Walau sudah lama migrasi ke Microsoft Windows 10, saya masih merasakan kangen pada Linux, terutama antarmuka yang sederhana dan mudah digunakan milik Gnome. Saya memutuskan untuk mencoba kembali memasang salah satu distribusi Linux, bukan untuk bekerja, namun hanya sekadar agar saya tidak tertinggal dari perkembangan dunia Linux. Karena bukan tidak mungkin suatu saat di masa mendatang, saya kembali menggunakan Linux ketika kerja saya tidak lagi menuntut penggunaan Microsoft Windows.
Saya tidak memiliki mesin komputer lain selain sebuah laptop usia menjelang dua tahun. Di dalamnya terpasang Windows 10 yang sudah ditingkatkan dari Home menjadi Profesional. Ada dua pilihan awal saya, memasang menggunakan dual-boot, atau dengan mesin virtualisasi.
Dual-boot? Saya tidak memiliki waktu untuk memelajari lagi. Sementara jika memilih virtualisasi, saya bisa memasangnya dengan lebih cepat. Akhirnya saya memilih virtualisasi, sekaligus saya menghindari risiko kerusakan pemuat boot.
Saya pergi menuju Distrowatch dan melihat, apa yang cukup populer. Saya tidak ambil pusing dengan langsung memilih Manjaro. Kebetulan, turunan Arch yang satu-satunya saya pernah coba adalah Antergos yang saya gunakan sekitar empat tahun yang lalu. Mengapa bukan openSUSE? Tidak, saya tidak sedang mencari distribusi untuk bekerja, namun sekadar bersenang-senang.
Setelah mengunduh berkas ISO dari situs resmi Manjaro. Saya memasang Hyper-V untuk Windows 10, dan booting Manjaro dikenali dengan baik. Sayangnya, booting selalu berhenti di tengah jalan, dan sepertinya ini adalah salah satu isu yang dimiliki Hyper-V. Saya membuang Hyper-V dan beralih ke perangkat lunak gratis Oracle VirtualBox yang biasa saya gunakan mencoba menjalankan Linux dalam Windows sebagaimana di masa lalu.
Saya sempat menemukan kesulitan, karena itu petunjuk untuk benar-benar menonaktifkan Hyper-V sangat penting diterapkan sebelum mengaktifkan VirtualBox, termasuk mengecek bahwa BIOS mengizinkan virtualisasi (yang biasanya sudah otomatis aktif pada kebanyakan komputer dengan perbekalan RAM pabrikan di atas 4 GB), jika tidak mungkin virtualisasi tidak bisa dijalankan atau hanya sekadar bisa menjalankan sistem 32-bit, dan tidak tersedia pilihan virtualisasi 64-bit di VirtualBox.
Setelan yang saya berikan untuk virtualisasi kali ini (VirtualBox ver. 5.2.22) adalah,
- Umum:
- Dasar:
- Nama: Manjaro
- Tipe: Linux
- Versi: Acrh Linux (64-bit)
- Lanjut: (asali)
- Deskripsi: (asali)
- Enkripsi cakram: (asali)
- Dasar:
- Sistem
- Motherboard:
- Memori Dasar: 8000 MB (~ 8 GB)
- Urutan Boot: Floppy, Optik, Hardisk (ini tidak wajib ditiru, tapi optik selayaknya terbaca lebih awal dibandingkan HDD)
- Chipset: PIIX3
- Peranti penunjuk: TabletUSB
- Fungsikan I/O
- Lain-lain sesuai asali
- Processor: 2 dari 4 dengan batas eksekusi 100% dan fungsi PAE/NX diaktifkan
- Akeselari: KVM dengan memfungsikan VT-x/AMD-V, Paging Bertingkat
- Motherboard:
- Tampilan
- Memori Video: 128 MB dengan akselerasi 3D diaktifkan.
Situs resmi Manjaro memuat syarat minimal yang harus dipenuhi agar virtualisasi dapat berjalan.
Pemasangan dilakukan seperti pemasangan Linux pada umumnya. Pemasangan dengan antarmuka adalah salah satu yang paling saya sukai.
Pemasangannya tidak memakan waktu lama. Dan saya mendapat sebuah sistem operasi dengan kernel Linux dan desktop Gnome yang disukai oleh banyak orang termasuk saya, siap terpasang.
Biasanya, untuk mendapatkan desktop seperti Manjaro, saya harus melakukan kerja ekstra dengan menyetal sana dan sini, sehingga nyaman sesuai apa yang paling optimal menurut saya. Tapi ternyata Manjaro sudah memiliki semua itu. Ini adalah nilai lebih tersendiri.
Khas seperti Arch Linux, dan mungkin juga kebanyakan Linux. Manjaro hanya berisi aplikasi esensial. Namun ada tambahan yang harus saya garis bawahi setelah dua tahun lebih tidak menggunakan Linux, yaitu adanya fitur yang saya jarang temui pada Linux dua tahun lalu.
Misalnya saja tersedia aplikasi Microsoft Office online, sehingga pelanggan Office 365 seperti saya bisa bekerja dengan Microsoft Office 365 secara lebib leluasa di dalam Manjaro. Bagi saya yang lebih banyak bekerja dengan komputasi awan, ini sangat menguntungkan, namun bagi mereka yang masih bekerja dengan penyimpanan luring, maka WPS Office yang disediakan melalui AUR akan jadi pilihan bijak ketika bekerja juga dengan Microsoft Windows. Sayangnya, saya belum menguji OneDrive pada Manjaro, saya bahkan belum tahu apakah tersedia atau tidak.
Ada terselip SUSE Image Writer saya lihat, dan saya seketika bilang WOW!
Lalu ada aplikasi yang sulit saya akses, yaitu Shutter. Bisa dibilang, Shutter adalah salah satu aplikasi Linux wajib bagi saya, walau terkadang banyak tantangan akibat pelbagai dependensi yang kadang hilang atau bertumpuk.
Oleh karena saya menjalankan pada mesin virtualisasi, mungkin pengalaman saya tidak selancar pada sistem operasi yang tertanam langsung. Tapi sekadar untuk mengetik dan membaca, ini sudah lebih dari cukup.
Tinggalkan Balasan