berguling-guling di atas pasir menjadi begitu menenangkan, seakan-akan pantai ini adalah miliki pribadi (tentu saja privatisasi pantai adalah hal yang dilarang). Senja di sini tidak akan terlupakan.
Kembali ke pusat dan penginapan di Resort Sukamade, ada waktu santai sampai malam sekitar pukul 22.00, di mana acara jurit malam melihat penyu berlabuh & bertelur bisa dilakukan. Penyu-penyu biasanya datang pada malam hari. Pada bulan Juli – September biasanya Sukamade penuh dengan wisatawan asing yang ingin melihat penyu bertelur dengan mata kepala mereka sendiri di alam liar, sambil mungkin merasakan kehidupan pedesan di pelosok Indonesia.
Malam harinya kami menyusuri jalan yang sama, tentu saja rasanya berbeda, karena gelap gulita dan itu di tengah hutan. Kami disertai pemandu, karena beberapa hewan liar bisa membuat kami tidak siap, misalnya monyet ekor panjang (yang untungnya tidak nokturnal), atau jika kurang beruntung mungkin berpapasan dengan macan tutul, tapi kasus ini langka. Pemandu yang terlatih bisa mengajari kami membedakan beberapa jejak hewan liar di malam hari, termasuk bagaimana melalui hutan tanpa pencahayaan buatan dengan mengandalkan mata dan jejak alami yang berpendar di tempat yang gelap gulita.
Kami menunggu sambil berbaring di pantai, sementara lampu dan senter tidak boleh dinyalakan karena akan membuat takut penyu yang hendak mendarat untuk bertelur. Saat itu langit tertutup mendung tebal, dan kadang hujan mengguyur. Entah kenapa kami begitu betah (walau saya sendiri mungkin tidak akan tahan lama-lama di dalam udara dingin). Sampai akhirnya beberapa pemandu meminta kami bergerak menyisir pantai ke arah Barat, mungkin sekitar dua kilometer lagi kami berjalan sampai menemukan penyu yang hendak bertelur.
Selama penyu bertelur, yang mengambil gambar tidak diperkenankan menggunakan lampu kilat. Sayangnya kamera saya tidak cukup bagus digunakan pada pencahyaan rendah. Tapi lupakan gambar, melihat penyu bertelur dari jarak begitu dekat adalah pengalaman tersendiri. Mulai dari menggali sarang, bertelur, menutup sarang, hingga membuat kamuflase sarang yang berguna untuk menipu predator, proses ini lama, berjam-jam, tapi sungguh luar biasa.
Langit yang diguyur hujan perlahan menjadi cerah, bintang-bintang yang cemerlang menghiasi gulitanya malam laksana jutaan berlian di atas sana. Sudah lama sekali sejak terakhir kali saya melihat bima sakti (milky way) membentang di langit dengan indahnya. Sebuah pemandangan langit yang nyaris tidak pernah bisa didapatkan di tempat yang sudah dimukimi oleh manusia.
Setelah penyu kembali selesai bertelur, sarang teluru ditandai agar tidak terkelabui oleh kamuflase, kemudian petugas bisa mengambil telurnya untuk dipindahkan ke sarang buatan di penangkaran. Kemudian penyu diukur dan diidentifikasi untuk pendataan, dan dibiarkan kembali ke laut. Kami bisa membantu menghitung dan menyimpan telur yang jumlahnya lebih dari 100 butir tersebut.
Pulangnya sudah dini hari, dan udara mungkin mencapai temperatur terdinginnya. Menikmati langit dan malam beramai-ramai, sambil mendengarkan suara ombak dan melintasi hutan. Saya rasa tidak ada yang kurang untuk sebuah ekowisata. Kami juga melihat bagaimana jejak penyu di pantai, dan sekali melihat langsung, saya rasa kita tidak akan lupa jejak penyu yang khas tersebut. Jika Anda ingin tahu seperti apa jejak penyu, nah bisa langsung datang ke Pantai Sukamade, ada banyak paket tur yang menyediakan wisata ke wilayah Taman Nasional Meru Betiri.
Dan segera, mimpi menjadi pengait terakhir kami sebelum pagi menjemput kembali.
Memang pagi yang datang memuaskan, bahkan membuat kelelahan itu seperti sesuatu yang bukan apa-apa. Saya sudah membayangkan bahwa pagi itu akan kembali ke Banyuwangi, sore dan malamnya akan berkendari lagi sepanjang 200 Km dengan sepeda motor ke Bali, dan paginya mengejar pesawat ke Yogyakarta. Tentunya kelelahan dari waktu yang lampau dan yang akan datang sudah menerkam saya terlebih dahulu.
Kami pulang, dan singgah di beberapa tempat untuk istirahat. Dan kisah ini berakhir di sini.
Tinggalkan Balasan