Kejadian nyaris cedera sering kali menjadi laporan yang agaknya diabaikan di kegiatan perumahansakitan. Misalnya: Ups, saya keliru menyerahkan obat pada pasien, untungnya saya segera ingat dan menukarnya kembali sebelum pasien meninggalkan rumah sakit. Hal ini mungkin terlihat sepele, namun dalam peningkatan mutu dan keselamatan pasien, kita harus mengkaji kenapa ini bisa terjadi.
Hukum Murphy selalu berjalan, hal yang berpotensi menjadi sentinel, akan menjadi sentinel suatu saat ini. Anggap saja kasus yang cukup berat, bayi tertukar saat diserahkan pada keluarganya – ini jika segera diketahui saat itu juga mungkin tidak akan menjadi masalah, tapi jika tidak segera diketahui, ini adalah kejadian sentinel!
Tapi harus-kah para pelaku yang nyaris menghasilkan kejadian sentinel mendapatkan sanksi atau hukuman? Misalnya, apakah perawat yang keliru menyerahkan bayi-nya harus mendapatkan sanksi dari manajernya, walau ia segera menyadari kekeliruan itu dan mengatasinya?
Perilaku manusia di dalam organisasi merupakan hal yang kompleks dan sering sulit dipahami. Organisasi dimaknai sebagai seperangkat jam di mana perilaku manusia logis dan rasional, namun mereka sering seperti liang ular bagi mereka yang bekerja padanya. Metafora jarum jam merefleksikan sebuah pandangan perilaku organisasi ideal yang teratur tanpa konflik atau dilema karena semua bagian jam (dalam hal ini anggota organisasi) bertautan dengan harmonis. Di lain sisi, metafora liang ular, menggambarkan konflik, pergulatan, tekanan setiap harinya dalam sebuah organisasi. Setiap metafora menggambarkan kenyataan dari sudut pandang yang berbeda – organisasi versus individu. Metafora liang ular mengekspresikan sisi gelap perilaku manusia, yang terlihat keekstremannya pada kasus-kasus kekerasan di tempat kerja. Sebaliknya, metafora jarum jam mengekspresikan pandangan organisasi sebagai sistem yang sehat dan produktif di mana individu memiliki rasa yang jelas tentang visi dan nilai-nilai bersama, diinvestasikan secara pribadi dalam hasil, merasa bahwa kontribusi mereka signifikan, dan menerima dukungan dan rasa hormat dari kepemimpinan organisasi (Nelson, 2017).
Perilaku kerja inovatif dan kepemimpinan yang transformasionalis berhubungan kuat pada para perawat yang sering saling berbagi pengetahuan mereka mengenai praktik terbaik dan kesalahan terhadap praktik di antara sejawat (Masood and Afsar, 2017).
Ada banyak hal yang memengaruhi perilaku etis individu maupun organisasi. Pengaruh individu misalnya: nilai sistem, lokus kendali, machiavellianism, perkembangan kognitif moral. Pengaruh organisasi antara lain: kode etik, komite/pejabat etik, program pelatihan, sistem komunikasi etik, norma, modeling, hukuman dan penghargaan (Nelson, 2017).
Hukuman dan penghargaan merupakan dilema sosial dalam sebuah organisasi/perusahaan. Jika hendak mendorong organisasi, buatlah lebih menarik, dan sebaliknya jika tidak hendak mendorong kerja sama, buatlah lebih tidak menarik. Keduanya sangkalan tersebut sudah menjadi hubungan masing-masing hukuman dan penghargaan. Hal ini begitu jelas dalam tataran yang masih umum, namun menjadi lebih kompleks dalam penerapannya. Siapa yang boleh memberikan penghargaan? Siapa yang boleh memberi hukuman? Dan perilaku apa yang layak diganjar demikian? Merupakan isu-isu kunci yang menyebabkan keilmuan mengenai hukuman dan penghargaan menjadi lebih kompleks dibandingkan apa yang orang dapat bayangkan sebelumnya (Lange et al., 2014)
Sistem hukuman dapat memberikan hambatan terhadap perilaku buruk karena munculnya kecemasan, sementara di sisi lain sistem hadiah dapat memberikan aktivasi terhadap perilaku baik karena kebahagiaan akan harapan terhadap penghargaan (Carver and White, 1994).
Kasus ini merupakan kasus nyaris cedera (KNC), di mana tidak ada cedera yang timbul pada pasien yang terlibat di dalamnya. Kejadian ini dapat dicegah ke depannya melalui audit atau kajian (Near-miss case review/NMRC) di rumah sakit, namun beberapa hal dapat menjadi penghalang bagi proses kajian yang sehat.
Beberapa penghalang bagi para fasilitator dalam melakukan NMRC di antaranya adalah: tidak adanya pedoman nasional dan protokol lokal; pelatihan yang tidak memadai tentang bagaimana melakukan audit; kurangnya kepemimpinan, koordinasi, pemantauan dan pengawasan; kurangnya sumber daya dan kelebihan kerja; takut disalahkan dan dihukum; pengetahuan yang buruk tentang kedokteran berbasis bukti; perbedaan hierarkis antara staf dan kurang pemahaman akan manfaat NMCR (Lazzerini et al., 2018).
Sebagai manajer keperawatan, ada kewajiban memberikan hukuman, dalam hal ini sanksi apabila jabatan manajer keperawatan tersebut melekat tugas, fungsi atau wewenangnya untuk memberikan sanksi bagi stafnya yang melakukan kelalaian. Kewajiban memberikan hukuman melekat pada suatu posisi atau jabatan (Lange et al., 2014).
Apakah para manajer lebih suka menggunakan hukuman? Pertanyaan ini sulit dijawab jika melihat sebaran faktanya. Tapi dapat dikembangkan dari teori X dan Y oleh McGregor mengenai bagaimana seorang manajer melihat (perceive) stafnya. Teori X (tradisional) mengasumsikan bahwa kebanyakan orang tidak suka bekerja, mereka menghindarinya ketika mereka bisa; sedemikian hingga kebanyakan orang harus dipojokkan dan diancam dengan hukuman sebelum mereka mau bekerja, dan mereka memerlukan perintah langsung untuk bekerja; Oleh karena kebanyakan orang lebih suka diperintah/diatur, mereka cenderung menghindari tanggung jawab dan memperlihatkan sedikit ambisi. Teori Y (modern) mengasumsikan bagi seseorang bekerja adalah kegiatan alami, sebagaimana bermain dan beristirahat; Mereka mampu mengatur diri dan mengarahkan diri secara mandiri jika mereka berkomitmen terhadap tujuannya; Dan mereka umumnya menjadi berkomitmen terhadap tujuan organisasi jika mereka dihargai, mereka tertarik pada keamanan dalam mengerjakannya; pegawai pada umumnya dalam belajar menerima dan mencari tanggung jawab; orang-orang pada umumnya memiliki imajinasi, kecerdasan, dan kreativitas (Sinding and Waldstrøm, 2014).
Apabila manajer berpegang pada teori X, maka dia akan lebih suka menggunakan hukuman untuk mengendalikan perilaku stafnya. Sebaliknya, apabila manajer menggunakan asumsi dalam teori Y, maka pemberian penghargaan akan menjadi dominan dalam kebijakannya.
Setiap teknik hukuman memiliki setidaknya empat jenis efek, di antaranya efek primer, fisik, sekunder, dan sosial. Setiap kelas efek tidak sama bermakna atau pentingnya dalam setiap situasi, tetapi masing-masing efek harus diakui dan dievaluasi sebelum menerapkan prosedur (Axelrod and Apsche, 1983):
- Efek utama, atau utama dari hukuman adalah respons supresif. Meskipun tidak semua intervensi yang menekan respons adalah penghukuman (mis., kekenyangan, perubahan stimulus, atau perban dan ciuman untuk mengurangi tangisan di atas lutut yang tergores), semua intervensi yang disebut hukuman harus memiliki efikasi empiris dalam mengurangi atau menghilangkan beberapa respons.
- Efek fisik dari penghukum mengacu pada efek fisiologis yang langsung dan tak terhindarkan yang melekat dalam pemberian beberapa hukuman fisik — misalnya, rasa sakit dan memerahnya kulit dengan menampar atau memukul, nyeri dan kaget dengan sengatan listrik, dan sebagainya.
- Efek sekunder dari penghukum adalah efek samping yang menjadi perhatian utama. Efek samping perubahan perilaku ketika terlibatnya perilaku tambahan dari yang ditargetkan untuk ditekan menggunakan hukuman. Kadang-kadang disebut sebagai efek “tidak diantisipasi” atau “yang tidak diinginkan”. Keakuratan karakterisasi ini tergantung pada keadaan pengetahuan kita pada waktu tertentu.
- Akhirnya, prosedur hukuman memiliki efek sosial, menghasilkan reaksi pada orang selain penerima hukuman. Lebih tepatnya, penggunaan prosedur hukuman, yang netral secara sosial dan etika, yang memiliki efek sosial. Penggunaan hukuman sebagai intervensi terapeutik biasanya menimbulkan ketakutan akan efek yang mungkin timbul dan sering memancing kritik dari kalangan profesional dan kelompok awam, termasuk wartawan media. Efek sosial dari penggunaan hukuman juga termasuk efek pada agen yang menghukum. Karena keberhasilan penggunaan hukuman memberikan penguatan negatif langsung bagi agen (dengan mengakhiri perilaku permusuhan subjek), penggunaan hukuman meningkat. Keberhasilan yang berulang dapat mempertahankan penindasan respons jangka panjang eskalasi ini meskipun tidak ada pengurangan jangka panjang yang dilakukan. Hasil seperti itu dapat dengan mudah menghasilkan agen yang dapat mempertimbangkan perilaku menghukumnya yang kasar, karena banyak administrasi hukuman terjadi tanpa efek menguntungkan jangka panjang.
Perawat adalah karyawan rumah sakit, dan karyawan merupakan salah satu aset terbesar perusahaan. Perlu diingat bahwa kadang karyawan tidak keluar dari perusahaan karena meninggalkan pekerjaan mereka, namun karena mereka meninggalkan manajer mereka (Adonis, 2010).
Gaya manajerial keperawatan antara eksploitasi-autoritatif hingga ke gaya partisipasi, para perawat lebih menemukan kepuasan kerja pada gaya manajemen yang memberikan kesempatan mereka untuk turut berpartisipasi (Lucas, 1991). Beberapa hal mendorong perawat untuk tetap bekerja, misalnya adalah karakter perawat itu sendiri, hubungan dengan sejawat dan atasan langsung, dukungan organisasi, lingkungan kerja, hubungan dengan pasien, respons psikologis dan fisik terhadap kerja, serta penghargaan kerja (Tourangeau et al., 2010).
Sedemikian hingga manajer keperawatan perlu melakukan pendekatan partisipasi kepada para staf perawat, memberikan hukuman sesuai dengan sanksi dalam peraturan perusahaan dengan tidak menimbulkan budaya menyalahkan namun mendorong budaya perbaikan sistem kerja jika terjadi kesalahan, tetap menjalin komunikasi yang baik dengan semua staf keperawatan, serta memberikan penghargaan pada setiap kerja dan hasil kerja stafnya.
Bacaan lanjutan:
Adonis, J., 2010. Corporate punishment: smashing the management clichés for leaders in a new world. John Wiley & Sons Australia, Ltd, Milton.
Axelrod, S., Apsche, J. (Eds.), 1983. The Effects of punishment on human behavior. Academic Press, New York.
Carver, C.S., White, T.L., 1994. Behavioral inhibition, behavioral activation, and affective responses to impending reward and punishment: The BIS/BAS Scales. Journal of Personality and Social Psychology 67, 319–333. https://doi.org/10.1037/0022-3514.67.2.319
Lange, P.A.M.V., Rockenbach, B., Yamagishi, T. (Eds.), 2014. Reward and punishment in social dilemmas, Series in human cooperation. Oxford University Press, Oxford.
Lazzerini, M., Ciuch, M., Rusconi, S., Covi, B., 2018. Facilitators and barriers to the effective implementation of the individual maternal near-miss case reviews in low/middle-income countries: a systematic review of qualitative studies. BMJ Open 8, e021281. https://doi.org/10.1136/bmjopen-2017-021281
Lucas, M.D., 1991. Management style and staff nurse job satisfaction. Journal of Professional Nursing 7, 119–125. https://doi.org/10.1016/8755-7223(91)90096-4
Masood, M., Afsar, B., 2017. Transformational leadership and innovative work behavior among nursing staff. Nursing Inquiry 24, e12188. https://doi.org/10.1111/nin.12188
Nelson, D.L., 2017. ORGB, 6th edition. ed. Cengage Learning, Mason, OH.
Sinding, K., Waldstrøm, C., 2014. Organisational behaviour, 5. ed. ed. McGraw-Hill Education, London.
Tourangeau, A.E., Cummings, G., Cranley, L.A., Ferron, E.M., Harvey, S., 2010. Determinants of hospital nurse intention to remain employed: broadening our understanding. Journal of Advanced Nursing 66, 22–32. https://doi.org/10.1111/j.1365-2648.2009.05190.x
Tinggalkan Balasan