Bagaimana Coronavirus Mengubah Gaya Hidup dalam Sepekan Terakhir?

Wabah COVID-19 menghampiri kita dengan cepat. Saya pertama kali berceletuk sekitar 8 Januari, sepekan setelah pertama kali wabah merebak di Wuhan, Tiongkok. Kini, dua pertiga perjalanan di Bulan Maret, saya melihat kekacauan yang tak kasat di mata-mata, dan komunitas kesehatan berjibaku dalam keheningan – atau mungkin dalam kebisingan yang salah arah dalam menyikapi pandemi.

Meski saya sendiri melihat bahwa pemangku kebijakan kita kurang peka, setidaknya kita tidak seburuk Amerika Serikat, dan kita jauh dari sebaik Kanada, saya melihat teman-teman berjuang dengan sebaik-baiknya. Banyak pejabat yang justru terkena COVID-19, yang menunjukkan betapa konyolnya itu, sekonyol kita menyaksikan tentang para pejabat Iran yang berjatuhan karena COVID-19.

Di grup perpesanan WhatsApp para sejawat, berita duka datang silih berganti akibat COVID-19, sementara pemangku kebijakan menyanjung kesembuhan beberapa pasien COVID-19 awal, dan tampaknya menampik (sementara?) para korban yang dianggap kewajaran – termasuk dari tenaga kesehatan.

Di satu sisi, saya setuju memberikan semangat dan rasa aman pada warga, di sisi lain, saya khawatir justu membuat masyarakat bertambah tak acuh dengan wabah yang “toh bisa sembuh sendiri.”

Banyak yang berubah sepekan ini, selain semua kelas saya yang dibatalkan dan menjadi kuliah daring.

Saya dan istri termasuk kelompok yang paling rentan terkena/terinfeksi Coronavirus. Probabilitas atau kemungkinan tidak tertular seperti melempar dadu, dan mengharapkan mendapat mata tujuh.

Ada teman tenaga kesehatan yang harus mengungsikan keluarganya ke rumah kerabat, karena khawatir saat pulang dari tempat dia bertugas, dia akan menularkan virus ini ke orang-orang tersayang. Apalagi jika orang-orang tersayang memiliki kondisi yang membuatnya rapuh terhadap infeksi COVID-19.

Ada juga tenaga kesehatan yang berencana tidak pulang ke rumah karena ditugaskan di wilayah transmisi lokal, dia memutuskan tetap di sana sampai wabah mereda (mungkin) suatu saat nanti.

Dan banyak yang khawatir bahwa kenyataannya perlindungan standar bagi tenaga kesehatan mulai menipis dengan cepat, bahkan ada yang sudah kehabisan, padahal kita baru di tengok oleh kepalanya wabah belum badannya.

Tentu saja ada juga, keluarga tenaga kesehatan yang harus merelakan bagian dari keluarganya pergi selama-lamanya setelah berjuang menangani wabah.

Ini adalah pemandangan minggu awal, dan mungkin akan menjadi sesuatu yang umum dalam beberapa pekan ke depan, melihat bagaimana masyarakat kita masih tidak mengacuhkan menjaga jarak sosial. Padahal sudah sejak sepekan, social distancing digemakan untuk mengurangi laju pandemi, terutama atas nama kegiatan sosial, keagamaan dan adat.

Kami yang di rumah dulu mencuci setiap kali perlu mencuci, sepekan dua atau tiga kali, kini memutuskan mencuci semua pakai pulang kerja atau pulang dari mana pun secara langsung. Tidak menyentuh apapun, kecuali pintu, kami siapkan ember untuk langsung merendam pakaian yang baru dipakai.

Kami bisa mandi tiga hingga empat kali sehari, tergantung aktivitas dan tugas kami di pelayanan kesehatan.

Kami menyampaikan pada warga di lingkungan, kami tidak mengikuti sementara kegiatan lingkungan, sesuai dengan kebijakan penjagaan jarak. Kami juga berupaya berbelanja secara non-tunai sebisa mungkin. Atau berbelanja melalui toko daring, mengurangi kontak antara manusia-manusia, dan manusia benda, termasuk uang tunai.

Sebulan yang lalu, saya masih sesekali dua kali membuka Facebook dalam seminggu, sekarang saya bisa memposkan beberapa celotehan dalam sehari terkait wabah COVID-19 di jejaring sosial. Berkampanye untuk memutus atau menghambat penyebaran wabah.

Banyak hal yang berubah, saya bahkan tidak tahu apakah saya masih ada setelah wabah berakhir, melihat kondisi yang tidak bisa diprediksi (kecuali waktu wabah berakhir).

Back to our inner-self, there is always a light, a warm song, within.

Diterbitkan oleh Cahya

A writer, a tea & poet lover, a xanxia addict, an accidental photographer, - a medical doctor.

Satu pendapat untuk “Bagaimana Coronavirus Mengubah Gaya Hidup dalam Sepekan Terakhir?

Komentar ditutup.

%d blogger menyukai ini: