Sebenarnya hanya menunggu waktu, tapi pada akhirnya pemegang linsensi layanan BBM, yaitu EMTEK memutuskan menutup layanan BlackBerry Messenger per akhri Mei 2019. Sebelumnya, telah banyak orang yang tidak lagi menggunakan BBM sebagai media perpesanan, bahkan tidak mengaktifkannya kembali ketika mereka mengganti telepon cerdas mereka.
Saya sampai saat ini masih mengaktifkan BBM sebagai media komunikasi, walau pun kadang hanya ada satu percakapan setiap tiga bulan. Ini memang menyedihkan, tapi sebagai pemegang perangkat klasik BlackBerry Passport SE, saya cukup senang dengan keberadaan BBM.
Mengenang kembali BlackBerry Messenger, apa yang saya suka dan tidak suka dari BBM?
Pertama yang tidak saya suka adalah karena tidak ramah pada pengguna awam pada mekanisme peralihan multi-platform. Jika menggunakan perangkat dengan BlackBerry OS, maka BBM akan langsung terpasang di sana, tapi jika menggunakan perangkat Android OS atau iOS, BBM dipasang dan diaktifkan antara menggunakan nomor seluler atau surat elektronik.
Di sini BlackBerry mencoba menjadi sesuatu yang tidak dirinya. Dan membingungkan pengguna. Apalagi BlackBerry ID yang ada di perangkat BlackBerry belum tentu bisa dipindah ke perangkat lainnya. Sementara metode pengikat kontak antara pengguna BBM berupa suatu PIN unik. Di saat pengguna BBM berpindah platform atau berganti ponsel atau bahkan berganti nomor telepon, namun BlackBerry ID tidak bisa dipulihkan, maka pengguna akan kehilangan kontaknya dan sebaliknya juga kontak mereka tidak akan bisa menghubungi pengguna. Di sini, pengguna harus melakukan penambahan ulang secara manual, yang mana itu melelahkan. Pada akhirnya pengguna memilih meninggalkan saja BBM dan menggunakan platform lain.
Banyak pilihan tidak selalu baik, ketika pilihan-pilihan itu justru menimbulkan masalah baru. Keribetan BlackBerry Messenger ini bukan tanpa solusi, tapi negara kita di mana orang memakai barang dulu sebelum membaca instruksi pemakaian merupakan suatu kewajaran, maka solusi itu tidak akan dipahami oleh banyak pengguna yang rata-rata gagap teknologi digital.
Apa yang saya suka dari BlackBerry Messenger? Tentu saja keamanan data dan isu privasi.
Mengapa ini penting? Kalau bagi saya pribadi ini tidak masalah, namun karena terkait profesi saya sebagai tenaga medis, hal ini menjadi penting.
Saya dulu termasuk yang gemar mempromosikan WhatsApp sebagai media komunikasi alternatif di era kejayaan BBM, karena saya melihat banyaknya batasan yang dimiliki oleh BlackBerry. Waktu itu WhatsApp adalah aplikasi berbayar, namun sangat terjangkau, sederhana, dan dengan mudah menjembati keterbatasan BBM. Lalu kemudian WhatsApp diambil alih oleh Facebook, menjadi aplikasi gratis dengan kompromi isu kehilangan proteksi privasi dan menjadi media target iklan facebook.
Tapi apa hubungannya dengan profesi medis? Dalam dunia kesehatan, medis atau kedokteran, ada yang disebut sebagai rahasia medis, rahasia kedokteran, dan rahasia jabatan. Di mana di dalamnya termasuk melindung kerahasiaan data pasien yang bersifat sensitif.
Bayangkan saja, jika ada petugas kesehatan yang memfoto pasien yang dalam kondisi luka parah, lalu mengirimkannya ke grup diskusi perpesanan, terlepas dari tujuan sekadar menginformasikan atau berdiskusi tentang penanganan, dan kemudian foto tersebut tesebar ke kelompok masyarakat yang lebih luas, tentunya ini akan melanggar privasi pasien. Tapi, bukannya kita sering menerima gambar seperti itu di media perpesanan atau di media sosial?
Di luar sana, ada yang disebut dengan ketaatan terhadap HIPAA, di mana ada standar pasti pembatasan terhadap bagaimana data komunikasi elektronik dapat melindungi rahasia kedokteran dan privasi pasien dengan ketat. Mulai dari hak akses rekam medis elektronik, peresepan elektronik, hasil pemeriksaan laboratorium dan radiologi, serta bagaimana perpesanan dilakukan dapat diatur sesuai standar. Sayangnya, di Indonesia tampaknya standar ini belum tersedia.
Sedemikian hingga apabila saya berkomunikasi atau berkonsultasi dengan media perpesanan WhatsApp, saya harus ekstra hati-hati. Hal-hal seperti melakukan sensor pada identitas pasien merupakan keniscayaan, penambahan post-script mengenai kerahasian informasi juga dipertimbangkan. Tapi saya sendiri merasa kadang itu tidak cukup. Untungnya saja, masyarakat Indonesia juga belum begitu ‘peduli’ mengenai kerahasiaan data medis. Adalah hal yang lumrah jika ada warga yang sakit, maka satu kampung akan tahu warga tersebut sakit apa dan bahkan kadang sampai tahu hasil laboratoriumnya seperti apa.
Jika suatu saat warga menjadi sadar akan hak privasinya sebagai pasien, maka tenaga medis juga layak mulai berhati-hati dalam melakukan perpesanan melalui media BBM, WhatsApp atau sejenisnya.
BlackBerry sendiri memiliki BlackBerry Messenger Enterpraise yang memenuhi HIPAA Compliance.
Tapi karena tempat saya bekerja tidak menggunakan BlackBerry Enterprise, jadi saya juga tidak menggunakan BBMe.
Setelah tidak adanya BlackBerry Messenger nanti, maka yang terisa adalah WhatsApp, Telegram dan Skype yang menjadi media komunikasi saya. Dan di antara ketiganya, saya lebih menyukai Telegram, karena bisa diakses di semua perangkat saya.
Tinggalkan Balasan