Pelaksanaan pelayanan kesehatan di Puskesmas atau Klinik, yang dikenal sebagai fasilitas pelayanan kesehatan pertama/dasar, sering kali mengalami benturan keterbatasan tenaga staf medis (dokter, dan dokter gigi). Kebanyakan adalah staf klinis non-medis, atau bahkan staf non-klinis dalam 24 jam operasional puskesmas atau klinik yang menyediakan layanan UGD (Unit Gawat Darurat) 24 jam.
Dan pasien di Indonesia belum banyak yang mengenal, apakah mereka harus mengunjungi poliklinik rawat jalan, UGD Puskesmas/Klinik, atau IGD Rumah Sakit untuk keluhan mereka. Atau banyak yang berpikir, kalau ke UGD tidak perlu antri, sehingga sering kali menjadi beban kesehatan yang tidak pada tempatnya, dan penanganan justru sering tertunda.
Staf medis umumnya sudah terlatih melalui keterampilan triase untuk memilah, pasien mana yang harus ke mana. Namun tidak demikian halnya dengan staf klinis non-medis, apalagi staf non-klinis, yang banyak di antaranya bukanlah profesional kesehatan. Mereka sering kesulitan ketidak tidak ada dokter.
Apakah pasien ini harus dipulangkan? Ataukah pasien ini disarankan dirujuk ke rumah sakit? Atau pasien ini dirawatinapkan?
Karena kebanyakan staf ini tidak boleh meresepkan obat atau mengobati sebagaimana staf medis. Paling banyak mereka boleh memberikan terapi obat tipe OTC untuk penanganan gejala keluhan sementara.
Berikut, saya mencoba menyusun sebuah protokol triase bagi staf non-medis yang kira-kira dapat digunakan di puskesmas/klinik yang saya adaptasi dari tulisan di Medical Protection1.
Tinggalkan Balasan