Saya mungkin sudah pernah memberikan kredit pada Linux yang satu ini saat bisa menjalankan komputer lawas kami. Kini saya akan menceritakan sedikit kisah tentang bagaimana saya membuat LXLE tampil sesuai selera saya, yang bermakna bekerja seperti apa yang saya inginkan juga. Paragraf kedua berikut menceritakan latar belakang mengapa saya memilih LXLE, bagi yang tidak berminat, silakan langsung melompat ke paragraf ke-3.
Dalam usia saya saat ini, hampir 10 tahun menggunakan Linux, sudah bukan waktunya lagi gonta-ganti distro, namun lebih memilih stabilitas. Saya suka Ubuntu, tapi bukan penggemar, sehingga LXLE yang merupakan turunan Ubuntu, saya pilih bukan karena saya penggemar desktop ini. Saya tetap menggemari si green geeko, tapi berhubung yang bersangkutan sedang beralih ke Btfrs
, saya menunda dulu hubungan dengan openSUSE setidaknya hingga satu siklus – saya rasa sudah cukup bijak. Kemarin saya sempat mencoba mengganti dengan Windows 10 Technical Preview, tapi setelah selesai memasang, saya kecewa dengan sistem dan performanya – Windows 8 dan 8.1 masih jauh lebih baik (yah, namanya juga pratampil teknis yang gratis). Jadi saya mencoba mengambil apa saja yang acak yang bisa digunakan pada mesin low-end saya, pilihan jatuh ke LXLE.
Mengapa memilih LXLE? Ada beberapa alasan yang saya tarik, sebagaimana di bawah:
- Berbasis Ubuntu, bermakna saya tidak perlu belajar dari nol untuk segera menggunakannya dalam kondisi produksi (productive state).
- Dukungan PPA yang bermakna saya bisa sedikit melalang-buana.
- Dekstop basis LXDE belum jamak saya jajaki, sehingga ini kesempatan baik mengenal LXDE.
- LXDE ringan untuk mesin saya, ASUS X201E (Dual-core 1.0GHz, 4GB RAM DDR3), yang memang dirancang untuk Ubuntu.
- Dengan LTS, bermakna dukungan agak panjang, bisa bernapas jika lagi malas memasang di kadal hijau.
- Out of the box, seperti Linux Mint, hanya saja – saya memang tidak suka Mint (itu saja). LXLE terasa lebih beraroma open source, walau saya sendiri tidak berpatok pada itu.
LXLE tampil sederhana, seperti Windows XP atau 98 secara asalinya, dengan program dan aplikasi yang sudah siap pakai. Pengguna nyaris dibuat tidak perlu menambah apapun lagi sehingga sudah cukup produktif. Tapi saya menginginkan yang seperti saya biasa gunakan, dan Anda bisa menyebutkan sebagai modifikasi, penyesuaian, dan sebagainya.
Secara visual, tampilan LXLE 14.04 yang saya gunakan adalah seperti:

Pertama kali tentu saya akan melihat kompatibilitas perangkat keras (hardware), saya rasa tidak ada masalah; karena mesin saya sejak dulu memang didesain untuk Ubuntu. Saya hanya memastikan bahwa saya sudah menggunakan edisi 64-bit. Saya memasangnya menggunakan USB FlashDisk, dan memang menyedihkan harus saya akui, bahwa saya masih membuat live-usb menggunakan Linux Live Creator yang dipasang di Windows 8.1 di laptop satunya lagi. Kadang alat favorit untuk memulai Linux justru ada pada Windows.
Bukan bloatware, tetapi memang karena saking lengkapnya aplikasi dan program yang disertakan, banyak yang saya rasakan tidak diperlukan, atau saya justru terbiasa dengan aplikasi lainnya. Jadi semua aplikasi yang tidak saya gunakan, saya cabut saja.
Sebaliknya aplikasi yang sering saya gunakan seperti Mozilla Thunderbird, VLC, dan InkScape justru tidak ada, maka saya pun memasangnya. Untungnya memang aplikasi ini tidak perlu repot, bisa lewat terminal perintah. Ada aplikasi yang tidak saya pasang lewat terminal, misalnya untuk Dropbox saya lebih suka mengunduh langsung, demikian juga Opera Web Browser edisi Beta yang saya juga di LXLE dan berjalan dengan baik. Sedangkan aplikasi yang rentan seperti Skype, saya memasang melalui Synaptic Package Manager. Ada banyak cara memasang aplikasi di LXLE, dan semuanya merujuk pada induknya, Ubuntu.
Saya juga perlu memasang aplikasi yang tidak pernah saya gunakan, seperti AcetoneISO, karena aplikasi peramban berkas PCManFM tidak bisa langsung melakukan pemasangan (mounting) untuk berkas .iso
. Saya juga memasang WINE untuk bersiap jika emulasi menjalankan aplikasi asali Windows diperlukan. Sambil saya menulis ini, saya masih berusaha memasang yEd untuk menggantikan fungsi Microsoft Visio.
Untuk program saya rasa sekian saja, dan tidak ada masalah banyak. Lalu untuk tampilan? Orang bilang yang penting fungsi, bukan tampilan, tapi dasar saya dominansi otak kanan, sehingga bagaimana pun tampilan menjadi salah satu pertimbangan dominan. Terus terang saya tidak suka tampilan bawaan LXLE, kecuali layar mulai (start screen), kertas dinding (wallpaper) yang melimpah, dan penyimpan layar (screen saver) yang unik.
Seluruh hal yang berhubungan dengan tampilan Ubuntu dan turunannya, maka rujukan yang dijadikan setidaknya adalah Nooslab. Kunjungi situs tersebut, dan ambil semua yang kita inginkan, paling utama tentu saja ikon, tema, dan conky
. Gunakan PPA bawannya, dan pasang yang kita inginkan. Faenza dan Fience sejak dahulu menarik, dan beberapa hal menarik kesukaan Anda bisa ada di sini. Saya menggunakan kombinasi berikut biasanya:
- Pelokalan seluruh ke dalam bahasa Indonesia.
- Widget dan jendela menggunakan Ambiance-XFCE-LXDE.
- Tema ikon menggunakan Faience Ocre.
Itu sudah cukup signifikan merombak banyak tampilan. Jika ingin tampilan agak menyerupai OS X, mungkin cairo d0ck teranyar bisa membantu. Hanya saja tentunya ada harga yang harus dibayar menggunakan tambahan beban ke dalam memori. Tapi jika Anda suka, mengapa tidak?
Memasang conky dari Nooslab agak sedikit perlu trik, setelah selesai memasang, akses dengan perintah: cd && nano .conkyrc
dan pastikan bahwa baris “own_windows_type” bukan bernilai “overide”, tetapi bernilai “conky”, sisanya sesuai dengan petunjuk. Jadi itulah hal-hal awal yang saya lakukan, sisanya mungkin lanjut dengan bereksperimen lain kali.
Tinggalkan Balasan