Lepra adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Penularan kemungkinan terjadi melalui saluran pernapasan atas dan kontak kulit pasien lebih dari 1 bulan terus menerus. Masa inkubasi rata-rata 2,5 tahun, namun dapat juga bertahun-tahun.
No. ICPC II : A78 Infectious disease other/NOS
No. ICD X : A30 Leprosy [Hansen disease]
Pasien umumnya mengeluhkan Bercak kulit berwarna merah atau putih berbentuk plakat, terutama di wajah dan telinga. Bercak kurang/mati rasa, tidak gatal. Lepuh pada kulit tidak dirasakan nyeri. Kelainan kulit tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf tepi.
Banyak faktor risiko yang mendukung munculnya lepra, di antaranya adalah: sosial ekonomi rendah, kontak lama dengan pasien (misalnya ada anggota keluarga menderita lepra), daya tahan tubuh rendah (imunokompromi), tinggal di daerah endemik lepra.
Pada pemeriksaan fisik, tanda pada kulit diperhatikan setiap bercak, bintil (nodul), bercak berbentuk plakat dengan kulit mengkilap atau kering bersisik. Kulit tidak berkeringat dan berambut. Terdapat baal pada lesi kulit, hilang sensasi nyeri dan suhu,
vitiligo. Pada kulit dapat pula ditemukan nodul. Pada pemeriksaan saraf tepi ditemukan penebalan nervus perifer, nyeri tekan dan atau spontan pada saraf, kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak, kelemahan anggota gerak dan atau wajah, adanya deformitas, ulkus yang sulit sembuh.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan mikroskopis kuman BTA pada sediaan kerokan jaringan kulit.
Untuk menegakkan diagnosis, wajib didapatkan satu dari tanda-tanda utama (tanda kardinal), yaitu:
- Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa.
- Penebalan saraf tepi yang disertai gangguan fungsi saraf.
- Adanya hasil basil tahan asam (BTA) dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
Klasifikasi lepra menjadi dua tipe utama, yaitu Pausibasilar (PB) dan Multibasilar (MB).



Pada kasus lepra, diberikan tata laksana menyeluruh yang terdiri dari langkah-langkah berikut:
- Pasien diberikan informasi mengenai kondisi pasien saat ini, serta mengenai pengobatan serta pentingnya kepatuhan untuk eliminasi penyakit.
- Higiene diri dan pola makan yang baik perlu dilakukan.
- Pasien dimotivasi untuk memulai terapi hingga selesai terapi dilaksanakan.
- Terapi MDT (Multi-drug theraphy) pada:
- Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
- Pasien ulangan, dengan golongan:
- Relaps
- Masuk kembali setelah default (bisa PB atau MB)
- Pindahan (pindah masuk)
- Ganti klasifikasi/tipe.
- Terapi pada pasien PB:
- Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
- Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
- Pasien minum obat selama 6-9 bulan (± 6 blister).
- Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, dan DDS 50 mg.
- Terapi pada pasien MB:
- Pengobatan bulanan: hari pertama setiap bulannya (obat diminum di depan petugas) terdiri dari: 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600mg), 3 tablet lampren (klofazimin) @ 100mg (300mg) dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg.
- Pengobatan harian: hari ke 2-28 setiap bulannya: 1 tablet lampren 50 mg dan 1 tablet dapson/DDS 100 mg. 1 blister obat untuk 1 bulan.
- Pasien minum obat selama 12-18 bulan (± 12 blister).
- Pada anak 10-15 tahun, dosis rifampisin 450 mg, lampren 150 mg dan DDS 50 mg untuk dosis bulanannya, sedangkan dosis harian untuk lampren 50 mg diselang 1 hari.
- Dosis MDT pada anak <10 tahun dapat disesuaikan dengan berat badan:
- Rifampisin: 10-15 mg/kgBB
- Dapson: 1-2 mg/kgBB
- Lampren: 1 mg/kgBB
- Obat penunjang (vitamin/roboransia) dapat diberikan vitamin B1, B6, dan B12.
- Tablet MDT dapat diberikan pada pasien hamil dan menyusui. Bila pasien juga mengalami tuberkulosis, terapi rifampisin disesuaikan dengan tuberkulosis.
- Untuk pasien yang alergi dapson, dapat diganti dengan lampren, untuk MB dengan alergi, terapinya hanya 2 macam obat (dikurangi DDS).

Jika terdapat reaksi kusta ringan, maka digunakan pendekatan terapi prednison dengan cara pemberian:
- 2 Minggu pertama 40 mg/hari (1×8 tab) pagi hari sesudah makan.
- 2 Minggu kedua 30 mg/hari (1×6 tab) pagi hari sesudah makan.
- 2 Minggu ketiga 20 mg/hari (1×4 tab) pagi hari sesudah makan.
- 2 Minggu keempat 15 mg/hari (1×3 tab) pagi hari sesudah makan.
- 2 Minggu kelima 10 mg/hari (1×2 tab) pagi hari sesudah makan.
- 2 Minggu Keenam 5 mg/hari (1×1 tab) pagi hari sesudah makan.
Bila terdapat ketergantungan terhadap Prednison, dapat diberikan Lampren lepas.
Pasien dan keluarga diberikan konseling dan edukasi, antaranya seperti: Individu dan keluarga diberikan penjelasan tentang lepra, terutama cara penularan dan pengobatannya. Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan. Dari keluarga diminta untuk membantu memonitor pengobatan pasien sehingga dapat tuntas sesuai waktu pengobatan.
Rencana tindak lanjut:
- Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
- Bila terlambat, paling lama dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
- Release From Treatment (RFT) dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan laboratorium.
- Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko: cacat tingkat 1 atau 2, pernah mengalami reaksi, BTA pada awal pengobatan >3 (ada nodul atau infiltrate), maka perlu dilakukan pengamatan semi-aktif.
- Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
- Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium.
- Default
Jika pasien PB tidak mengambil/minum obatnya lebih dari 3 bulan dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka yang bersangkutan dinyatakan default. Pasien defaulter tidak diobati kembali bila tidak terdapat tanda-tanda klinis aktif. Namun jika memiliki tanda-tanda klinis aktif (eritema dari lesi lama di kulit/ ada lesi baru/ ada pembesaran saraf yang baru). Bila setelah terapi kembali pada defaulter ternyata berhenti setelah lebih dari 3 bulan, maka dinyatakan default kedua. Bila default lebih dari 2 kali, perlu dilakukan tindakan dan penanganan khusus.
Kriteria rujukan:
- Terdapat efek samping obat yang serius.
- Reaksi kusta dengan kondisi:
- ENL melepuh, pecah (ulserasi), suhu tubuh tinggi, neuritis.
- Reaksi tipe 1 disertai dengan bercak ulserasi atau neuritis.
- Reaksi yang disertai komplikasi penyakit lain yang berat, misalnya hepatitis, DM, hipertensi, dan tukak lambung berat.
Diadaptasi dari: PMK no. 5 tahun 2014 tentang Panduan Praktik Klinis Dokter di Fasyankes Primer.
Update: Regulasi ini telah diperbarui, mohon merujuk pada regulasi terbaru.
Tinggalkan Balasan