Tali pusat pada bayi yang baru lahir umumnya akan lepas setelah satu hingga tiga pekan sampai luka sembuh dengan baik. Mekanisme pemisahan ini melibatkan proses nekrosis, invasi granulosit, infarks, pengeringan, dan aktivitas kolangenasis. Pada hari kedua kehidupan, biasanya muncul sel-sel polimorfonuklear dan bakteri pada umbilikus. Sel-sel ini memainkan peran yang sama dalam pemisahan tali pusat, dan pemisahan bisa tertunda jika terdapat ketidaksempurnaan pada sel-sel ini.
Tali pusat biasanya dikolonisasi oleh organisme yang berasal dari vagina (saat persalinan) dan tangan perawat bayi. Organisme yang paling umum ditemukan di antaranya adalah Stafilokokus aureus dan epidermidis, Streptokokus pyogen, Streptokokus grup B, organisme gram negatif, dan kadang muncul tetanus.
Infeksi wilayah tali pusat dan sekitarnya atau omfalitis merupakan salah satu penyebab paling umum morbiditas dan mortalitas pada neonatus. Oleh karena itu, infeksi tali pusat atau jaringan kulit di sekitar perlu dikenali secara dini dalam rangka mencegah sepsis, terutama jika terdapat faktor predisposisi seperti pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril (Mboi, 2014).
Pada anamnesis umumnya pengantar bayi akan mengeluhkan bayi yang demam/panas, rewel dan tidak mau menyusu.
Pemeriksaan fisik menunjukkan adanya tanda infeksi pada sekitar tali pusat seperti kemerahan, panas, bengkak dan nyeri atau hingga mengeluarkan pus/nanah dengan bau yang tidak sedap. Jika bengkak dan tanda infeksi hanya terbatas pada wilayah kurang dari satu sentimeter dari sekitar tali pusat, akan dikategorikan sebagai infeksi tali pusat lokal/terbatas. Jika melebihi dari satu sentimeter dan/atau menimbulkan hingga menimbulkan bengkak pada perut, akan dikategorikan sebagai infeksi tali pusat yang berat atau meluas. Tanda-tanda umum infeksi juga akan muncul, seperti demam, takikardi, letargi, somnolen, dan bisa juga muncul ikterus.

Terdapatnya temua tanda-tanda fisik di atas sudah bisa menjadi patokan sebagai penegakkan diagnosis klinis omfalitis. Tentunya bentuk lain seperti impetigo bisa jadi muncul.
Perlu dipertimbangkan kondisi pembanding di antaranya kemungkinan tali pusat normal yang mengumpulkan cairan di antara puntung tali pusat dan dinding perut, hal ini dapat menimbulkan bau yang tidak sedap, namun tanpa adanya kemerahan. Pada situasi tersebut cukup dibersihkan dengan alkohol saja.
Epitelisiasi granuloma yang tertunda pada puntung tali pusat bisa saja meninggalkan granuloma pucat berwarna merah muda keabu-abuan yang memiliki rembesan cairan. Terapinya adalah dengan kauterisasi menggunakan stik perak nitrat. Prosedur ini bisa diulangi jika diperlukan. Dan setelah kauterisasi, jauhkan popok dari area tali pusat sementara waktu.
Kembali pada omfalitis, perawatan menggunakan klorheksidin (CHX) tampaknya menunjukkan hasil yang baik (Imdad et al., 2013). Gunakan larutan antiseptik klorheksidin dengan kasa steril untuk menyeka/membersihkan tali pusat beberapa kali dalam sehari. Jika terdapat pus, maka dilakukan hingga pus bersih. Salep antibiotik dapat dipertimbangkan pada infeksi lokal.
Pada kondisi yang lebih luas atau berat, antibiotik oral bisa dimulai walau tidak terdapat gejala sistemik. Antibiotik harus dipilih yang sudah memiliki kemampuan melawan Stafilokokus aureus dan Streptokokus pyogen. Jika lingkungan memiliki riwayat atau catatan munculnya MRSA, maka pasien dapat dirujuk dari fasilitas kesehatan tingkat pertama ke tingkat sekunder untuk mendapatkan perawatan lebih intensif. Jika anak tampak sakit, maka fasilitas kesehatan tingkat tersier dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan sepsis yang lebih rinci dan memulai pengobatan anti-stafilokokus dikombinasikan dengan suatu aminoglikosida. Jika tidak membaik, pertimbangkan MRSA.
Pada kondisi buruk, kemungkinan akan menimbulkan komplikasi seperti necrotizing fasciitis, peritonitis, trombosis vena porta, abses, hingga eviserasi usus spontan.
Pada kondisi tersebut, dokter layanan kesehatan primer dianjurkan untuk segera memberikan rujukan pada rumah sakit terdekat yang memiliki kompetensi dalam menangani kasus komplikasi omfalitis.
Daftar Bacaan Lanjutan:
Imdad, A., Mullany, L. C., Baqui, A. H., El Arifeen, S., Tielsch, J. M., Khatry, S. K., … Bhutta, Z. A. (2013). The effect of umbilical cord cleansing with chlorhexidine on omphalitis and neonatal mortality in community settings in developing countries: a meta-analysis. BMC Public Health, 13(Suppl 3), S15. https://doi.org/10.1186/1471-2458-13-S3-S15
Mboi, N. (2014). Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Menteri Kesehatan Republik Indonesia, 332–337. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004
Tinggalkan Balasan