Beberapa hari yang lalu, saya mengikuti pertemuan yang diadakan oleh BPJS Kesehatan cabang utama Yogyakarta. Sejumlah topik di bahas di dalamnya, salah satunya adalah bagaimana penerapan sistem EBM dalam penggunaan FORNAS. Mengapa isu ini menarik bagi saya, karena ini sering kali muncul di lapangan klinisi sehari-hari saat berhadapan dengan terapi bagi pasien pengguna BPJS Kesehatan.
Misalnya saja sebuah pertanyaan pasien yang muncul ketika hendak menebus obat yang kurang lebih akan seperti ini:
“Maaf, kenapa obat saya tidak ditanggung oleh BPJS?“
Anda familiar dengan pertanyaan seperti itu? Mungkin peserta BPJS Kesehatan akan cukup sering mendengarnya, apalagi para staf pelayanan di fasilitas kesehatan lanjutan yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Formularium nasional atau FORNAS merupakan seluruh daftar obat yang bisa dikatakan direkomendasikan (dan tentu saja ditanggung) oleh BPJS Kesehatan. Apa semuanya merupakan obat generik? Apa tidak ada obat paten? Apa semuanya obat murah? Apa obat mahal tidak ditanggung?
Saya sendiri tidak melihat langsung isi FORNAS secara mendetail, jika Anda hendak melihat isi formularium nasional, saya rasa beberapa contohnya ada di Internet, dan bisa ditemukan dengan bantuan mesin telusur. Pada intinya, formularium nasional selalu berkembang, apa yang ada sekarang tentu saja bisa berubah ke depannya, dan bisa ditambah lagi. Kenyataannya tidak semua obat generik melulu di dalamnya, namun juga ada obat paten, ada obat yang bernilai puluhan juta rupiah juga.
Jika Anda atau dokter Anda ingin mendapatkan obat Anda berada di dalam formularium nasional, silakan mengajukan nama obat tersebut ke komite nasional formularium nasional. Hanya saja, saya tidak tahu ke mana harus menuju untuk menemui komite nasional ini.
Jangan lupa, lampirkan alasan dan sumber/bukti penelitian ilmiah terkini, mengapa Anda ingin obat Anda juga ada di dalam FORNAS. Karena komite ini bekerja sebagaimana dokter pada umumnya, menyediakan obat atau terapi sesuai dengan evidence based medicine.

Pemberian terapi pada pasien selalu berpatokan pada 3 hal mendasar:
- Bagaimana keahlian seorang klinisi dalam memberikan terapi.
- Bukti klinis terbaik yang tersedia.
- Apa yang terbaik sesuai dengan harapan pasien.
Ketiga pilar ini harus terpenuhi, sehingga pasien mendapatkan perbaikan pada hasil akhir terapi secara umum. Dokter memberikan terapi sesuai dengan keahliannya, berarti dokter tidak dapat memberikan terapi pada sesuatu yang di luar kompetensinya. Jika terdapat dua bukti klinis yang saling berseberangan hasilnya, maka bukti klinis yang paling kuat dan paling baik digunakan. Dan terakhir, apakah obat tersebut terjangkau, efektif, dan efisien, serta sesuai dengan harapan pasien dalam terapinya.
Seorang dokter jantung tidak akan memberikan terapi atau pengobatan bagi pasien patah tulang, misalnya melakukan operasi perbaikan patah tulang betis. Semua ada jalurnya masing-masing. Sehingga di sini BPJS Kesehatan menerapkan jenjang rujukan yang sesuai, ke mana Anda selayaknya berobat. Misalnya ada pasien yang bersikeras di periksa oleh dr. A untuk sakitnya, padahal dr. A bukan ahli yang berada dalam bidangnya untuk melakukan terapi kondisi si pasien, dan obat yang diperlukan tidak boleh diresepkan oleh dr. A, namun diresepkan oleh dokter lain yang berkompetensi. Maka Anda akan tahu alasan mengapa BPJS Kesehatan tidak akan menanggung pasien yang memilih dokter secara “sewenang-wenang” tanpa melalui jalur rujukan. Apa Anda ingin diopersi jantung oleh seorang dokter bedah tulang, atau sebaliknya?
Bukti klinis yang tersedia adalah perdebatan yang panjang dan lebar di dunia kesehatan. Saya dengar bahkan acap terjadi debat hebat di rapat komite untuk menentukan apakah sebuah obat bisa masuk ke dalam formularium nasional atau tidak dengan melihat bukti ilmiah terkuatnya.

Jika Anda melihat gambaran di atas, maka menentukan bukti ilmiah terbaik tidaklah mudah, dan tidaklah murah. Ada pihak A, datang mengajukan bahwa obat mereka seharusnya masuk formularium nasional karena ada di buku pelajaran kedokteran, atau ada di standar prosedur operasional sebuah fasilitas layanan kesehatan (yang notabene sudah ditentukan sejak turun menurun), atau dokter spesialis yang dikenal pihak A berkata demikian; maka jika ada pihak B mengatakan bahwa obat pihak A sebenarnya tidak bermanfaat jika dilihat dari bukti meta-analisis terbaru, maka obat tersebut dinyatakan tidak bermanfaat. Lalu apakah obat yang tidak bermanfaat sesuai dengan hasil yang diharapkan akan tetap dimasukkan ke formularium nasional? Anda sendiri bisa menduganya.
Yang berada di puncak piramida adalah yang paling berkuasa menentukan bukti ilmiah terkuat dari sebuah terapi, termasuk obat-obatan di dalamnya.
Tapi memang apa daya, kebanyakan masyarakat berpikir bahwa mereka tidak akan sembuah dengan obat murah; mereka ingin obat paten. Saya sendiri tidak tahu mengapa mereka ingin obat paten, padahal bisa jadi tidak ada obat paten yang sesuai dengan kondisi atau penyakit mereka. Obat paten yang beredar jumlahnya sangat sedikit, beberapa untuk mengobati kanker. Anda tentu tidak ingin hanya karena sakit demam tifoid, lalu diberi obat kanker bukan?
Ada sejumlah obat yang memang dibatasi atau tidak ada di formularium nasional. Saya tidak ingat apa saja, tapi coba saya tuliskan yang saya ingat.
Pertama adalah obat-obatan trasional. Kita tidak akan menemukan jamu di dalam formularium nasional. Jika Anda menginginkan pengobatan tradisional, maka negara kita memiliki industri obat tradisional yang bisa dimanfaatkan, tapi tentu saja tidak dengan layanan BPJS Kesehatan.
Lalu obat-obatan yang tidak sesuai peruntukannya. Selalu ada pasien yang meminta obat tertentu, tapi obat itu tidak ada hubungannya dengan kondisinya, semisal obat penenang dan sebagainya. Tentu saja yang seperti ini walau ada di dalam formularium nasional, tapi tidak akan diberikan jika tidak sesuai dengan indikasinya.
Obat-obat tipe OTC, atau obat warung. Masyarakat kita saat ini agak kurang mandiri dalam menjaga kesehatan. Lihat saja, berapa banyak keluarga yang memiliki apotek hidup di halaman rumah mereka? Jangan tanya saya, saya yang tinggal di perumahan sempit juga tidak punya. Jika sakit yang ringan, seperti flu, batuk alergi, masuk ingin, kelelahan, dunia kesehatan kita berharap masyarakat dapat menangani itu secara mandiri; silakan istirahat yang cukup, bantu dengan obat murah di warung, kondisi akan membaik dengan perawatan yang tepat, bukan buru-buru lari ke dokter.
Dunia kesehatan kita memiliki jumlah tenaga kesehatan yang terbatas, jika semua orang dengan sakit yang meringan antre di puskesmas. Bayangkan mereka yang benar-benar sakit keras dan perlu penanganan dokter yang harus antre di antara orang yang seharusnya bisa mandiri mengobati diri mereka sendiri.
Obat-obat generik berlogo/bermerk atau branded medicine, yang sering masyarakat dan tenaga medis salah kaprah mengenalinya sebagai obat paten. Saya tidak tahu apakah seluruh obat generik berlogo tidak ada di formularium nasional. Oleh karena obat generik berlogo memiliki harga yang jauh lebih mahal, dari beberapa kali hingga puluhan kali lebih mahal, maka secara ekonomi tidak dipertimbangkan untuk dijadikan pilihan. Anda bisa mendapatkan air mineral di toko kecil dan di hotel mewah atau kapal pesiar mewah dengan merk yang berbeda dan harga yang berbeda, tapi khasiat yang dimiliki sama saja.
Obat generik berlogo juga memiliki peredaran yang terbatas. Tidak semua merek ada di nusantara, berbeda dengan obat generik pada umumnya. Misalnya saya membuat merek paracetamol sendiri, namanya cahyamol, isinya paracetamol 500 mg, tapi hanya beredar di Pulau Jawa, Sumatera, dan Bali. Kalau ini dimasukkan ke dalam formularium nasional, maka yang di Papua, Maluku, Kalimantan, NTT, dan sebagainya tidak akan bisa mengaksesnya. Padahal paracetamol sendiri yang isinya sama ada hampir di mana-mana.
Sejumlah obat memiliki aturan penyimpanan sendiri, mereka dijual per paket dengan paket yang terstandar. Tapi untuk mengakali pasar, sejumlah obat ini dijual secara eceran, hasilnya akan merusak kualitas obat ketika kemasannya dibuka. Obat-obat yang berpotensi seperti ini juga biasanya tidak dimasukkan ke dalam formularium nasional. Untuk apa minum obat, tapi obat itu sudah kehilangan khasiat?
Obat-obat yang tidak memiliki dasar klinis yang jelas kegunaannya. Sejumlah obat yang cuma “dipercaya” berkhasiat, tapi hasil penelitian menunjukkan hal yang berbeda. Tentu saja yang seperti ini tidak akan digunakan.
Lalu ada suplemen dan vitamin. Bahkan jika Anda membaca-baca di WebMD atau sejenisnya, vitamin mulai dikurangi penggunaannya. Anda bisa menggunakan sumber-sumber alami yang lebih baik dan terjangkau. Sehingga suplemen dan vitamin tidak dimasukkan ke dalam formularium nasional, terutama yang seperti poin di atas, yang berlogo dan yang cuma “dipercaya”.
Dan tentu saja, obat-obat yang dinilai dilepas di pasaran dengan harga yang terlalu mahal. Dan pihak pemegang hak distribusi obat tidak mau menekan harganya untuk program BPJS Kesehatan.
Singkat kata, dari pertemuan dengan pihak BPJS Kesehatan tersebut, pihak fasilitas kesehatan lanjutan yang bekerja sama diminta untuk bijaksana dalam memanfaatkan obat yang tersedia dalam formularium nasional. Dengan keterbatasan isi formularium nasional yang sedang terus dikembangkan, pihak rumah sakit diharapkan memberi masukkan terhadap isi formularium ini. Jika rumah sakit hendak menggunakan obat di luar formularium nasional untuk pasien BPJS Kesehatan, hal tersebut tidak dilarang, hanya saja ada ketentuan yang mesti diatur oleh kebijakan internal rumah sakit.
Memperbincangkan tentang isu ini tidak akan pernah berakhir, namun tulisan ini akan saya akhiri di sini terlebih dahulu.
Tinggalkan Balasan