Ini adalah sebuah fenomena baru, ketika yang menjalaninya adalah bintang terkenal seperti Angelina Jolie. Dan tentunya peliputan media membuat kasus kedokteran ini menjadi lebih mencuat lagi. Apakah Anda, jika seorang perempuan, bersedia mengangkat seluruh payudara (guna mencegah kanker payudara) dan mengangkat kedua indung telur/ovarium (guna mencegah kanker ovarium)?
Hal ini bisa jadi merupakan sesuatu yang janggal, bahkan tidak hanya di Indonesia sebagai negara berkembang, bahkan di negara maju pun belum banyak ada putusan drastis dalam bidang profilaksis kanker. Apalagi di Indonesia, mengangkat bagian tubuh hanya untuk menghindari penyakit, seperti mengangkat payudara mungkin bisa dianggap tabu.
Kita bisa menemukan perdebatan panjang lebar mengenai hal ini. Anda bisa mengangkat mulai dari nilai moral hingga agama, namun bagaimana jika dilihat dari sudut pandang dunia kesehatan maupun kedokteran?
Pertama, kanker adalah sebuah penyakit yang masih menakutkan bagi banyak orang. Bagi masyarakat umum karena kesan kanker itu mematikan, menyakitkan, dan biaya pengobatan yang sangat besar. Bagi dunia kesehatan karena pengobatan yang sulit, banyak potensi komplikasi, kesembuhan yang sulit dijamin, kekambuhan yang tinggi, penurunan kualitas hidup penderita, hingga beban biaya kesehatan yang besar. Semua jenis kanker pada intinya tidak dikehendaki baik oleh pasien maupun dokter, tapi kenyataannya kanker itu ada, dan jumlah penderitanya tidak sedikit. Anda mungkin bisa menemukan seorang penderita kanker di sekitar lingkungan Anda.
Bagaimana jika kanker tersebut bisa dicegah munculnya? Sehingga sebelum muncul kita sudah bisa membuatnya nyaris tidak akan muncul dalam kehidupan seseorang? Tentunya jika ada obat ajaib yang tidak memiliki efek samping, kita tentu menghendakinya. Sayangnya, imunisasi saat ini belum banyak yang bisa mencegah kanker, HPV misalnya mampu membantu mencegah kanker leher rahim pada perempuan.
Kanker payudara dan indung telur adalah hal yang berbeda. Tidak semua orang memiliki risiko kanker ini, tapi mereka (kaum perempuan) yang memiliki mutasi gen BRCA, yang hanya sekitar 1% perempuan membawa mutasi ini, akan memiliki risiko lebih tinggi memiliki kanker payudara di waktu kemudian. Sehingga tidak semua orang memerlukan tindakan pencegahan yang ekstrem ini.
Lalu apakah menghilangkan organ tubuh yang akan terkena kanker itu cukup umum? Untuk payudara dan indung telur mungkin tidak/belum umum dilakukan. Tapi prinsip pencegahan penyakit serupa banyak dilakukan di dunia kedokteran, sebut saja misalnya kithan atau sunatan, bukankah sudah sejak dulu dilakukan untuk menghilangkan sebagian prepusium guna menjaga kesehatan alat kelamin para pria semenjak dia anak-anak? Atau katakan saja pengambilan bola mata pada balita yang diketahui menderita kanker jenis retinoblastoma, sedemikian hingga kanker tidak merengut nyawa si anak – hal ini sudah dikerjakan sejak lama.
Pertama-tama, seorang perempuan mungkin harus tahu apakah dia memiliki kecenderungan untuk menderita kanker payudara atau indung telur di kemudian waktu. Kecurigaan umumnya terjadi jika ada riwayat keluarga dekat sedarah yang meninggal karena kanker ini. Lalu tes penapis untuk mutasi gen BRCA bisa dijalani guna mengetahui ada tidaknya faktor risiko. Penting untuk ditekankan bahwa tindakan profilaksis yang masih kontroversial ini dilakukan bukan atas ketakutan kanker yang tidak berdasar, namun adanya bukti ilmiah yang kuat bahwa potensi kanker itu memang ada dan mengancam.
Tapi tidak semua orang bisa memiliki akses untuk melakukan tes tersebut, apalagi untuk saat ini di negara kita. Sehingga jika akses tes tidak ada, maka tidak perlu mengkhawatirkan akan memilih atau tidak untuk menjalani tindakan mastektomi atau salpingo-ooforektomi sebagai profilaksis kanker.
Apakah tindakan seperti ini efektif untuk menurunkan risiko kanker? Ya, mungkin sekitar 85% hingga 90%. Katakanlah mereka yang menjadi karier (pembawa) mutasi gen BRCA1 memiliki risiko lebih besar dari 50% terkena kanker indung telur di kemudian hari, maka operasi pengambilan indung telur dan tuba falopi menurunkan risiko tersebut hingga tersisa 5% saja. Anda mungkin akan bertanya, mengapa bisa terkena kanker padahal indung telur sudah diambil? Karena sel-sel yang sama yang berkembang menjadi kanker ovarium juga bisa ditemukan di batasan rongga perut. Operasi ini tidak menghilangkan risiko 100%, tapi jika Anda berisiko tinggi, maka apakah Anda akan tetap tidak mengacuhkan pilihan ini?
Tentu saja selain operasi, ada pilihan yang lain. Misalnya dengan memanfaatkan pil KB untuk mengurangi risiko kanker indung telur hingga tersisa hanya 25% pada mereka yang awalnya berisiko tinggi.
Dan bagi mereka yang ingin (dan tentu saja mampu secara finansial), juga harus mempertimbangkan efek-efek lainnya. Mulai dari efek estetika kehilangan payudara mungkin berpotensi menimbulkan beban psikologis. Hingga efek pengambilan indung telur yang memiliki efek gangguan hormonal, sehingga bisa memunculkan menopause dini. Persiapan harus dilakukan secara matang untuk mengurangi efek-efek yang tidak diinginkan.
Tidak ada perempuan yang ingin kehilangan payudara ataupun indung telur. Tapi apa yang dijalani oleh bintang seperti Angelina Jolie itu membuktikan bahwa muncul suatu kesadaran baru akan bagaimana perempuan berjuang untuk menghindari penyakit yang mematikan meski merelakan bagian yang penting dari kehidupannya. Dan kembali lagi, setiap pilihan selalu memiliki dua sisi yang bertentangan, saya tidak akan berkomentar banyak akan hal ini. Jika Anda meresa di antara orang-orang yang mungkin memiliki risiko terkena kanker lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter keluarga atau ahli onkologi untuk informasi dan sudut pandang yang lebih luas.
Tinggalkan Balasan