Manifestasi Klinis
COVID-19 memiliki masa inkubasi 1-14 hari, kebanyakan berjarak antara 3 hingga 7 hari. Gejala yang paling umum pada pasien kondisi ringan hingga sedang adalah demam, lelah, dan batuk kering, diikuti oleh gejala lainnya termasuk nyeri kepala, hidung tersumbat, nyeri tenggorokan, nyeri otot, dan nyeri sendi. Sejumlah kecil pasien memiliki gejala saluran cerna, seperti mual, muntah, dan diare, terutama pada anak-anak.
Pada sebuah penelitian dengan 1099 pasien COVID-19, 43,8% kasus menunjukkan demam pada saat onset (dimulainya) sakit dan persentase meningkat hingga 88,7% pasca rawat inap. Perlu dicatat bahwa demam dapat tidak muncul pada pasien lansia atau mereka yang memiliki kondisi penurunan daya tahan tubuh (immunocompromised).
Sebagian pasien dapat menunjukkan perburukkan kondisi berupa sesak napas, umumnya pada minggu sakit kedua, dan dapat dibarengi atau memburuk menjadi hipoksemia (kekurangan oksigen dalam peredaran darah).
Untuk pasien yang menunjukkan tanda takipneu (napas cepat), tarikan dada ke dalam, atau kesulitan makan atau minum, maka pneumonia berat layak dipertimbangkan. Pada 10% hingga 20% pasien kondisi berat, cedera saluran napas akan berkembang menjadi sindrom distres pernapasan akut (ARDS) pada hari sakit ke-8 sampai 14, dimaknai oleh rasio tekanan oksigen parsial (PaO2) terhadap fraksi oksigen inspirasi (FiO2) kurang dari 300 mmHg, sebagaimana juga bentukan edema paru non-kardiogenik dan perlunya ventilasi mekanis.
ARDS, sebagai penyebab utama kegagalan pernapasan, dikaitkan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Faktor risiko kondisi memburuk hingga menjadi suatu kasus kritis di antaranya adalah hipertensi, diabetes, penyakit kardiovaskular, dan penyakit serebrovaskular.
Sejumlah komplikasi dapat terjadi seiring dengan perjalanan penyakit, khususnya pasien-pasien yang dalam kondisi kritis dan mendapatkan perawatan di ICU, termasuk di dalamnya adalah syok, sepsis, cedera kardiak akut, cedera ginjal akut, hingga disfungsi multiorgan. Para pasien dapat menunjukkan pergeseran status mental, saturasi oksigen yang menurun, rendahnya luaran urine, pulsasi nadi yang lemah, ekstremitas dingin, tekanan darah rendah, dan kulit bersisik jaring (livedo reticularis).
Di samping itu, pasien-pasien dengan cedera jantung akut dapat memberikan gambaran takikardia ataupun bradikardia. Mereka yang sangat kritis dapat menderita asidosis dan peningkatan laktat.
Penelitian saat ini menunjukkan nilai puncak temparatur pada pasien COVID-19 yang tak selamat lebih tinggi secara bermakna dibandingkan dengan para penyintas. Sedemikian hingga, pasien dengan hipertermia dan menggigil selayaknya dilakukan pemeriksaan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi oleh bakteri atau patogen lainnya.
Rumah sakit juga harus memberikan perhatian untuk mencegah pneumonia yang didapatkan di rumah sakit (HAP) pada kasus kritis, dan pneumonia terkait penggunaan ventilator (VAP) pada kasus yang mendapatkan ventilasi mekanis.
Koagulopati dan trombositopenia juga merupakan komplikasi umum pada infeksi COVID-19, yang meningkatkan risiko perdarahan dan trombosis. Kulit bersisik jaring (livedo reticularis), ruam petiki atau purpura, adanya feses hitam atau hematuresis dapat dijumpai pada beberapa kasus. Pasien-pasien dengan sindroma hipoksemia, nyeri dada, pingsan, dan hopotisis yang menetap dapat dicurigai menderita tromboembolisme pulmoner (PTE). Manifestasi nyeri, bengkak, eritema, dan dilatasi vena superfisial pada tungkai dapat dicurigai mengarah pada trombosis vena dalam (DVT). Hampir 20% pasien menunjukkan fungsi koagulasi yang tidak wajar, dan pasien-pasien paling berat dan kritis menunjukkan gangguan koagulasi serta memiliki kecenderungan berkembang menjadi koagulasi intravaskuler ter-diseminasi (DIC).
Temuan laboratorium
Kebanyakan pasien COVID-19 menunjukkan hitung leukosit yang wajar, dan sekitar sepertiga memiliki leukopenia. Limfositopenia, sebagai salah satu kelainan laboratorium paling banyak, ditemukan pada sekitar 83,2% pasien, dengan proporsi yang lebih tinggi pada mereka yang parah. Sebagai tambahan, pada penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa peningkatan D-dimer dan waktu protrombin yang memanjang juga merupakan karakter umum COVID-19, khususnya pada pasien yang parah.
Sementara itu juga, SARS-CoV-2 juga mungkin mencederai hati dan miokardia, dengan menunjukkan peningkatan kadar aminotransferase, kreatin kinase, dan mioglobin hingga kadar yang bervariasi, demikian juga dengan peningkatan troponin pada pasien kritis. Beberapa pasien memiliki disfungsi ginjal yang diperlihatkan dengan peningkatan serum kreatinin atau nitrogen urea darah.
Penanda biologi (biomarker) menunjukkan peningkatan konsentrasi protein C-reaktif, IL-6, dan laju pengendapan eritrosit. Penelitian lain yang melakukan observasi pada pasien ICU mengajukan kemungkinan bahwa pasien bisa jadi menderita badai sitokin yang parah, di mana terjadi produksi berlebih IL-7, IL-10, GCSF, IP10, MCP1, MIP1A, TNF-α dan lainnya.
Beberapa patogen resistan obat seperti Acinetobacter baumannii dan Klebsiella pneumoniae diisolasi pada pasien COVID-19. Organisme lain yang juga berhasil diidentifikasi adalah Pseudomonas aeruginosa, Aspergillus flavus, Aspergillus fumigatus, Candida albicans, dan Candida glabrata.
Pemeriksaan diagnostik
Laboratorium mengkonfirmasi pasien positif COVID-19 melalui hasil RT-PCR (real-time reverse transcriptase polymerase chain reaction) terhadap sampel hapusan (swab) nasal dan faring, spesimen sputum, darah, feses, dan urine. Spesimen klinis yang dikumpulkan perlu dibawa ke laboratorium yang ditetapkan sesegera mungkin, dan RNA diekstrasi dengan benar, diikuti dengan deteksi RT-PCR dengan primer dan probe pada urutan yang tepat. Nilai batas siklus (Ct) merupakan kriteria penentu hasil, kurang dari 37 merupakan negatif, dan di atas 40 sebagai positif; sementara di antara 37-40 memerlukan uji ulang untuk konfirmasi.
Deteksi SARS-CoV-2 melalui antibodi IgM dan IgG spesifik juga digunakan untuk diagnosis. Infeksi COVID-19 dapat ditentukan dengan salah satu kriteria berikut: IgM spesifik positif, transformasi IgG spesifik dari negatif ke positif, suatu peningkatan titer IgG sebanyak 4 kali lipat selama periode pemulihan dibandingkan dengan pada fase akut. Meskipun deteksi antibodi adalah metode yang sederhana, cepat, dan relatif tidak mahal, saat ini masih tidak digunakan secara luas karena beberapa keterbatasan, sebagai contoh, adanya periode jendela yang memungkinkan hasil negatif-palsu; spesitas dan sensitivitas tidak bisa dibandingkan dengan RT-PCR, tidak adanya kriteria eksklusi membuatnya hanya sebagai alat diagnosis.
Sumber: Coronavirus disease 2019 (COVID-19): a clinical update.
Tinggalkan Balasan